- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Panduan Menjadi Advokat di Indonesia - karya Hukum

Halo Sobat Karya Hukum Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Sobat Justitia selalu sehat di manapun berada. Hari ini, saya akan meny…

Tinjauan Penyelesaian Sengketa Medik Melalui Mediasi-karyahukum

    

     


     A.    Peran Mediator Untuk Menyelesaikan Sengketa Medik Melalui Mediasi

Hak pasien merupakan kunci utama dalam melakukan proses mediasi dapat berjalan dengan baik apa tidak mengingat mendiasi menjadi gagal seringkali di karenakan hak pasien yang terlalu banyak di langgar sehingga proses mediasi seringkali gagal. Jika berbicara Hak pasien merupakan hak asasi dan bersumber dari hak individual, hak untuk menentukan nasib sendiri lebih dekat artinya dengan hak pribadi, yaitu hak atas keamanan pribadi yang berkaitan erat dengan hidup, bagian tubuh, kesehatan, kehormatan, serta hak atas kebebasan pribadi. Pasien selalu ikut apa yang akan dikatakan oleh dokter tanpa bertanya apapun, sekarang dokter adalah patner pasien dan keduanya memiliki kedudukan yang sama sacara hukum, sering kali pasien menurunkan derajat dirinya sebagai objek bagi suatu yang seharusnya diputuskan berdasarkan alasan-alasan yang kuat tanpa menyadarai apa motif dan konsekuensi dari keputusan itu, pasien seharusnya mendapat informasi yang cukup untuk dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan.

Pasien bila berhubungan dengan dokter benar-benar harus mempercayakan nasibnya kepada dokter tersebut. Dalam arti bila terjadi suatu kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter, pasien hanya bisa pasrah, tanpa dapat menggugat, karena tidak ada landasarn hukum. Isi pasal hak-hak pasien di undang-undang tersebut hamper sama, hanya terdapat perbedaan, yaitu pada Undang-Undang Praktik Kedokteran tidak disebutkan hak pasien untuk mendapatkan ganti rugi. Tahun 2009 disahkan juga Undang-Undang Rumah Sakit, yang dalamnya juga mengatur tentang hak pasien. Berikut adalah table perbandingan hak-hak pasien yang diatur dalam UndangUndang Ksehatan, Undang-Undang Praktik kedokteran dan Undang-Undang Rumah Sakit.

Keunggulan dari mediasi dalam penyelesaian sengketa medik modern memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:

1.      Voluntary (sukarela)

Keputusan untuk bermediasi diserahkan kepada kesepakatan para pihak, sehingga dapat dicapai suatu putusan yang benar-benar merupakan kehendak para pihak.

2.      Informal fleksibel

Tidak seperti litigasi (pengadilan), proses mediasi sangat fleksibel. Bahkan bisa saja para pihak dengan dibantu mediator dapat mendesain sendiri prosedur mediasi.

3.      Interest based (dasar kepentingan)

Dalam mediasi tidak dicari siapa yang benar atau salah, tetapi lebih untuk menjaga kepentingan-kepentingan masing-masing pihak.

4.      Future looking (memandang ke depan)

Karena lebih menjaga kepentingan masing-masing pihak, mediasi lebih menekankan untuk menjaga hubungan para pihak yang bersengketa ke depan, tidak berorientasi ke masa lalu.

5.      Parties oriented

Dengan prosedur yang informal, maka para pihak yang berkepentingan dapat secara aktif mengontrol proses mediasi dan pengambilan penyelesaian tanpa terlalu bergantung kepada lawyer/pengacara/advokat

6.      Parties control Penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan keputusan dari masing-masing pihak.

Mediator tidak dapat memaksakan untuk tercapainya kesepakatan; lawyer/pengacara tidak dapat menunda-nunda waktu atau memanfaatkan ketidaktahuan klien dalam hal beracara seperti di pengadilan (litigasi).

Litigasi adalah sebuah proses di mana pengadilan menjatuhkan keputusan yang mengikat para pihak yang berselisih dalam suatu proses hukum yang terlihat dalam tingkat mana hukum dan kewajiban. Kedua proses penyelesaian sengketa medik antara mediasi dan litigasi sama sekali berbeda, tetapi kedua cara tersebut merupakan bentuk penyelesaian sengketa medik. Litigasi banyak digunakan untuk penyelesaian sengketa medik, tetapi mediasi secara perlahan menjadi lebih dikenal dan efektif dalam penyelesaian sengketa medik, serta perlahan-lahan juga kedua proses ini menjadi saling bergantung, di mana dalam proses pengadilan untuk sengketa medik merupakan suatu kewajiban untuk melakukan mediasi terlebih dahulu sebelum putusan pengadilan. Yang paling menonjol dalam proses litigasi adalah biaya cukup tinggi, waktu yang lama, beban psikologis yang tinggi, belum lagi formalitas dan kompleksitas dari proses litigasi. Kerugian yang dapat terjadi dari proses litigasi, dari sudut dokter/dokter gigi dan/atau rumah sakit, akan ada dampak reputasi rumah sakit, dokter/dokter gigi dan biaya premi asuransi profesi dokter/dokter gigi jadi meningkat. Bukan hanya reputasi yang rusak, tetapi juga perasaan pribadi sehingga sering menimbulkan beban psikologis tidak seperti yang dialami oleh penggugat.

Dari sudut pandang masyarakat menyebabkan penurunan kualitas pelayanan kesehatan dari hasil putusan litigasi, di mana dokter/ dokter gigi tidak akan mengambil suatu risiko dalam menjalankan profesinya, sehingga menyebabkan biaya kesehatan yang tinggi. Litigasi kadang-kadang menyebabkan biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada klaim yang diterima oleh penggugat, dan juga penggugat juga harus mencari peng acara untuk mewakilinya, begitu juga sebaliknya pihak tergugat. Litigasi sebagai sarana untuk menyelesaikan sengketa medik akan menempatkan keberlangsungan hubungan yang tidak baik antara dokter/dokter gigi dan/atau rumah sakit dengan pasien dan/atau keluarganya. Semua alasan ini, untuk penyelesaian sengketa medik yang terbaik adalah melalu mediasi.[1]

Secara harfiah mediasi memiliki kata dasar “media” yang berarti alat atau sarana komunikasi, atau dapat diartikan sebagai yang terletak diantara dua pihak (orang, golongan dsb), perantara atau penghubung[2], secara keseluruhan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia mediasi diartikan sebagai proses mengikutsertakan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan sebagai nasihat. Munir Fuady mendefinisikan mediasi adalah sebagai salah atu alternative penyelesaian sengketa dimana suatu proses negosiasi untuk memecahkan masalah melalui pihak luar yang tidak memihak dan netral yang akan berkerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak, pihak ketiga yang membantu menyelesaikan sengketa tersebut disebut dengan pihak mediator.[3]

Mediator adalah pihak ketiga yang membantu penyelesaian sengketa para pihak, yang mana ia tidak melakukan intervensi terhadap pengambilan keputusan. Mediator menjembatani pertemuan para pihak, melakukan negosiasi, menawarkan alternative solusi dan secara bersama-sama para pihak merumuskan kesepakatan penyelesaian sengketa. Mediator hanyalah membantu mencari jalan keluar, agar para pihak bersedia duduk bersama menyelesaikan sengketa yang mereka alami.  Macam-Macam Mediator:

1.  Mediator yang ditunjuk oleh para pihak secara bersama (Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999)

2. Mediator yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian sengketa yang ditunjuk oleh para pihak (Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999)

    B. Proses Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Berdasarkan Hukum di Indonesia

Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1 Tahun 2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan.Kehadiran PERMA No. 1 Tahun 2016 dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Hal ini dapat dilakukan dengan mengintensifkan dan mengintegrasikan proses mediasi kedalam prosedur beperkara di Pengadilan. Mediasi mendapat kedudukan penting dalam PERMA No. 1 Tahun 2016, karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses berperkara di Pengadilan. Pasal 4 ayat 1 PERMANo. 1 Tahun 2016 menentukan perkara yang wajib menempuh mediasi adalah semua sengketa perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas putusan verstek, dan perlawanan pihak berperkara terhadap (partij verzet) maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.

Perdamaian terhadap perkara dalam prose banding, kasasi atau peninjauan kembali dilaksanakan di pengadilan yang mengadili perkara tersebut pada tingkat pertama atau ditempat lain atas persetujuan para pihak. Para pihak melalui ketua pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis hakim tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk akta perdamaian.

Pada Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan, tahapan atau prosedur Mediasi dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, antara lain Pra-Mediasi, Proses Mediasi, dan Tahap Hasil Mediasi. 1. Tahap Pra-Mediasi

1.      Tahap pramediasi

Merupakan tahap awal dimana mediator menyusun sejumlah langkah dan persiapan sebelum mediasi benar-benar dimulai. Pada tahap ini mediator melakukan beberapa langkah antara lain; membangun kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali dan memberikan informasi awal mediasi, fokus pada masa depan, mengkoordinasikan pihak yang bersengketa, menentukan siapa yang hadir, menentukan tujuan pertemuan, kesepakatan waktu dan tempat, dan menciptakan rasa yang aman bagi kedua belah pihak untuk bertemu dan membicarakan perselisihan yang dihadapi (Syahrizal Abbas, 2009: 37). Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam PERMA No. 1 tahun 2016, kepada para pihak yang bersengketa atau kuasanya, dan mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi. Para pihak atau kuasa hukumnya wajib berunding untuk memilih mediator dari daftar mediator yang dimiliki oleh Pengadilan. Apabila para pihak atau kuasa hukum bersepakat tentang pilihan mediator, maka wajib melaporkan kepada ketua majelis hakim, dan ketua majelis hakim segera memberitahukan kepada mediator terpilih untuk menjelaskan tugas. Sebaliknya, jika gagal harus segera diberitahukan kepada ketua majelis, dan ketua majelis berwenang untuk menunjuk hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang sama untuk menjalankan fungsi mediator dengan menerbitkan penetapan.

2.      Proses Mediasi

Proses ini merupakan tahapan dimana Mediator memulai melakukan proses Mediasi. Pada tahap ini pihak-pihak yang bersengketa sudah berhadapan satu sama lain, dan memulai proses mediasi. Mediasi bersifat rahasia, sehingga Mediator Hakim atau Mediator harus segera memusnahkan dokumen-dokumen Mediasi setelah selesainya Mediasi tersebut. Mengenai sistem atau tata cara pertemuan perundingan proses mediasi diatur dalam PERMA No. 1 tahun 2016, didapati adanya 3 sistem pertemuan, yaitu:

a. Tertutup untuk umum; sistem ini merupakan sistem dasardalam mediasi pada asasnya mediasi tidak bersifat terbuka untuk umum kecuali para pihak menghendaki lain.

b. Terbuka untuk umum atas persetujuan para pihak; terbuka untuk umum atau disclosure ataudalam peradilan disebut open court, yaitu sidang pengadilan yangdinyatakan terbuka untuk umum.

c.  Sengketa publik mutlak terbuka untuk umum; sistem proses mediasi yang ketiga, mutlak terbuka untukumum.[4]

Manakala para pihak dengan bantuan mediator bersertfikat telah berhasil menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan dengan kesepakatan perdamaian, maka perdamaian tersebut dapat diajukan ke Pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara mengajukan gugatan hakim, di hadapan para pihak hanya akan menguatkan kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a.       Sesuai kehendak para pihak.

b.      Tidak bertentangan dengan hukum.

c.       Tidak merugikan pihak ketiga.

d.      Dapat dieksekusi.

e.       Dengan itikad baik (Susanti Adi Nugroho, 2009: 53-54).

3.      Tahap Hasil Mediasi

Tahap ini merupakan tahap di mana para pihak hanyalah menjalankan hasil-hasil kesepakatan yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu perjanjian tertulis. Para pihak menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan komitmen yang telah mereka tunjukkan selama dalam proses mediasi.Jika dalam waktu sepertiyang ditetapkan PERMA No.1 Tahun 2016 ternyata para pihak tidak mampumenghasilkan kesepakatan mediator wajib menyatakan secara tertulisbahwa proses mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan kepadahakim. Segera setelah menerima pemberitahuan tersebut, hakimmelanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara yang berlaku.

Pertimbangan dengan ditetapkannya Peratuan Mahkamah Agung Republik Indonesaia Nomor 2 Tahun 2003 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan adalah:

1.  Pengintegrasian mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu instrument efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan.

2.  Proses mediasi lebih cepat, murah dan dapat memberikan akses kepada para pihak yang bersengketa untuk memperoleh keadilan untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang dihadapi dengan memuaskan.

3. Pelembagaan proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalakan fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa, disamping proses pengadilan yang bersifat memutus (Adjudikatif). Secara etimologi (Bahasa), mediasi berasal dari Bahasa latin mediare yang berarti “berada di tengah” karena seseorang yang akan melakukan mediasi (mediator) harus berada di tengah orang yang bertikai atau bersengketa.



[1] Ari Yunanto, Helmi, 2010, Hukum Pidana Malpraktek Medik, Tinjauan dan Perspektif Medikolegal, Andi Offset, Yogyakarta, Hal. 34

[2] Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3 Balai Pustaka: Jakarta, 2002. Hlm. 726.

[3] Munir Fuady, Hukum Kontrak (dari sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2001, hlm 30.

[4] M. Yahya Harahap, 2008, Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 285.

Posting Komentar

Posting Komentar