- -->
Hak Asasi Manusia (HAM)
merupakan hak lahiriah yang diperoleh setiap individu sejak lahir dan merupakan
pemberian dari Tuhan. Perlindungan dan Pengakuan akan pentingnya HAM seogianya
menjadi prioritas dari setiap individu dan negara. Pentingnya perlindungan
terhadap HAM secara internasional ditandai melalui lahirnya konvensi-konvensi
internasional.
Hukum internasional
mempunyai peran untuk menetapkan aturan ataupun prinsip-prinsip HAM yang harus dilindungi dan di hormati oleh
seluruh negara. Kesepakatan hukum internasional sangat dibutuhkan dalam hal
ini, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), International Covenant on Civil and
Political Rights (ICCPR), International
Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang kemudian
menjadi dasar untuk melindungi hak-hak asasi manusia di seluruh negara. Hukum
internasional membuat suatu tata cara dalam melaksanakan prinsip-prinsip
penegakan HAM. Tata cara yang dilakukan oleh hukum internasional tersebut
melibatkan Pengadilan Internasional untuk memberikan kepastian hukum terkait
pelanggaran HAM. Hukum internasional
mempunyai peran untuk mensosialisasikan pemahaman tentang hak-hak dasar manusia
atau HAM dengan tujuan supaya masyarakat di dunia dapat memahami, mendukung, menghargai
prinsip-prinsip dasar HAM.[1]
Terdapat beberapa prinsip
Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional secara luas yakni prinsip kesetaraan dan
prinsip Non- diskriminasi. Prinsip kesetaraan merupakan hal yang sangat
mendasar dari Hak Asasi Manusia (HAM) kontemporer adalah ide yang meletakan
semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam Hak Asasi Manusia
(HAM), sedangkan prinsip non-diskriminasi merupakan salah satu bagian yang
penting dari prinsip kesetaraan, karena jika semua orang setara maka seharusnya
tidak ada perlakuan yang diskriminatif.[2]
Pelanggaran terhadap Hak
Asasi Manusia (HAM) masih banyak ditemui, bahkan menjadi topik pembahasan dalam
pertemuan-pertemuan Internasional satu diantaranya kejahahatan genosida yang
dialami suku Rohingya di negara Myanmar. Suku Rohingya merupakan salah satu
suku yang pada awalnya hidup dan tinggal di Negara Myanmar sejak tahun 1950,
kemudian pada tahun 1982 ketika dikeluarkan Burma Citizenshiplaw yang merupakan
suatu undang-undang yang mengatur tentang golongan-golongan warga negara yang
ada di Myanmar terbagi menjadi 3 yakni warga negara penuh Burma (Myanmar), warga
negara asosiasi (warga negara gabungan) dan warga negara naturalisasi (warga
asli). Sejak dikeluarkannya undang-undang
tersebut, suku Rohingya yang ada
di Myanmar kehilangan kewarganegaraannya. [3]
Sejak dikeluarkannya
burma tersebut suku Rohingnya mulai diperlakukan secara diskriminatif, dan
sewenang-wenang seperti pemerkosaan, pembunuhan, penindasan terhadap anak-anak,
perampasan rumah, tanah, pemusnahan dan pelarangan memperbaiki rumah
peribadahan (Masjid) keadaan ini diperburuk karena aktivitas tersebut
dilegalkan oleh pemerintah myanmar. Pemburuan terhadap etnis atau suku Rohingya
dapat dikategorikan sebagai kejahatan Genosida sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 Statuta Roma 1998.[4]
Perlindungan terhadap HAM
secara internasional sudah diatur sejak lama, akan tetapi masih membutuhkan
perhatian khusus untuk penyempurnaanya terutama dalam penerapan tata cara
pemberian perlindungan terhadap HAM. Pelanggaran HAM yang dialami suku Rohingya
dan belum tercapainya penyelesaian terhadap masalah tersebut merupakan bukti
nyata masih terdapat kelemahan terkait dengan bagaimana hukum internasional
melindungi Hak Asasi Manusia yang ada negara-negara di dunia.
Hukum Internasional memiliki
lembaga tersendiri dalam menyelesaikan permasalahan dan/atau sengketa
Internasional seperti ICJ (International
Criminal Justice) dan ICC (International
Criminal Court). ICJ merupakan badan Peradilan International yang memiliki
kewenangan salah satunya penyelesaian permasalahan terkait dengan kejahatan
Genosida yang terjadi. Permasalahan Rohingya ICJ memegang peranan penting dalam
penyelesaian kejahatahatan Genosida tersebut, Peranan ICJ diharapkan mampu
sebagai garda terakhir pemutusan Pelanggaran HAM (kejahatan Genosida) yang
dialami suku Rohingya, akan tetapi tugas
dan tanggungjawab ICJ tersebut tentu tidak mudah karena akan berhadapan
dengan berbagai tantangan, oleh karenanya perlu dikaji bagiamana Peran ICJ
dalam menyelesaikan kejahatan HAM yang terjadi ditengah tantangan yang dihadapi
ICJ dalam penyelesaiannya.
A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran hukum internasional dalam meliindungi HAM ?
2. Bagaimana peran ICJ berdasarkan yurisdiksi internasional dalam menyelesaikan kejahatan HAM terhadap suku Rohingya di Myanmar ?
B. Pembahasan
1.
Peran
Hukum Internasional dalam Melindungi HAM
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak
fundamental dalam diri setiap individu yang dimiliki setiap individu sejak
lahir yang merupakan pemberian dari Tuhan. Perlindungan terhadap HAM setiap
individu manusia merupakan prinsip dasar dalam hukum internasional yang menjadi
dasar mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan global. Dalam
perjalananya upaya tersebut tidak berjalan dengan mudah, terdapat berbagai
tantangan yang terjadi dalam melindungi HAM dibawah hukum internasional,
beberapan tantangan dalam Perlindungan Hak Asasi manusia ialah:[5]
a. Kompleksitas
Geopolitik: Kepentingan negara-negara besar seringkali menghalangi upaya untuk
mengatasi pelanggaran Hak Asasi Manusia ditingkat Internasional;
b. Ketidaksepakatan
dalam Inteperstasi Hak Asasi Manusia: terdapat perbedaan kebudayaan,
nilai-nilai, serta sistem hukum antar negara sering menimbulkan perbedaan
pandangan dalam menafsirkan dan menerapkan standar Hak Asasi Manusia;
c. Ketidakmampuan
Menegakkan Kepatuhan: kurangnya mekanisme penegakan hukum yang efektif membuat
sulit untuk menjamin kepatuhan negara-negara terhadap kewajiban Hak Asasi
Manusia yang mereka terima.
Pada Tahun 1947 komisi memberi
wewenang kepada pengurusnya untuk mulai membuat rancangan undang-undang hak
asasi manusia yang selanjutnya diambil alih oleh panitia perancang formal yang
diisi oleh 8 orang anggota komisi yang menyusun 2 dokumen terkait hal tersebut
yaitu :[6]
a. Dokumen
deklarasi yang memuat prinsip-prinsip umum (standar hak asasi manusia) ;
b. Konvensi
yang akan mendefenisikan hak-hak tertentu dan
batasannya.
Adapun konvensi hak-hak asasi manusia
mengakui hak dasar setiap manusia termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan
keamanan pribadi, hak untuk mendapatkan hidup yang layak, hak untuk mencari
suaka dari penganiayaan dari negara lain, hak atas kebebasan berpendapat dan
berekspresi, hak atas pendidikan, hak atas kebebasan berpikir, hak atas hati
nurani dan beragama, hak atas kebebasan dari penyiksaan dan direndahkan
martabatnya. Deklarasi universal hak asasi manusia secara luas dianggap sebagai
bagian dari hukum kebiasaan internasional.
Hukum Hak Asasi Manusia (HAM)
Internasional telah menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dihormati oleh
setiap negara-negara. Negara mengemban kewajiban dan tugas berdasarkan hukum
internasional untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. Kewajiban
tersebut berarti negara harus menahan diri dari campur tangan atau pembatasan
terhadap Hak Asasi Manusia. Kewajiban dari suatu negara untuk melindungi Hak
Asasi Manusia mengharuskan Negara melindungi setiap Individu dan/atau kelompok
dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kewajiban ini berarti bahwa negara harus
mengambil sikap positif dalam memenuhi Hak Asasi Manusia yang fundamental.
Rohingya merupakan salah satu etnis
atau suku yang mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia di negara Myanmar, Etnis
Rohingya mengalami berbagai bentuk tindakan pelanggaran HAM, seperti
pemerkosaan, pembunuhan, penindasan terhadap anak-anak, perampasan rumah,
tanah, pemusanahan dan pelarangan mempaerbaiki rumah ibadah (masjid), perlakuan
yang dialami etnis/suku Rohingya tersebut termasuk kejahatan terhadap
kemanusiaan (Genosida) sebagaimana di maksud dalam Pasal 6 Statuta Roma yang
rumusannya bersumber pada ketentuan Pasal II Konvensi Genosida PBB Tahun 1948,
Pasal 6 Statuta Roma ini memberikan pengertian tentang kejahatan genosida yang
merupakan suatu tindakan dengan maksud atau by intent untuk memusnahkan/merusak
seluruh atau sebagian kelompok kebangsaan, etnis, ras atau keagamaan. Tindakan
itu ada lima yakni sebagai berikut :[7]
a. Membunuh
anggota-anggota kelompok ;
b. Menyebabkan
kerusakan serius terhadap badan dan jiwa anggota-anggota kelompok ;
c. Dengan
sengaja menyengsarakan kondisi kehidupan kelompok dengan perhitungan agar
timbul kerusakan fisik seluruh fisik atau sebagian ;
d. Memberikan
perlakuan dengan maksud mencegah kelahiran dilingkungan kelompok ;
e. Memindahkan dengan paksa anak-anak dari satu kelompok ke
kelompok lainnya.
Lebih lanjut Pasal 36 ayat (1)
Statuta Mahkamah internasional memberikan kesempatan bagi setiap negara atau
etnis yang menjadi korban kejahatan kemanusiaan dengan meminta ICJ menangani
kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia.[8]
Pelangaran HAM terhadap etnis Rohingya yang tidak mendapatkan hak-hak asasi
manusianya di negara tempat mereka berada yaitu Myanmar, oleh karena ICJ
memiliki kewenangan untuk menanggapi dan menangani sengketa dan mengembalikan
perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia setiap individu dan/atau kelompok termasuk etnis Rohingya.
ICJ (International Court Justice)
merupakan badan peradilan internasional yang didirikan oleh PBB untuk
menegakkan hukum internasional dan berlaku terhadap seluruh negara-negara
didunia yang merupakan anggota PBB atau telah menerima konvensi-konvensi
internasional dan telah meratifikasinya kedalam undang-undang nasional negara
tersebut. Myanmar merupakan salah satu negara yang tergabung dalam PBB,
seharusnya menaati aturan-aturan internasional yang dalam hal ini bertujuan
untuk melindungi setiap hak-hak asasi manusia yang dalam pembahasan ini etnis
Rohingya yang berada di Myanmar.
Terdapat beberapa aturan-aturan
internasional yang mengatur terakait perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
(HAM) secara internasional, aturan-aturan tersebut dapat digolongkan kedalam
aturan yang bersifat umum dan aturan yang bersifat khusus. Aturan yang bersifat
umum diantaranya:[9] Piagam
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB pada tahun 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia (DUHAM) pada tahun 1948, Konvensi Internasional tentang Hak SIpil dan
Politik (ICCPR) pada tahun 1966, Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi,
Sosial, dan Budaya (ICESCR) pada tahun 1966. Aturan yang bersifat khusus
diantaranya: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
(CEDAW) pada tahun 1979, Konvensi Hak Anak (CRC) pada tahun 1989, Konvensi Hak
Penyandang Disabilitas (CRPD) pada Tahun 2006, Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
bentuk Diskriminasi Rasial (ICERD) pada
tahun 1965, Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja
Migran dan ANggota Keluarga Mereka (CMW) pada tahun 1990.
Berdasarkan uraian diatas dengan
memperhatikan aturan-aturan yang berdasarkan hukum Internasional seharusnya
Myanmar harus mengakhiri pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi terhadap
Suku Rohingya, kesadaran pentingnya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia
merupakan kewajiban bersama setiap individu-individu dengan negara-negara.
Penyelesaian terhadap pelanggaran HAM melalui mekanisme Hukum Internasional
pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu perlindungan yang dilakukan
secara sukarela dan perlindungan terhadap HAM yang dilakukan melalui mekanisme
hukum (paksa).
Penyelesaian sukarela bergantung pada
komitmen dari negara itu sendiri, terdapat perjanjian- perjanjian hak asasi
manusia yang mengikat negara-negara yang meratifikasinya. Perjanjian ini
berimplikasi hukum yang mengikat negara tersebut untuk menaati standar hak
asasi setiap orang. Selain penyelesaian sukarela juga terdapat penyelesaian
secara paksa, yaitu suatu pendekatan yang memaksa suatu negara untuk menaati
serta mencegah terlanggarnya hak asasi seseorang, upaya ini dilakukan dengan
cara pelacakan global yang dicoba oleh Lembaga-lembaga global untuk menyelidiki
pelanggaran Hak Asasi Manusia Setiap individu, car aini membenarkan pengumpulan
fakta serta penilaian bebas kepada suasana Hak Asasi Manusia setiap orang di
suatu negara.[10]
Berdasarkan uraian diatas terlihat
jelas bahwa terdapat instrument hukum Internasional untuk menjamin dan
melindungi Hak Asasi Manusia setiap Individu disetiap negara dan terdapat
kewajiban dari negara-negara untuk melindungi Hak Asasi Manusia setiap individu dinegara tersebut, selain itu juga telah
terdapat lembaga tersendiri untuk menyelesaiakan permaslahan-permaslahan yang
melanggar hukum internasional, akan tetapi masih terdapat kelemahan dalam
penegakkan hukum internasional yaitu proses penyelesaian permasalahan yang
relatif lebih lama dan kurangnya pemberian sanksi kepada negara-negara yang
melanggar atau tidak menaati aturan-aturan hukum internasional, sanksi-sanksi dalam hukum
Internasional yang diberikan kepada negara-negara yang melanggar hukum
Internasional belum bersifat memaksa seperti: sanksi ekonomi yaitu pencegahan
aliran komoditas atau produk dari negara dan kenegara sanksi, sanksi finansial
seperti membatasi arus keuangan dan sumber-sumber ekonomi dari dan kenegara
yang terkena sanksi, sanksi non- ekonomi seperti sanksi dalam melakukan
hubungan dengan dunia luar dilaur kepentingan dagang, sanksi diplomati seperti
tindakan politik untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap suatu tindakan.
Sanksi-sanksi tersebut tidak ada yang berdampak langsung dengan pelanggaran
yang dilakukan oleh negara tersebut, dan tidak berpengaruh terhadap korban yang
mengalami tindakan pelanggaran hukum internasional tersebut. Sehingga masih
sangat diperlukan dorongan dalam bentuk penegakkan hukum internasional dengan pemberian
sanksi terhadap negara atau individu-individu yang melanggar hukum
internasional, dengan demikian diharapkan keberadaan hukum Internasional dan
kepatuhan negara-negara dan/ atau individu-individu terhadap hukum
internasional dapat lebih maksimal terutama didalam perlindungan terhadap Hak
Asasi Manusia setiap Individu.
2. Peran
ICJ berdasarkan Yurisdiksi Internasional dalam Menyelesaikan Kejahatan HAM
terhadap Suku Rohingnya di Myanmar
Dalam Pasal 36 Ayat (1) Statuta
Mahkamah Internasional yang merupakan dasar dari Mahmakah Internasional dalam menangani kasus kejahatan kemanusiaan
yang menyatakan setiap negara dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk
memutuskan sengketa yang dtimbul diantara negara-negara yang bersangkutan. Urgensi
dari Pasal 36 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional ini adalah ketika terjadi
suatu kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh negara maupun kelompok suku/etnis
dalam suatu negara, maka korban dari kejahatan kemanusiaan tersebut dapat
meminta bantuan dari ICJ. Dalam kasus kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh
suku Rohingnya yang mengalami kejahatan kemanusiaan di Myanmar hingga suku
Rohingnya terpaksa pergi dari Myanmar karena dianggap sebagai Staateless People (orang-orang tanpa
kewarganegaraan).
ICJ merupakan organ
penting dalam PBB dan memiliki kewenangan universal berdasarkan persetujuan
sukarela dan perjanjian internasional. Myanmar merupakan salah satu negara anggota
PBB yang harus tunduk pada ICJ, namun dalam pelaksanaannya ICJ mempunyai
keterbatasan dalam menjalankan kewenangannya yang melibatkan sengketa antar
negara yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan.[11]
Suku Rohingnya mengalami
kejahatan kemanusiaan seperti pemerkosaan, propaganda anti Rohingnya,
pembatasan gerak, pembatasan lapangan kerja, penangkapan sewenang-wenang, pengusiran
paksa dan kejahatan lainnya di Myanmar yang kemudian menyebabkan suku Rohingnya
menjadi terpencar, banyak terbunuh dan meninggalkan Myanmar. Kondisi ini
diperparah dengan dukungan dari pemerintah Myanmar terhadap aksi operasi
pembalasan militer atas serangan kantor polisi dan salah satu pangkalan militer
yang telah yang telah diserang oleh kelompok bersenjata Rohingya atau yang
dikenal dengan ARSA pada tahun 2016 dan
2017. Serangan secara sistematis dan terorganisir pemerintah Myanmar terhadap
suku Rohingya dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang
beresiko tinggi terjadinya genosida. Berdasarkan temuan dari IIMM yang bertugas
untuk melakukan investigasi di Myanmar menyatakan bahwa sejak tahun 2017 hingga
2019 ada 600.000 masyarakat Suku Rohingya mengalami penganiayaan dan genosida.[12]
Hal tersebut kemudian menyebabkan salah satu negara kecil di benua Afrika yaitu
Gambia kemudian mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional (ICJ). Dalam
gugatannya Gambia menyatakan bahwa Myanmar telah melakukan pelanggaran HAM
dengan melanggar Konvensi Genosida. Menanggapi gugatan tersebut Myanmar
menyatakan bahwa Gambia melakukan gugatan bukan atas namanya sendiri melainkan
atas nama Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sehingga tidak harus diterima oleh
Mahkamah Internasional, namun Gambia mengklaim bahwa Genosida yang dilakukan
oleh Myanmar merupakan suatu kejahatan terhadap seluruh umat manusia, sehingga
dimungkinkan untuk setiap negara melakuka penuntutan terhadap Myanmar atas
dasar Yurisdiksi Universal.[13]
Negara Gambia yang
mengajukan gugatan terhadap Myanmar ke Mahkamah Internasional terkait Genosida
memperoleh dukungan dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang mempunyai
anggota 57 negara. dalam aturan ICJ hanya boleh 1 negara saja yang mengajukan
gugatan, jadi pada saat tersebut Gambia terpilih mewakili dalam menggugat
Myanmar. Dalam sidang pada tanggal 23 Januari 2020 ICJ memberikan putusan dan
memerintahkan Myanmar untuk melakukan pencegahan genosida dan hal tersebut
merupakan tanggungjawab dari negara Myanmar. Pada dasarnya pertanggungjawaban
negara muncul yakni ketika negara melakukan dua hal yaitu tindakan aktif yang
dilakukan (action) dan kegagalan atau
kelalaian untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan (omission). Dalam putusannya ICJ mengeluarkan putusan sementara
yaitu :[14]
a. Dengan
suara bulat, Republik Persatuan Myanmar diperintahkan untuk melakukan tindakan pencegahan tindakan
genosida yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap suku Rohingya ;
b. Republik
Persatuan Myanmar diperintahkan untuk mencegah konspirasi yang berkaitan dengan
upaya/rencana genosida terhadap suku Rohingya di Myanmar ;
c. Republik
Persatuan Myanmar diperintahkan untuk mengambil tindakan tegas apabila ada
dugaan tindakan genosida terhadap suku Rohingya di Myanmar ;
d. Republik
Persatuan Myanmar diperintahkan untuk menyampaikan laporan ke Mahkamah
Internasional atas semua tindakan yang dilakukan dalam upaya pencegahan tindak
kejahatan genosida.
Melalui adanya putusan tersebut, meskipun
sudah banyak bukti yang menunjukkan terjadinya genosida, Myanmar menolak untuk
bekerjasama dengan Mahkamah Internasional (ICJ) dan menghalangi penyidik untuk
melakukan investigasi ke wilayah tersebut. Upaya untuk melakukan sidang di
Mahkamah Internasional juga menghadapi hambatan, salah satunya adalah ketika
kurangnya dukungan dari negara-negara anggota PBB yang memiliki kepentingan
politik dan bisnis di Myanmar. Namun pada pelaksanaannya implementasi putusan
yang dikeluarkan oleh ICJ sulit untuk dilakukan karena ketidakmampuan untuk
mengekstradisi pelaku yang ada di dalam negara Myanmar dan adanya tekanan
politik dari pemerintahan Myanmar dan negara-negara lain. kemudian selain itu,
negara Myanmar terus menolak dugaan kejahatan kemanusiaan yang disangkakan terhadapnya
atas suku Rohingya.[15]
[1] Yazdi Mortheza Hairy, dkk,
“Peran Hukum Internasional dalam Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan 2, 3 (2024) : 2, Prefix DOI :
10.3783/causa.v1i1.571
[2] Alston Philip, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, edisi ke- 3.
(Yogyakarta:PUSHAM UII,2015),39-40.
[3] Susanti Aviantina, “Penyelesaian
Kasus Pelanggaran HAM Berat terhadap Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan
Hukum Internasional”, Jurnal Ilmiah (2014) : 4.
[4] Pasal 6 Statuta Roma Tahun 1998
[5] Sudiro Ahmad, dkk,
“Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional: Hak dan Peluang”, Jurnal
Kewarganegaraan 2, 1 (2024): 1000,
https://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/article/download/6465/3870/19793
[6] Putra Rengga Kusuma, Hak Asasi Manusia “HAM”, Edisi ke-1. (Semarang
: Yayasan Prima Agus Teknik, 2023), 1
[7] Diantha I Made Pasek, Hukum Pidana Internasional, Edisi ke-1.
(Jakarta : PRENADAMEDIA GROUP, 2014), 159
[8]
Sianturi Pretty, “Kewenangan Peradilan Internasional Dalam Penanganan
Kasus Pengusiran atau Pemindahan Secara Paksa Terhadap Stateless Person (Studi
Kasus Etnis Rohingya di Myanmar)”, UNJA Journal of LegalStudies 01,02
(2023): 1134,
https://online-journal.unja.ac.id/jols/article/download/33198/18386/104305
[9] Yazdi Mortheza Hairy, dkk,
“Peran Hukum Internasional Dalam Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum dan
Kewarganegaraan, 2, 3 (2024): 4-5,
https://ejournal.warunayama.org/index.php/causa/article/download/1915/1778/5950#:~:text=Melalui%20kerangka%20hukum%20internasional%2C%20negara,dan%20melindungi%20HAM%20secara%20global.
[11] Sianturi Pretty, Op.cit 134-136.
[12] Sitepu Rida Ista, “Eksistensi
Pidana Internasional terhadap Krisis Kemanusiaan Etnis Rohingya di Myanmar”, Jurnal Rechten 2, 2 (2020) : 46,
https://rechten.nusaputra.ac.id/article/view/58/45
[13] Tampubolon Michael Fredrick,
“Penerapan Convention of The Prevention
and Punishment of The Crime of Genocide dalam Sengketa antara Gambia dan
Myanmar”, Diponegoro Law Journal 11,
2 (2022) : 2-3,
https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/download/34694/27370
[14] Fajrin Muhammad, dkk,
“Implementasi Hak Asasi Manusia Internasional dalam Pemenuhan Asas Membership
oleh Myanmar kepada Etnis Rohingya”, Journal
of Politics and Democracy Studies 3, 2 (2022) : 152-253, https://ejournal.upnvj.ac.id/pp/article/download/6188/2391
[15] Maulana Ari, “Tantangan dan
Implementasi Hukum Pidana Internasional di Era Globalisasi (Studi Kasus
Genosida Rohingya di Myanmar), Jurnal
Politik Sosial Hukum Humaniora 1, 3 (2023) : 90-91,
https://doi.org/10.59246/aladalah.v1i3.329
Posting Komentar