- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Yurisdiksi ICJ (INTERNATIONAL COURT JUSTICE) Dalam Penyelesaian Pelanggaran Ham (Genosida) Terhadap Suku Rohingya Di Myanmar -Karyahukum

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak lahiriah yang diperoleh setiap individu sejak lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Perlindungan dan Pengak…

Yurisdiksi ICJ (INTERNATIONAL COURT JUSTICE) Dalam Penyelesaian Pelanggaran Ham (Genosida) Terhadap Suku Rohingya Di Myanmar -Karyahukum

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak lahiriah yang diperoleh setiap individu sejak lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Perlindungan dan Pengakuan akan pentingnya HAM seogianya menjadi prioritas dari setiap individu dan negara. Pentingnya perlindungan terhadap HAM secara internasional ditandai melalui lahirnya konvensi-konvensi internasional.

Hukum internasional mempunyai peran untuk menetapkan aturan ataupun prinsip-prinsip  HAM yang harus dilindungi dan di hormati oleh seluruh negara. Kesepakatan hukum internasional sangat dibutuhkan dalam hal ini, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR) yang kemudian menjadi dasar untuk melindungi hak-hak asasi manusia di seluruh negara. Hukum internasional membuat suatu tata cara dalam melaksanakan prinsip-prinsip penegakan HAM. Tata cara yang dilakukan oleh hukum internasional tersebut melibatkan Pengadilan Internasional untuk memberikan kepastian hukum terkait pelanggaran  HAM. Hukum internasional mempunyai peran untuk mensosialisasikan pemahaman tentang hak-hak dasar manusia atau HAM dengan tujuan supaya masyarakat di dunia dapat memahami, mendukung, menghargai prinsip-prinsip dasar HAM.[1]

Terdapat beberapa prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional secara luas yakni prinsip kesetaraan dan prinsip Non- diskriminasi. Prinsip kesetaraan merupakan hal yang sangat mendasar dari Hak Asasi Manusia (HAM) kontemporer adalah ide yang meletakan semua orang terlahir bebas dan memiliki kesetaraan dalam Hak Asasi Manusia (HAM), sedangkan prinsip non-diskriminasi merupakan salah satu bagian yang penting dari prinsip kesetaraan, karena jika semua orang setara maka seharusnya tidak ada perlakuan yang diskriminatif.[2]

Pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) masih banyak ditemui, bahkan menjadi topik pembahasan dalam pertemuan-pertemuan Internasional satu diantaranya kejahahatan genosida yang dialami suku Rohingya di negara Myanmar. Suku Rohingya merupakan salah satu suku yang pada awalnya hidup dan tinggal di Negara Myanmar sejak tahun 1950, kemudian pada tahun 1982 ketika dikeluarkan Burma Citizenshiplaw yang merupakan suatu undang-undang yang mengatur tentang golongan-golongan warga negara yang ada di Myanmar terbagi menjadi 3 yakni warga negara penuh Burma (Myanmar), warga negara asosiasi (warga negara gabungan) dan warga negara naturalisasi (warga asli). Sejak dikeluarkannya undang-undang  tersebut, suku Rohingya yang  ada di Myanmar kehilangan kewarganegaraannya. [3]

Sejak dikeluarkannya burma tersebut suku Rohingnya mulai diperlakukan secara diskriminatif, dan sewenang-wenang seperti pemerkosaan, pembunuhan, penindasan terhadap anak-anak, perampasan rumah, tanah, pemusnahan dan pelarangan memperbaiki rumah peribadahan (Masjid) keadaan ini diperburuk karena aktivitas tersebut dilegalkan oleh pemerintah myanmar. Pemburuan terhadap etnis atau suku Rohingya dapat dikategorikan sebagai kejahatan Genosida sebagaimana dimaksud dalam  Pasal 6 Statuta Roma 1998.[4]

Perlindungan terhadap HAM secara internasional sudah diatur sejak lama, akan tetapi masih membutuhkan perhatian khusus untuk penyempurnaanya terutama dalam penerapan tata cara pemberian perlindungan terhadap HAM. Pelanggaran HAM yang dialami suku Rohingya dan belum tercapainya penyelesaian terhadap masalah tersebut merupakan bukti nyata masih terdapat kelemahan terkait dengan bagaimana hukum internasional melindungi Hak Asasi Manusia yang ada negara-negara di dunia.

Hukum Internasional memiliki lembaga tersendiri dalam menyelesaikan permasalahan dan/atau sengketa Internasional seperti ICJ (International Criminal Justice) dan ICC (International Criminal Court). ICJ merupakan badan Peradilan International yang memiliki kewenangan salah satunya penyelesaian permasalahan terkait dengan kejahatan Genosida yang terjadi. Permasalahan Rohingya ICJ memegang peranan penting dalam penyelesaian kejahatahatan Genosida tersebut, Peranan ICJ diharapkan mampu sebagai garda terakhir pemutusan Pelanggaran HAM (kejahatan Genosida) yang dialami suku Rohingya, akan tetapi tugas  dan tanggungjawab ICJ tersebut tentu tidak mudah karena akan berhadapan dengan berbagai tantangan, oleh karenanya perlu dikaji bagiamana Peran ICJ dalam menyelesaikan kejahatan HAM yang terjadi ditengah tantangan yang dihadapi ICJ dalam penyelesaiannya.

 

A.           Rumusan Masalah                                                                                                         

1.    Bagaimana peran hukum internasional dalam meliindungi HAM ?

2. Bagaimana peran ICJ berdasarkan yurisdiksi internasional dalam menyelesaikan kejahatan HAM terhadap suku Rohingya di Myanmar ?

 

B.            Pembahasan

1.      Peran Hukum Internasional dalam Melindungi HAM

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak fundamental dalam diri setiap individu yang dimiliki setiap individu sejak lahir yang merupakan pemberian dari Tuhan. Perlindungan terhadap HAM setiap individu manusia merupakan prinsip dasar dalam hukum internasional yang menjadi dasar mewujudkan perdamaian, keadilan, dan kesejahteraan global. Dalam perjalananya upaya tersebut tidak berjalan dengan mudah, terdapat berbagai tantangan yang terjadi dalam melindungi HAM dibawah hukum internasional, beberapan tantangan dalam Perlindungan Hak Asasi manusia ialah:[5]

a. Kompleksitas Geopolitik: Kepentingan negara-negara besar seringkali menghalangi upaya untuk mengatasi pelanggaran Hak Asasi Manusia ditingkat Internasional;

b. Ketidaksepakatan dalam Inteperstasi Hak Asasi Manusia: terdapat perbedaan kebudayaan, nilai-nilai, serta sistem hukum antar negara sering menimbulkan perbedaan pandangan dalam menafsirkan dan menerapkan standar Hak Asasi Manusia;

c. Ketidakmampuan Menegakkan Kepatuhan: kurangnya mekanisme penegakan hukum yang efektif membuat sulit untuk menjamin kepatuhan negara-negara terhadap kewajiban Hak Asasi Manusia yang mereka terima.

Pada Tahun 1947 komisi memberi wewenang kepada pengurusnya untuk mulai membuat rancangan undang-undang hak asasi manusia yang selanjutnya diambil alih oleh panitia perancang formal yang diisi oleh 8 orang anggota komisi yang menyusun 2 dokumen terkait hal tersebut yaitu :[6]

a.       Dokumen deklarasi yang memuat prinsip-prinsip umum (standar hak asasi manusia) ;

b.      Konvensi yang akan mendefenisikan hak-hak tertentu dan  batasannya.

Adapun konvensi hak-hak asasi manusia mengakui hak dasar setiap manusia termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan keamanan pribadi, hak untuk mendapatkan hidup yang layak, hak untuk mencari suaka dari penganiayaan dari negara lain, hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi, hak atas pendidikan, hak atas kebebasan berpikir, hak atas hati nurani dan beragama, hak atas kebebasan dari penyiksaan dan direndahkan martabatnya. Deklarasi universal hak asasi manusia secara luas dianggap sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional.

Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional telah menetapkan kewajiban-kewajiban yang harus dihormati oleh setiap negara-negara. Negara mengemban kewajiban dan tugas berdasarkan hukum internasional untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi HAM. Kewajiban tersebut berarti negara harus menahan diri dari campur tangan atau pembatasan terhadap Hak Asasi Manusia. Kewajiban dari suatu negara untuk melindungi Hak Asasi Manusia mengharuskan Negara melindungi setiap Individu dan/atau kelompok dari pelanggaran Hak Asasi Manusia. Kewajiban ini berarti bahwa negara harus mengambil sikap positif dalam memenuhi Hak Asasi Manusia yang fundamental.

Rohingya merupakan salah satu etnis atau suku yang mengalami pelanggaran Hak Asasi Manusia di negara Myanmar, Etnis Rohingya mengalami berbagai bentuk tindakan pelanggaran HAM, seperti pemerkosaan, pembunuhan, penindasan terhadap anak-anak, perampasan rumah, tanah, pemusanahan dan pelarangan mempaerbaiki rumah ibadah (masjid), perlakuan yang dialami etnis/suku Rohingya tersebut termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan (Genosida) sebagaimana di maksud dalam Pasal 6 Statuta Roma yang rumusannya bersumber pada ketentuan Pasal II Konvensi Genosida PBB Tahun 1948, Pasal 6 Statuta Roma ini memberikan pengertian tentang kejahatan genosida yang merupakan suatu tindakan dengan maksud atau by intent untuk memusnahkan/merusak seluruh atau sebagian kelompok kebangsaan, etnis, ras atau keagamaan. Tindakan itu ada lima yakni sebagai berikut :[7]

a.       Membunuh anggota-anggota kelompok ;

b.      Menyebabkan kerusakan serius terhadap badan dan jiwa anggota-anggota kelompok ;

c.       Dengan sengaja menyengsarakan kondisi kehidupan kelompok dengan perhitungan agar timbul kerusakan fisik seluruh fisik atau sebagian ;

d.      Memberikan perlakuan dengan maksud mencegah kelahiran dilingkungan kelompok ;

e.       Memindahkan  dengan paksa anak-anak dari satu kelompok ke kelompok lainnya.

Lebih lanjut Pasal 36 ayat (1) Statuta Mahkamah internasional memberikan kesempatan bagi setiap negara atau etnis yang menjadi korban kejahatan kemanusiaan dengan meminta ICJ menangani kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia.[8] Pelangaran HAM terhadap etnis Rohingya yang tidak mendapatkan hak-hak asasi manusianya di negara tempat mereka berada yaitu Myanmar, oleh karena ICJ memiliki kewenangan untuk menanggapi dan menangani sengketa dan mengembalikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia setiap individu dan/atau kelompok  termasuk etnis Rohingya.

ICJ (International Court Justice) merupakan badan peradilan internasional yang didirikan oleh PBB untuk menegakkan hukum internasional dan berlaku terhadap seluruh negara-negara didunia yang merupakan anggota PBB atau telah menerima konvensi-konvensi internasional dan telah meratifikasinya kedalam undang-undang nasional negara tersebut. Myanmar merupakan salah satu negara yang tergabung dalam PBB, seharusnya menaati aturan-aturan internasional yang dalam hal ini bertujuan untuk melindungi setiap hak-hak asasi manusia yang dalam pembahasan ini etnis Rohingya yang berada di Myanmar.

Terdapat beberapa aturan-aturan internasional yang mengatur terakait perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) secara internasional, aturan-aturan tersebut dapat digolongkan kedalam aturan yang bersifat umum dan aturan yang bersifat khusus. Aturan yang bersifat umum diantaranya:[9] Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB pada tahun 1945, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) pada tahun 1948, Konvensi Internasional tentang Hak SIpil dan Politik (ICCPR) pada tahun 1966, Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (ICESCR) pada tahun 1966. Aturan yang bersifat khusus diantaranya: Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW) pada tahun 1979, Konvensi Hak Anak (CRC) pada tahun 1989, Konvensi Hak Penyandang Disabilitas (CRPD) pada Tahun 2006, Konvensi  Internasional tentang Penghapusan Segala bentuk  Diskriminasi Rasial (ICERD) pada tahun 1965, Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Semua Pekerja Migran dan ANggota Keluarga Mereka (CMW) pada tahun 1990.

Berdasarkan uraian diatas dengan memperhatikan aturan-aturan yang berdasarkan hukum Internasional seharusnya Myanmar harus mengakhiri pelanggaran Hak Asasi Manusia yang terjadi terhadap Suku Rohingya, kesadaran pentingnya perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia merupakan kewajiban bersama setiap individu-individu dengan negara-negara. Penyelesaian terhadap pelanggaran HAM melalui mekanisme Hukum Internasional pada dasarnya dapat dilakukan dengan dua cara yaitu perlindungan yang dilakukan secara sukarela dan perlindungan terhadap HAM yang dilakukan melalui mekanisme hukum (paksa).

Penyelesaian sukarela bergantung pada komitmen dari negara itu sendiri, terdapat perjanjian- perjanjian hak asasi manusia yang mengikat negara-negara yang meratifikasinya. Perjanjian ini berimplikasi hukum yang mengikat negara tersebut untuk menaati standar hak asasi setiap orang. Selain penyelesaian sukarela juga terdapat penyelesaian secara paksa, yaitu suatu pendekatan yang memaksa suatu negara untuk menaati serta mencegah terlanggarnya hak asasi seseorang, upaya ini dilakukan dengan cara pelacakan global yang dicoba oleh Lembaga-lembaga global untuk menyelidiki pelanggaran Hak Asasi Manusia Setiap individu, car aini membenarkan pengumpulan fakta serta penilaian bebas kepada suasana Hak Asasi Manusia setiap orang di suatu negara.[10]

Berdasarkan uraian diatas terlihat jelas bahwa terdapat instrument hukum Internasional untuk menjamin dan melindungi Hak Asasi Manusia setiap Individu disetiap negara dan terdapat kewajiban dari negara-negara untuk melindungi Hak Asasi Manusia setiap individu  dinegara tersebut, selain itu juga telah terdapat lembaga tersendiri untuk menyelesaiakan permaslahan-permaslahan yang melanggar hukum internasional, akan tetapi masih terdapat kelemahan dalam penegakkan hukum internasional yaitu proses penyelesaian permasalahan yang relatif lebih lama dan kurangnya pemberian sanksi kepada negara-negara yang melanggar atau tidak menaati aturan-aturan hukum  internasional, sanksi-sanksi dalam hukum Internasional yang diberikan kepada negara-negara yang melanggar hukum Internasional belum bersifat memaksa seperti: sanksi ekonomi yaitu pencegahan aliran komoditas atau produk dari negara dan kenegara sanksi, sanksi finansial seperti membatasi arus keuangan dan sumber-sumber ekonomi dari dan kenegara yang terkena sanksi, sanksi non- ekonomi seperti sanksi dalam melakukan hubungan dengan dunia luar dilaur kepentingan dagang, sanksi diplomati seperti tindakan politik untuk menyatakan ketidaksetujuan terhadap suatu tindakan. Sanksi-sanksi tersebut tidak ada yang berdampak langsung dengan pelanggaran yang dilakukan oleh negara tersebut, dan tidak berpengaruh terhadap korban yang mengalami tindakan pelanggaran hukum internasional tersebut. Sehingga masih sangat diperlukan dorongan dalam bentuk penegakkan hukum internasional dengan pemberian sanksi terhadap negara atau individu-individu yang melanggar hukum internasional, dengan demikian diharapkan keberadaan hukum Internasional dan kepatuhan negara-negara dan/ atau individu-individu terhadap hukum internasional dapat lebih maksimal terutama didalam perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia setiap Individu.

 

2.     Peran ICJ berdasarkan Yurisdiksi Internasional dalam Menyelesaikan Kejahatan HAM terhadap Suku Rohingnya di Myanmar

 

Dalam Pasal 36 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang merupakan dasar dari Mahmakah Internasional  dalam menangani kasus kejahatan kemanusiaan yang menyatakan setiap negara dapat mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk memutuskan sengketa yang dtimbul diantara negara-negara yang bersangkutan. Urgensi dari Pasal 36 Ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional ini adalah ketika terjadi suatu kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh negara maupun kelompok suku/etnis dalam suatu negara, maka korban dari kejahatan kemanusiaan tersebut dapat meminta bantuan dari ICJ. Dalam kasus kejahatan kemanusiaan yang dialami oleh suku Rohingnya yang mengalami kejahatan kemanusiaan di Myanmar hingga suku Rohingnya terpaksa pergi dari Myanmar karena dianggap sebagai Staateless People (orang-orang tanpa kewarganegaraan).

ICJ merupakan organ penting dalam PBB dan memiliki kewenangan universal berdasarkan persetujuan sukarela dan perjanjian internasional. Myanmar merupakan salah satu negara anggota PBB yang harus tunduk pada ICJ, namun dalam pelaksanaannya ICJ mempunyai keterbatasan dalam menjalankan kewenangannya yang melibatkan sengketa antar negara yang berkaitan dengan kejahatan kemanusiaan.[11]

Suku Rohingnya mengalami kejahatan kemanusiaan seperti pemerkosaan, propaganda anti Rohingnya, pembatasan gerak, pembatasan lapangan kerja, penangkapan sewenang-wenang, pengusiran paksa dan kejahatan lainnya di Myanmar yang kemudian menyebabkan suku Rohingnya menjadi terpencar, banyak terbunuh dan meninggalkan Myanmar. Kondisi ini diperparah dengan dukungan dari pemerintah Myanmar terhadap aksi operasi pembalasan militer atas serangan kantor polisi dan salah satu pangkalan militer yang telah yang telah diserang oleh kelompok bersenjata Rohingya atau yang dikenal dengan ARSA pada tahun  2016 dan 2017. Serangan secara sistematis dan terorganisir pemerintah Myanmar terhadap suku Rohingya dapat dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang beresiko tinggi terjadinya genosida. Berdasarkan temuan dari IIMM yang bertugas untuk melakukan investigasi di Myanmar menyatakan bahwa sejak tahun 2017 hingga 2019 ada 600.000 masyarakat Suku Rohingya mengalami penganiayaan dan genosida.[12] Hal tersebut kemudian menyebabkan salah satu negara kecil di benua Afrika yaitu Gambia kemudian mengajukan gugatan ke Mahkamah Internasional (ICJ). Dalam gugatannya Gambia menyatakan bahwa Myanmar telah melakukan pelanggaran HAM dengan melanggar Konvensi Genosida. Menanggapi gugatan tersebut Myanmar menyatakan bahwa Gambia melakukan gugatan bukan atas namanya sendiri melainkan atas nama Organisasi Kerjasama Islam (OKI) sehingga tidak harus diterima oleh Mahkamah Internasional, namun Gambia mengklaim bahwa Genosida yang dilakukan oleh Myanmar merupakan suatu kejahatan terhadap seluruh umat manusia, sehingga dimungkinkan untuk setiap negara melakuka penuntutan terhadap Myanmar atas dasar Yurisdiksi Universal.[13]

Negara Gambia yang mengajukan gugatan terhadap Myanmar ke Mahkamah Internasional terkait Genosida memperoleh dukungan dari Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang mempunyai anggota 57 negara. dalam aturan ICJ hanya boleh 1 negara saja yang mengajukan gugatan, jadi pada saat tersebut Gambia terpilih mewakili dalam menggugat Myanmar. Dalam sidang pada tanggal 23 Januari 2020 ICJ memberikan putusan dan memerintahkan Myanmar untuk melakukan pencegahan genosida dan hal tersebut merupakan tanggungjawab dari negara Myanmar. Pada dasarnya pertanggungjawaban negara muncul yakni ketika negara melakukan dua hal yaitu tindakan aktif yang dilakukan (action) dan kegagalan atau kelalaian untuk melakukan sesuatu yang seharusnya dilakukan (omission). Dalam putusannya ICJ mengeluarkan putusan sementara yaitu :[14]

a.       Dengan suara bulat, Republik Persatuan Myanmar diperintahkan  untuk melakukan tindakan pencegahan tindakan genosida yang dilakukan oleh militer Myanmar terhadap suku Rohingya ;

b.      Republik Persatuan Myanmar diperintahkan untuk mencegah konspirasi yang berkaitan dengan upaya/rencana genosida terhadap suku Rohingya di Myanmar ;

c.       Republik Persatuan Myanmar diperintahkan untuk mengambil tindakan tegas apabila ada dugaan tindakan genosida terhadap suku Rohingya di Myanmar ;

d.  Republik Persatuan Myanmar diperintahkan untuk menyampaikan laporan ke Mahkamah Internasional atas semua tindakan yang dilakukan dalam upaya pencegahan tindak kejahatan genosida.

Melalui adanya putusan tersebut, meskipun sudah banyak bukti yang menunjukkan terjadinya genosida, Myanmar menolak untuk bekerjasama dengan Mahkamah Internasional (ICJ) dan menghalangi penyidik untuk melakukan investigasi ke wilayah tersebut. Upaya untuk melakukan sidang di Mahkamah Internasional juga menghadapi hambatan, salah satunya adalah ketika kurangnya dukungan dari negara-negara anggota PBB yang memiliki kepentingan politik dan bisnis di Myanmar. Namun pada pelaksanaannya implementasi putusan yang dikeluarkan oleh ICJ sulit untuk dilakukan karena ketidakmampuan untuk mengekstradisi pelaku yang ada di dalam negara Myanmar dan adanya tekanan politik dari pemerintahan Myanmar dan negara-negara lain. kemudian selain itu, negara Myanmar terus menolak dugaan kejahatan kemanusiaan yang disangkakan terhadapnya atas suku Rohingya.[15]

 



[1] Yazdi Mortheza Hairy, dkk, “Peran Hukum Internasional dalam Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan 2, 3 (2024) : 2, Prefix DOI : 10.3783/causa.v1i1.571

[2] Alston Philip, dkk, Hukum Hak Asasi Manusia, edisi ke- 3. (Yogyakarta:PUSHAM UII,2015),39-40.

[3] Susanti Aviantina, “Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat terhadap Etnis Rohingya di Myanmar berdasarkan Hukum Internasional”, Jurnal Ilmiah (2014) : 4.

[4] Pasal 6 Statuta Roma Tahun 1998

[5] Sudiro Ahmad, dkk, “Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Hukum Internasional: Hak dan Peluang”, Jurnal Kewarganegaraan 2, 1 (2024): 1000, https://journal.upy.ac.id/index.php/pkn/article/download/6465/3870/19793

[6] Putra Rengga Kusuma, Hak Asasi Manusia “HAM”, Edisi ke-1. (Semarang : Yayasan Prima Agus Teknik, 2023), 1

[7] Diantha I Made Pasek, Hukum Pidana Internasional, Edisi ke-1. (Jakarta : PRENADAMEDIA GROUP, 2014), 159

[8]  Sianturi Pretty, “Kewenangan Peradilan Internasional Dalam Penanganan Kasus Pengusiran atau Pemindahan Secara Paksa Terhadap Stateless Person (Studi Kasus Etnis Rohingya di Myanmar)”, UNJA Journal of LegalStudies 01,02 (2023): 1134, https://online-journal.unja.ac.id/jols/article/download/33198/18386/104305

[9] Yazdi Mortheza Hairy, dkk, “Peran Hukum Internasional Dalam Hak Asasi Manusia”, Jurnal Hukum dan Kewarganegaraan, 2, 3 (2024): 4-5, https://ejournal.warunayama.org/index.php/causa/article/download/1915/1778/5950#:~:text=Melalui%20kerangka%20hukum%20internasional%2C%20negara,dan%20melindungi%20HAM%20secara%20global.

[11] Sianturi Pretty, Op.cit 134-136.

[12] Sitepu Rida Ista, “Eksistensi Pidana Internasional terhadap Krisis Kemanusiaan Etnis Rohingya di Myanmar”, Jurnal Rechten 2, 2 (2020) : 46, https://rechten.nusaputra.ac.id/article/view/58/45

[13] Tampubolon Michael Fredrick, “Penerapan Convention of The Prevention and Punishment of The Crime of Genocide dalam Sengketa antara Gambia dan Myanmar”, Diponegoro Law Journal 11, 2 (2022) : 2-3, https://ejournal3.undip.ac.id/index.php/dlr/article/download/34694/27370 

[14] Fajrin Muhammad, dkk, “Implementasi Hak Asasi Manusia Internasional dalam Pemenuhan Asas Membership oleh Myanmar kepada Etnis Rohingya”, Journal of Politics and Democracy Studies 3, 2 (2022) : 152-253, https://ejournal.upnvj.ac.id/pp/article/download/6188/2391

[15] Maulana Ari, “Tantangan dan Implementasi Hukum Pidana Internasional di Era Globalisasi (Studi Kasus Genosida Rohingya di Myanmar), Jurnal Politik Sosial Hukum Humaniora 1, 3 (2023) : 90-91, https://doi.org/10.59246/aladalah.v1i3.329 

Posting Komentar

Posting Komentar