- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Yurisdiksi ICJ (INTERNATIONAL COURT JUSTICE) Dalam Penyelesaian Pelanggaran Ham (Genosida) Terhadap Suku Rohingya Di Myanmar -Karyahukum

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak lahiriah yang diperoleh setiap individu sejak lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Perlindungan dan Pengak…

Implementasi Dan Strategi Pengembangan Food Estate Sebagai Solusi Ketahanan Pangan Di Indonesia-karyahukum

 

Indonesia  masih  menjadi  negara  agraris  yang  sebagian  besar penduduknya  bekerja  di  sektor  pertanian.  Sektor  pertanian  memiliki  kontribusi  penting terhadap  pertumbuhan  ekonomi  Indonesia  dan  pemenuhan  kebutuhan  pokok  penduduk Indonesia.[1] Namun,  di  sisi  lain,  sekitar  14,5%  dari  total  populasi  atau sekitar 30 juta orang di Indonesia yang mengalami kekurangan gizi hal ini bersumber dari Badan Pusat Statistik. Angka  tersebut  merupakan  angka  yang  cukup  tinggi  dan  menunjukkan  bahwa  masalah krisis  pangan  masih  terjadi  di  Indonesia.  Hal  ini  menjadi  sangat  kontradiktif  mengingat Indonesia sebagai negara agraris terbesar di Asia Tenggara.[2]

Terdapat  beberapa  faktor  yang  menyebabkan  krisis  pangan  di  Indonesia,  salah satunya  adalah  pertumbuhan  penduduk  yang  tinggi.  Pertumbuhan  penduduk  yang  tinggi ini menyebabkan kebutuhan pangan juga meningkat sehingga menyebabkan keterbatasan pangan. Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, yaitu sekitar 270 juta jiwa dan diklasifikasikan sebagai negara berpenghasilan mengengah kebawah. Pada tahun 2021, Indonesia memiliki Indeks Kelaparan Global di peringkat ke-73 dari 116 negara, dengan jumlah penduduk yang mengalami kekurangan pangan sebanyak 22,9 juta dan tingkat prevalensi kurang gizi sebesar 8,49% dari jumlah penduduk.[3] Selain faktor pertumbuhan penduduk yang tinggi, munculnya kerawanan dan krisis pangan yang menyebabkan kekurangan gizi ini disebabkan oleh adanya keterbatasan lahan pertanian  dan  kurangnya  akses  ke  sumber  air  yang  berkualitas,  akibat  perubahan  iklim,

Situasi  krisis  pangan  antar  daerah  dan  kelompok  masyarakat  yang terjadi di Indonesia mungkin berbeda, mengingat kondisi geografi, sosial, dan ekonomi di Indonesia yang beragam. Melihat masih banyaknya faktor-faktor yang menyebabkan krisis pangan  di  Indonesia,  ketahanan  pangan  perlu  ditingkatkan.  Ketahanan  pangan  sebagai upaya  terpenuhinya pangan  bagi  setiap  individu/rumah  tangga  dari  produksi  pangan nasional,  yang  tercermin  dari  tersedianya  pangan  yang  cukup,  jumlah  dan  mutu,  aman, merata dan terjangkau di seluruh wilayah Indonesia[4]

Untuk  mengatasi  tantangan  tersebut,  pemerintah  Indonesia  telah  mengeluarkan beberapa kebijakan dan  program yang bertujuan  untuk meningkatkan ketahanan pangan di  Indonesia,  salah  satunya  adalah  kebijakan food  estate. Food  estate merupakan  suatu kawasan   pertanian   yang   dikembangkan   dengan   skala   besar   dengan   tujuan   untuk memproduksi   bahan   pangan   yang   diperlukan   oleh   masyarakat   di   wilayah   tersebut. Pengembangan food estate diharapkan dapat berkontribusi terhadap tantangan kebutuhan pangan Indonesia dalam menghadapi krisis pangan di masa yang akan datang[5]

      A.Implementasi Perkembangan Food Estate Sebagai Solusi Ketahanan Pangan Di Indonesia

Pertanian di Indonesia awalnya didominasi oleh sistem pertanian tradisional dan  banyak  mengandalkan  teknik-teknik  pertanian  organik  dan  terpadu.  Seiring  dengan perkembangan  teknologi  dan  globalisasi,  pertanian  di  Indonesia  juga  mulai  mengalami perubahan. Salah satu perubahan yang terjadi adalah munculnya sistem pertanian modern, terutamadalam  bentuk food  estate.Sejarah food  estate di  Indonesia  dimulai  pada  tahun 1950-an,  ketika  pemerintah  Indonesia  mulai  menggalakkan  program  pertanian  bernama Pengembangan  Lahan  Gambut  (PLG)  diperuntukkan  sebagai  lahan  pertanian  tanaman pangan  di  Kalimantan  Tengah,  yang  dikenal  dengan  sebutan  proyek  pencetakan  sawah  1 juta hektar.[6] Melalui Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun 1995 tentang pengembangan   Pengembangan   Lahan   Gambut   (PLG),   proyek   ini   bertujuan   untuk menyediakan  lahan  pertanian  baru  dengan mengubah  satu  juta  hektar  lahan  gambut  dan rawa  untuk  menjadi  lahan  padi.  Namun  dalam  implementasinya,  proyek  ini  memiliki banyak masalah sehingga proyek ini dianggap gagal dan diberhentikan tahun 1999 melalui Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 1999.Salah satu penyebab utama kegagalan proyek lahan gambut 1955 adalah kurangnya perencanaan   yang   matang.   Pemerintah   tidak memperhitungkan   secara   rinci   tentang kondisi lahan gambut yang sebenarnya, seperti tingkat kelembaban, kemiringan lahan, dan kandungan  tanah.  Hal  ini  menyebabkan  lahan  yang  dikembangkan  tidak  sesuai  dengan kebutuhan pertanian yang sebenarnya, sehingga hasil panen tidak sebaik yang diharapkan. Proyek  pengembangan  lahan  gambut  yang  awalnya  memberikan  harapan  besar  bagi masyarakat,  lokasi  mega  proyek  akan  menjadi  kawasan  makmur,  dengan  hamparan  padi yang  menguning,  sayuran  dan  hortikultura  menghijau  serta  ribuan  ternak  dan  tambak-tambak  ikan,  tetapi  kenyataannya  telah  melahirkan  banyak  masalah. Kawasan ini menimbulkan permasalahan lingkungan serius, kebanjiran saat musim hujan dan mudah terbakar saat kemarau. Area hutan yang luas ditebang untuk dijadikan proyek, menyebabkan   kebakaran   hutan   secara   berkala.   Area   yang   digunakan   oleh   banyak masyarakat   untuk   hutan   rotan,   hutan   keramat,   beje,   dan   ladang   dirusak   selama melaksanakan proyek ini.

Selain itu, proyek ini juga mengalami kegagalan karena tidak memperhatikan aspek social dan perekonomian   masyarakat   setempat.   Pembangunan   lahan   gambut   tidak memperhatikan hak-hak masyarakat setempat yang terkait dengan lahan tersebut, seperti hak  atas  tanah  dan  hak  atas  sumber  daya  alam.  Pemerintah  mengeluarkan  konsesi penebangan dan kemudian memulai proyek konversi lahan gambut tanpa mempertimbangkan hak guna lahan masyarakat lokal sebagai hak yang sah. Hal  ini  menyebabkan  terjadinya  konflik  antara  pemerintah  dengan  masyarakat setempat  yang  merasa  tidak  terwakili  dan  tidak  mendapat  manfaat  dari  proyek  tersebut. Kegagalan  proyek  lahan  gambut  1955  juga  disebabkan  oleh  kurangnya  dukungan  dari masyarakat  setempat.  Masyarakat  tidak  memiliki  kepercayaan  terhadap  proyek  yang dilaksanakan oleh pemerintah, sehingga tidak memberikan dukungan yang cukup kepada proyek tersebut. Hal ini menyebabkan proyek tersebut tidak dapat berjalan dengan lancar dan tidak memberikan hasil yang diharapkan.

Pada  tahun  2011,  pemerintah  Indonesia  mencanangkan food  estatedi  Bulungan, Kalimantan  Utara  atau  yang  dikenal  dengan  nama  Delta  Kayan Food Estate (DeKaFe). DeKaFe merupakan bertujuan untuk meningkatkan produksi pangan di Indonesia melalui pengembangan  kebun-kebun  pertanian  yang  terintegrasi  dengan  industri  pengolahan pangan.   DeKaFe   direncanakan   memiliki   lahan   seluas   sekitar   50.000   hektar,   dimana sebagian besar lahan atau sekitar 30.000 hektar merupakan lahan subur dengan jenis tanah aluvial.

Pada pelaksanaannya,   hingga   tahun   ke-6,   program   DeKaFe   belum menunjukkan hasil yang sesuai target.Terdapat beberapa faktor penyebab kegagalan DekaFe. Salah satu faktor utama yang berkontribusi  terhadap  kegagalan  DeKaFe  adalah  kurangnya  perencanaan  dan  penilaian yang tepat terhadap potensi dampak proyek.[7] Pada saat itu, proyek ini tidak  dilaksanakan  secara  terpadu,  dimana  terjadi  fragmentasi  instansi  dan  tidak  ada lembaga    khusus    yang    menaungi    proyek    ini,    sehingga    menyebabkan    mekanisme pembangunan dilakukan secara parsial dan sektoral. Selain itu, masalah “clear and clean” lahan  masih  terjadi  dan  masih  ada  tumpang  tindih  lahan.  Selain  itu,  lahan food  estate beberapa   berada   di   atas   lahan   masyarakat   adat.   Proyek   ini   tumpangtindih   dengan pengembangan  persawahan  dan  hutan  adat  sumber  pangan  masyarakat  adat (Kamin  & Altamaha,  2019).

Masyarakat  setempat  tidak  terlibat  dalam  proses  perencanaan  dan pelaksanaan  proyek ini,  sehingga mereka  tidak memiliki  kepentingan  untuk  menjaga  dan mengelola  lahan  tersebut  dengan  baik.  Hal  ini  menyebabkan  lahan  yang  ditanami  tidak terawat  dengan  baik  dan  akhirnya  mengalami  kegagalan.  Dari  sisi  lingkungan,  kegagalan proyek ini disebabkan oleh faktor lokasi, dimana Proyek DeKaFe ini terletak di daerah yang rawan  banjir,  sehingga  sulit  untuk  bercocok  tanam  dan  beternak.  Ketidak  sesuaian  lahan untuk pertanian, tidak cocok untuk daerah irigasi, dan kurangnya infrastruktur pertanian di lokasi mengakibatkan proyek DeKaFe ini mengalami kegagalan.

Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2020 Tentang Rencana Kerja Pemerintah Tahun 2021, dalam upaya memulihkan dampak pandemi Covid-19  pengembangan food  estate menjadi  kegiatan  penting  yang  perlu  dilakukan.  Selain  itu, sebagai  langkah  antisipatif  terjadinya  krisis  pangan,  pemerintah  memperkuat  ketahanan pangan  yaitu  melalui Major  Project Penguatan  Jaminan  Usaha serta  350 Korporasi  Petani dan  Nelayan.  Pengembangan  prioritas food  estate tahun  2021dilaksanakan  di  Provinsi Kalimantan Tengah yang merupakan tindak lanjut strategis untuk meningkatkan ketahanan pangan  nasional.  Sedangkan  berdasarkan  Peraturan  Presiden  Republik  Indonesia  Nomor 85  Tahun 2021 Tentang Rencana Kerja  Pemerinta  Tahun  2022, food  estate tetap  menjadi langkah strategis untuk mendukung pemulihan ekonomi di Indonesia melalui peningkatan ketahanan  pangan.  Pengembangan food  estate yang  sudah  dimulai  tahun  2021,  akan kembali   dilaksanakan   pada   tahun   2022   dengan   lokasi   prioritas   berada   di   Provinsi Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara. Konsep pembangunan food estate ini juga menjadi salah satu upaya diversifikasi ekonomi dengan cara peningkatan nilai tambah yaitu melalui peningkatan   kontribusi   industri   pengolahan   dan   pengembangan   produk   pertanian. Perencanaan tahun 2023, berdasarkan Peraturan Menteri PPN/Bappenas Nomor 4 Tahun 2022  tentang  Rancangan  Rencana  Kerja  Pemerintah  Tahun  2023  konsep food  estate atau kawasan sentra produksi pangan merupakan salah satu highlightmajor project (MP)untuk mendukung  pencapaian  sasaran,  arah  kebijakan,  dan  strategi  pembangunan  tahun  2023 dimana   MP Food   Estate diarahkan   untuk   memperkuat   ketahanan   ekonomi   untuk pertumbuhan yang berkualitas dan keadilan. Tahun 2023, lokasi yang diprioritaskan untuk pelaksanaan konsepfood estate yaitu berada di 5 Provinsi yaitu Kalimantan Tengah (Kapuas dan Pulang Pisau), Sumatera Utara (Humbang Hasundutan), Sumatera Selatan (Banyuasin), Nusa  Tenggara  Timur  (Belu  dan  Sumba  Tengah),  dan  Papua  (Merauke).

 

   B Strategi Pengembangan Food Estate Dalam Pemulihan Ekonomi Nasional

Dalam pengaplikasian strategi pemanfaatan sumber daya yang ada, pelaksanan pengembangan food estate memperlukan instrumen sumber daya lahan yang tersedia di Indonesia. Sebelum adanya program food estate yang direncanakan saat ini, pemerintahan sebelumnya telah membuat program yang sama dan diberlakukan di beberapa lokasi di indonesia. Pada tahun 1995 pada masa pemerintahan Soeharto, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden nomor 82 tahun 1995 dengan melakukan Pengembangan Lahan Gambut (PLG) di Kalimantan Tengah.[8] Kemudian pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, pembangunan food estate kembali muncul dengan dicanangkannya program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang disahkan oleh Kementrian Pertanian, dan yang terakhir adalah proyek food estate di Kabupaten Bulungan, Porvinsi Kalimantan Utara dengan terbentuknya Delta Kayan Food Estate (DeKaFE) yang dikerjakan pada tahun 2011.

Pengembangan food estate menjadi salah satu program yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional untuk menghadapi pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini dan pasca pandemi sebagai bentuk penanggulangan ancaman krisis pangan. Dalam pelaksanaanya pemerintah melakukan pengembangan food estate di berbagai lokasi di Indonesia.

Seperti yang disebutkan dalam Rancangan Operasional Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) Food Estate yang diterbitkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Titik lokasi pengembangan food estate akan dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Tengah yang menggunakan eks Proyek Lahan Gambut (PLG) seluas 770.601 Ha dengan melakukan perubahan fungsi berbagai lahan di Kabupaten/Kota Kapuas, Pulang Pisau, Barito Selatan, Katingan, dan Palangka Raya. Sedangkan di Provinsi Papua, diberdayakan pembangan food estate di Kabupaten Merauke, Mappi, dan Boven Digoel dengan total luas lahan 2.052.551 Ha. Untuk daerah sumatra, pengembangan food estate diberdayakan di 2 provinsi yaitu provinsi Sumatra Utara yang berfokus pada satu kabupaten Humbang Hasundutan dengan pemanfaatan lahan seluas 30.000 Ha dan di Sumatra Selatan yang memeberdayakan food estate dibeberapa lokasi di Kabupaten Musi Banyuasin, Pali, Musi Rawas Utara, Muara Enim, Banyuasin, Ogan Komering Hilir, Kota Palembang, OKU Timur, Ogan Komering Ulu, dan Musi Rawas dengan pemanfaatan lahan seluas 235.351 Ha.[9]

Strategi kedua adalah Way. Pengertian Way merupakan cara yang diterima oleh semua kalangan yang terlibat, termasuk juga tentang pembiayaan dan konsep operasional untuk mencapai tujuan. Dari strategi Way dapat disimpulkan bahwa pembiayaan dan konsep operasional terfokus pada model bisnis yang direncanakan untuk output hasil produksi dari food estate dan anggaran yang disiapkan oleh pemerintah dalam pengembangan food estate demi mencapai tujuan yang diinginkan. Dilihat dari segi model bisnis yang direncanakan, Badan Litbang dan Inovasi Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BLI KLHK) bermitra dengan International Trade Analysis and Policy Studies (ITAPS) Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM) Institut Pertanian Bogor (IPB) merancang model bisnis ketahanan pangan dan alterantif pencaharian masyarakat dalam penyediaan kebutuhan pangan dan keberlanjutan ekosistem gambut. Ketua tim kajian BLI, Dr. Deden Djaenudin merancang model bisnis yang digunakan dalam memanfaatkan produk hasil food estate dengan menggunakan model kanvas bisnis dan value chain analysis agar memanfaatkan paludikultur sebagai alternatif mata pencaharian masyarakat. Dalam merancang model bisnis tersebut diperlukan baseline sosial ekonomi masyarakat, kelembagaan, dan pengembangan komoditi.[10]

Jenis komoditas yang menjadi prioritas dalam pengembangan food estate adalah padi, jagung, kedelai, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, sorgum, buah-buahan, sayur-sayuran, sagu, kelapa sawit, tebu, dan ternak sapi atau ayam.  Anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk pengembangan food estate di dalam kebijakan strategis APBN 2021 berjumlah 104,2 triliun dengan tujuan untuk meningkatkan produksi pangan, pemulihan ekonomi melalui revitalisasi sistem pangan nasional dan pengembangan food estate (Kacaribu, 2020). Diharapkan dengan anggaran yang dikucurkan oleh kementrian keuangan dalam membangun kawasan food estate mampu mempercepat pemulihan ekonomi nasional.

Strategi yang ketiga adalah Ends. yaitu tujuan akhir yang di inginkan seperti apa. Esensi yang sesungguhnya dari pengembangan food estate bertujuan untuk mengakselerasi pemulihan ekonomi nasional (PEN) dan menanggulangi ancaman krisis pangan yang terjadi secara global guna membentuk pertahanan negara yang kuat dan mandiri. Program food estate menjadi bagian dari program pemulihan ekonomi nasional besutan pemerintah dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi yang terjadi. Dasar hukum yang digunakan untuk pembangunan food estate mengacu pada undang-undang nomor 3 tahun 2002 tentang pertahanan pangan. Dunia saat ini dibayangi oleh krisis ekonomi dan krisis pangan yang dapat merusak stabilitas perkembangan secara global, oleh karena itu demi menanggulangi ancaman tersebut, Kementrian Pertahanan ikut berpartisipasi dalam program food estate



[1] Ayun, Q., Kurniawan, S., & Saputro, W. A, Perkembangan konversi lahan pertanian di  bagian  negara  agraris. Vigor: Jurnal  Ilmu  Pertanian  Tropika  Dan  Subtropika, 2020, 5(2), 38-44

[2] Widada,  A.  W.,  Masyhuri,  &  Mulyo,  J.  H, Faktor  Faktor  yang  Mempengaruhi Ketahanan Pangan di Indonesia. Agro Ekonomi, 2017, 28(2), 205–219

[3] World Food Programme, WFP Indonesia Country Brief Operational Context May 2022

[4] Suharyanto, H, Ketahanan    Pangan. Sosial    Humaniora, 2011,  hlm 86–194

[5] Lasminingrat,  L.,  &  Efriza,  E, The  Development  of  National  Food  Estate:  The Indonesian Food Crisis Anticipation Strategy. Jurnal Pertahanan & Bela Negara, 2020, 10(3), hlm 229

[6] Yeny,  I.,  Endang,  K.,  Garsetiasih,  R.,  &  Sawitri,  R.  (2019).  Strategi  Pemanfataan  Lahan Gambut  berkelanjutan  di  Areal  ex  PLG  Kalimantan  Tengah. Jurnal  Penelitian  Hutan Tanaman, 19(1), 59–74

[7] Setyo, P., & Elly, J. (2018). Problems Analysis on Increasing Rice Production Through Food Estate Program in Bulungan Regency, North Kalimantan. IOP Conference Series: Earth and Environmental Science, 147(1), 1–10.

[8] Eryan, A., Shafira, D., & Wogkar, E. E. L. T. (2020). Analisis Hukum Pembangunan Food Estate Di Kawasan Hutan Lindung.

[9] Badan Litbang Pertanian, Buku Pintar Food Estate Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2011

[10] Rahmawati, I,  Rancangan Model Bisnis Ketahanan Pangan Di Lahan Gambut Untuk PEN Food Estate LHK. Kementrian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan, 2020

Posting Komentar

Posting Komentar