A. Peran
Mediator Untuk Menyelesaikan Sengketa Medik Melalui Mediasi
Hak pasien merupakan kunci utama dalam
melakukan proses mediasi dapat berjalan dengan baik apa tidak mengingat mendiasi
menjadi gagal seringkali di karenakan hak pasien yang terlalu banyak di langgar
sehingga proses mediasi seringkali gagal. Jika berbicara Hak pasien merupakan
hak asasi dan bersumber dari hak individual, hak untuk menentukan nasib sendiri
lebih dekat artinya dengan hak pribadi, yaitu hak atas keamanan pribadi yang
berkaitan erat dengan hidup, bagian tubuh, kesehatan, kehormatan, serta hak
atas kebebasan pribadi. Pasien selalu ikut apa yang akan dikatakan oleh dokter
tanpa bertanya apapun, sekarang dokter adalah patner pasien dan keduanya
memiliki kedudukan yang sama sacara hukum, sering kali pasien menurunkan
derajat dirinya sebagai objek bagi suatu yang seharusnya diputuskan berdasarkan
alasan-alasan yang kuat tanpa menyadarai apa motif dan konsekuensi dari
keputusan itu, pasien seharusnya mendapat informasi yang cukup untuk dapat
dipergunakan sebagai bahan pertimbangan.
Pasien bila berhubungan dengan dokter
benar-benar harus mempercayakan nasibnya kepada dokter tersebut. Dalam arti
bila terjadi suatu kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh dokter, pasien
hanya bisa pasrah, tanpa dapat menggugat, karena tidak ada landasarn hukum. Isi
pasal hak-hak pasien di undang-undang tersebut hamper sama, hanya terdapat
perbedaan, yaitu pada Undang-Undang Praktik Kedokteran tidak disebutkan hak
pasien untuk mendapatkan ganti rugi. Tahun 2009 disahkan juga Undang-Undang
Rumah Sakit, yang dalamnya juga mengatur tentang hak pasien. Berikut adalah
table perbandingan hak-hak pasien yang diatur dalam UndangUndang Ksehatan,
Undang-Undang Praktik kedokteran dan Undang-Undang Rumah Sakit.
Keunggulan dari mediasi dalam penyelesaian
sengketa medik modern memiliki beberapa karakteristik sebagai berikut:
1. Voluntary
(sukarela)
Keputusan
untuk bermediasi diserahkan kepada kesepakatan para pihak, sehingga dapat
dicapai suatu putusan yang benar-benar merupakan kehendak para pihak.
2. Informal
fleksibel
Tidak
seperti litigasi (pengadilan), proses mediasi sangat fleksibel. Bahkan bisa
saja para pihak dengan dibantu mediator dapat mendesain sendiri prosedur
mediasi.
3. Interest
based (dasar kepentingan)
Dalam
mediasi tidak dicari siapa yang benar atau salah, tetapi lebih untuk menjaga
kepentingan-kepentingan masing-masing pihak.
4. Future
looking (memandang ke depan)
Karena
lebih menjaga kepentingan masing-masing pihak, mediasi lebih menekankan untuk
menjaga hubungan para pihak yang bersengketa ke depan, tidak berorientasi ke
masa lalu.
5. Parties
oriented
Dengan
prosedur yang informal, maka para pihak yang berkepentingan dapat secara aktif
mengontrol proses mediasi dan pengambilan penyelesaian tanpa terlalu bergantung
kepada lawyer/pengacara/advokat
6. Parties
control Penyelesaian sengketa melalui mediasi merupakan keputusan dari
masing-masing pihak.
Mediator
tidak dapat memaksakan untuk tercapainya kesepakatan; lawyer/pengacara tidak
dapat menunda-nunda waktu atau memanfaatkan ketidaktahuan klien dalam hal
beracara seperti di pengadilan (litigasi).
Litigasi adalah sebuah proses di mana
pengadilan menjatuhkan keputusan yang mengikat para pihak yang berselisih dalam
suatu proses hukum yang terlihat dalam tingkat mana hukum dan kewajiban. Kedua
proses penyelesaian sengketa medik antara mediasi dan litigasi sama sekali
berbeda, tetapi kedua cara tersebut merupakan bentuk penyelesaian sengketa
medik. Litigasi banyak digunakan untuk penyelesaian sengketa medik, tetapi
mediasi secara perlahan menjadi lebih dikenal dan efektif dalam penyelesaian
sengketa medik, serta perlahan-lahan juga kedua proses ini menjadi saling
bergantung, di mana dalam proses pengadilan untuk sengketa medik merupakan
suatu kewajiban untuk melakukan mediasi terlebih dahulu sebelum putusan
pengadilan. Yang paling menonjol dalam proses litigasi adalah biaya cukup
tinggi, waktu yang lama, beban psikologis yang tinggi, belum lagi formalitas
dan kompleksitas dari proses litigasi. Kerugian yang dapat terjadi dari proses
litigasi, dari sudut dokter/dokter gigi dan/atau rumah sakit, akan ada dampak
reputasi rumah sakit, dokter/dokter gigi dan biaya premi asuransi profesi
dokter/dokter gigi jadi meningkat. Bukan hanya reputasi yang rusak, tetapi juga
perasaan pribadi sehingga sering menimbulkan beban psikologis tidak seperti
yang dialami oleh penggugat.
Dari sudut pandang masyarakat
menyebabkan penurunan kualitas pelayanan kesehatan dari hasil putusan litigasi,
di mana dokter/ dokter gigi tidak akan mengambil suatu risiko dalam menjalankan
profesinya, sehingga menyebabkan biaya kesehatan yang tinggi. Litigasi
kadang-kadang menyebabkan biaya yang dikeluarkan lebih besar daripada klaim
yang diterima oleh penggugat, dan juga penggugat juga harus mencari peng acara
untuk mewakilinya, begitu juga sebaliknya pihak tergugat. Litigasi sebagai
sarana untuk menyelesaikan sengketa medik akan menempatkan keberlangsungan
hubungan yang tidak baik antara dokter/dokter gigi dan/atau rumah sakit dengan
pasien dan/atau keluarganya. Semua alasan ini, untuk penyelesaian sengketa
medik yang terbaik adalah melalu mediasi.[1]
Secara harfiah mediasi memiliki kata
dasar “media” yang berarti alat atau sarana komunikasi, atau dapat diartikan
sebagai yang terletak diantara dua pihak (orang, golongan dsb), perantara atau
penghubung[2],
secara keseluruhan dalam kamus Besar Bahasa Indonesia mediasi diartikan sebagai
proses mengikutsertakan pihak ketiga dalam penyelesaian suatu perselisihan
sebagai nasihat. Munir Fuady mendefinisikan mediasi adalah sebagai salah atu
alternative penyelesaian sengketa dimana suatu proses negosiasi untuk
memecahkan masalah melalui pihak luar yang tidak memihak dan netral yang akan
berkerja dengan pihak yang bersengketa untuk membantu menemukan solusi dalam
menyelesaikan sengketa tersebut secara memuaskan bagi kedua belah pihak, pihak
ketiga yang membantu menyelesaikan sengketa tersebut disebut dengan pihak
mediator.[3]
Mediator adalah pihak ketiga yang
membantu penyelesaian sengketa para pihak, yang mana ia tidak melakukan
intervensi terhadap pengambilan keputusan. Mediator menjembatani pertemuan para
pihak, melakukan negosiasi, menawarkan alternative solusi dan secara
bersama-sama para pihak merumuskan kesepakatan penyelesaian sengketa. Mediator
hanyalah membantu mencari jalan keluar, agar para pihak bersedia duduk bersama
menyelesaikan sengketa yang mereka alami.
Macam-Macam Mediator:
1. Mediator
yang ditunjuk oleh para pihak secara bersama (Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 1999)
2. Mediator
yang ditunjuk oleh lembaga arbitrase atau lembaga alternatif penyelesaian
sengketa yang ditunjuk oleh para pihak (Pasal 6 ayat (4) Undang-Undang Nomor 30
Tahun 1999)
B. Proses
Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi Berdasarkan Hukum di Indonesia
Mahkamah Agung mengeluarkan PERMA No. 1
Tahun 2016 tentang prosedur Mediasi di Pengadilan.Kehadiran PERMA No. 1 Tahun
2016 dimaksudkan untuk memberikan kepastian, ketertiban, kelancaran dalam
proses mendamaikan para pihak untuk menyelesaikan suatu sengketa perdata. Hal
ini dapat dilakukan dengan mengintensifkan dan mengintegrasikan proses mediasi
kedalam prosedur beperkara di Pengadilan. Mediasi mendapat kedudukan penting
dalam PERMA No. 1 Tahun 2016, karena proses mediasi merupakan bagian yang tidak
terpisahkan dari proses berperkara di Pengadilan. Pasal 4 ayat 1 PERMANo. 1
Tahun 2016 menentukan perkara yang wajib menempuh mediasi adalah semua sengketa
perdata yang diajukan ke Pengadilan termasuk perkara perlawanan (verzet) atas
putusan verstek, dan perlawanan pihak berperkara terhadap (partij verzet)
maupun pihak ketiga (derden verzet) terhadap pelaksanaan putusan yang telah
berkekuatan hukum tetap, wajib terlebih dahulu diupayakan penyelesaian melalui
mediasi, kecuali ditentukan lain berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung ini.
Perdamaian terhadap perkara dalam prose
banding, kasasi atau peninjauan kembali dilaksanakan di pengadilan yang
mengadili perkara tersebut pada tingkat pertama atau ditempat lain atas
persetujuan para pihak. Para pihak melalui ketua pengadilan tingkat pertama
dapat mengajukan kesepakatan perdamaian secara tertulis kepada majelis hakim
tingkat banding, kasasi atau peninjauan kembali untuk dikuatkan dalam bentuk
akta perdamaian.
Pada Pelaksanaan Mediasi di Pengadilan,
tahapan atau prosedur Mediasi dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, antara lain
Pra-Mediasi, Proses Mediasi, dan Tahap Hasil Mediasi. 1. Tahap Pra-Mediasi
1. Tahap
pramediasi
Merupakan
tahap awal dimana mediator menyusun sejumlah langkah dan persiapan sebelum
mediasi benar-benar dimulai. Pada tahap ini mediator melakukan beberapa langkah
antara lain; membangun kepercayaan diri, menghubungi para pihak, menggali dan
memberikan informasi awal mediasi, fokus pada masa depan, mengkoordinasikan
pihak yang bersengketa, menentukan siapa yang hadir, menentukan tujuan
pertemuan, kesepakatan waktu dan tempat, dan menciptakan rasa yang aman bagi
kedua belah pihak untuk bertemu dan membicarakan perselisihan yang dihadapi
(Syahrizal Abbas, 2009: 37). Hakim wajib menjelaskan prosedur mediasi dalam
PERMA No. 1 tahun 2016, kepada para pihak yang bersengketa atau kuasanya, dan
mendorong para pihak untuk berperan langsung atau aktif dalam proses mediasi.
Para pihak atau kuasa hukumnya wajib berunding untuk memilih mediator dari
daftar mediator yang dimiliki oleh Pengadilan. Apabila para pihak atau kuasa
hukum bersepakat tentang pilihan mediator, maka wajib melaporkan kepada ketua
majelis hakim, dan ketua majelis hakim segera memberitahukan kepada mediator
terpilih untuk menjelaskan tugas. Sebaliknya, jika gagal harus segera
diberitahukan kepada ketua majelis, dan ketua majelis berwenang untuk menunjuk
hakim bukan pemeriksa pokok perkara yang bersertifikat pada pengadilan yang
sama untuk menjalankan fungsi mediator dengan menerbitkan penetapan.
2. Proses
Mediasi
Proses
ini merupakan tahapan dimana Mediator memulai melakukan proses Mediasi. Pada
tahap ini pihak-pihak yang bersengketa sudah berhadapan satu sama lain, dan
memulai proses mediasi. Mediasi bersifat rahasia, sehingga Mediator Hakim atau
Mediator harus segera memusnahkan dokumen-dokumen Mediasi setelah selesainya
Mediasi tersebut. Mengenai sistem atau tata cara pertemuan perundingan proses
mediasi diatur dalam PERMA No. 1 tahun 2016, didapati adanya 3 sistem
pertemuan, yaitu:
a. Tertutup
untuk umum; sistem ini merupakan sistem dasardalam mediasi pada asasnya mediasi
tidak bersifat terbuka untuk umum kecuali para pihak menghendaki lain.
b. Terbuka
untuk umum atas persetujuan para pihak; terbuka untuk umum atau disclosure
ataudalam peradilan disebut open court, yaitu sidang pengadilan yangdinyatakan
terbuka untuk umum.
c. Sengketa
publik mutlak terbuka untuk umum; sistem proses mediasi yang ketiga, mutlak
terbuka untukumum.[4]
Manakala para pihak dengan bantuan
mediator bersertfikat telah berhasil menyelesaikan sengketa di luar Pengadilan
dengan kesepakatan perdamaian, maka perdamaian tersebut dapat diajukan ke
Pengadilan yang berwenang untuk memperoleh akta perdamaian dengan cara
mengajukan gugatan hakim, di hadapan para pihak hanya akan menguatkan
kesepakatan perdamaian dalam bentuk akta perdamaian apabila kesepakatan
perdamaian tersebut memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Sesuai
kehendak para pihak.
b. Tidak
bertentangan dengan hukum.
c. Tidak
merugikan pihak ketiga.
d. Dapat
dieksekusi.
e. Dengan
itikad baik (Susanti Adi Nugroho, 2009: 53-54).
3. Tahap
Hasil Mediasi
Tahap
ini merupakan tahap di mana para pihak hanyalah menjalankan hasil-hasil
kesepakatan yang telah mereka tuangkan bersama dalam suatu perjanjian tertulis.
Para pihak menjalankan hasil kesepakatan berdasarkan komitmen yang telah mereka
tunjukkan selama dalam proses mediasi.Jika dalam waktu sepertiyang ditetapkan
PERMA No.1 Tahun 2016 ternyata para pihak tidak mampumenghasilkan kesepakatan
mediator wajib menyatakan secara tertulisbahwa proses mediasi telah gagal dan
memberitahukan kegagalan kepadahakim. Segera setelah menerima pemberitahuan
tersebut, hakimmelanjutkan pemeriksaan perkara sesuai ketentuan hukum acara
yang berlaku.
Pertimbangan dengan ditetapkannya
Peratuan Mahkamah Agung Republik Indonesaia Nomor 2 Tahun 2003 tentang prosedur
Mediasi di Pengadilan adalah:
1. Pengintegrasian
mediasi ke dalam proses beracara di pengadilan dapat menjadi salah satu
instrument efektif mengatasi kemungkinan penumpukan perkara di pengadilan.
2. Proses
mediasi lebih cepat, murah dan dapat memberikan akses kepada para pihak yang
bersengketa untuk memperoleh keadilan untuk mendapatkan penyelesaian sengketa
yang dihadapi dengan memuaskan.
3. Pelembagaan
proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat dan memaksimalakan
fungsi lembaga peradilan dalam penyelesaian sengketa, disamping proses
pengadilan yang bersifat memutus (Adjudikatif). Secara etimologi (Bahasa),
mediasi berasal dari Bahasa latin mediare yang berarti “berada di tengah”
karena seseorang yang akan melakukan mediasi (mediator) harus berada di tengah
orang yang bertikai atau bersengketa.
[1] Ari Yunanto, Helmi,
2010, Hukum Pidana Malpraktek Medik, Tinjauan dan Perspektif
Medikolegal, Andi Offset, Yogyakarta, Hal. 34
[2] Departemen Pendidikan
Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed. 3 Balai Pustaka: Jakarta, 2002.
Hlm. 726.
[3] Munir Fuady, Hukum
Kontrak (dari sudut Pandang Hukum Bisnis, Citra Aditya Bakti, Bandung,
2001, hlm 30.
[4] M. Yahya Harahap, 2008,
Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika, hlm 285.
Posting Komentar