- -->
Di Indonesia HAM
diatur dalam UUD No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Deklarasi Hak- Hak
Asasi Manusia bagi negara Indonesia telah ada dari jaman dahulu namun baru di ikrarkan
pada pedoman dasar negara ini yaitu yang berada di dalam pembukaan Undang-
Undang Dasar 1945.yang di dalamnya terdapat hak- hak asasi selaku manusia baik
manusia selaku mahluk pribadi maupun sebagai mahluk sosial yang di dalam
kehidupannya itu semua menjadi sesuatu yang inheren, serta dipertegas dalam
Pancasila dari sila pertama hingga sila kelima. Jika dilihat dari terbentuknya
deklarasi Hak Asasi Manusia bangsa Indonesia lebih dahulu terbentuk dari pada
Hak- Hak Asasi Manusia PBB yang baru terbentuk pada tahun 1948.
Dalam
Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pengaturan mengenai
hak asasi manusia ditentukan dengan berpedoman pada Deklarasi Hak Asasi Manusia
Perserikatan Bangsa- Bangsa, Konvensi Perserikatan Bangsa- Bangsa tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, Konvensi Perserikatan
Bangsa- bangsa tentang Hak-hak Anak, dan berbagai instrument internasional lain
yang mengatur mengenai hak asasi manusia. Materi Undang- Undang ini disesuaikan
juga dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang
berdasarkan Pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945. Sedangkan di dalam Undang-
Undang Dasar 1945 (yang diamandemen), masalah mengenai HAM dicantumkan secara
khusus dalam Bab X Pasal 28 A sampai dengan 28 J, yang merupakan hasil
Amandemen Kedua Tahun 2000.
Di mancanegara
dan Indonesia khususnya, tercatat banyak kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) atau kejahatan atas kemanusiaan, dimana pelakunya bebas berkeliaran dan
bahkan tak terjangkau oleh hukum atau dengan kata lain perkataan membiarkan
tanpa penghukuman oleh negara terhadap pelakunya impunity.Impunitas yaitu
membiarkan para pemimpin politik dan militer yang diduga terlibat dalam kasus
pelanggaran berat Hak Asasi Manusia seperti, kejahatan genosida, kejahatan
manusia, dan kejahatan perang tidak diadili merupakan fenomena hukum politik yang dapat kita saksikan sejak abad yang lalu hingga
hari ini.[1]
Globalisasi,
sebagai fenomena kompleks yang melibatkan integrasi ekonomi, teknologi, dan
komunikasi di seluruh dunia, telah membawa dampak yang signifikan terhadap
berbagai aspek kehidupan manusia. Meskipun membawa kemajuan dalam hal
konektivitas dan pertumbuhan ekonomi, globalisasi juga membawa tantangan dan
pertanyaan mendalam terkait dengan hak asasi manusia. Hak-hak dasar individu,
yang diakui oleh berbagai deklarasi dan konvensi hak asasi manusia, sering kali
berada dalam situasi tegang di tengah dinamika globalisasi yang terus berubah.
Pertumbuhan
ekonomi yang cepat dan perkembangan teknologi informasi global telah
menciptakan ketidaksetaraan yang signifikan, baik di tingkat nasional maupun
internasional. Hal ini menimbulkan pertanyaan kritis tentang bagaimana hak
asasi manusia dijaga dan dipenuhi di era globalisasi ini. Globalisasi juga
membawa dampak terhadap kebijakan politik dan hukum di berbagai negara, yang
dapat berdampak langsung pada pemenuhan hak-hak dasar individu.
Latar belakang
ini menjadi penting untuk memahami bahwa perkembangan globalisasi tidak hanya
menciptakan peluang, tetapi juga membawa tantangan nyata terkait dengan hak
asasi manusia. Kesenjangan dalam perlindungan hak asasi manusia antara
negara-negara maju dan berkembang, perubahan iklim, dan migrasi massal
merupakan beberapa contoh dampak globalisasi yang harus diperhatikan secara
serius.
Isu tentang HAM di Indonesia sebenar- nya bukan hal yang baru karena sesungguhnya masalah HAM sudah di singgung oleh para founding father Indonesia, walaupun tidak disebutkan secara eksplisit yakni di dalam alinea 1 Pembukaan UUD 1945, akan tetapi penghargaan terhadap HAM yang sudah dicanangkan oleh para founding father di Indonesia tidak berjalan sebagaimana mestinya, sering dengan perjalanan panjang bangsa Indonesia dalam 3 orde, yaitu orde lama, orde baru, dan orde Reformasi.[2]
Era globalisasi yang dapat menimbullkan permasalahan pelanggaran-pelanggaran hak ekonomi, sosial dan budaya tentu akan menghambat tujuan Negara, dalam bidang hukum perlu pengaturan yang lebih tepat mengenai hak asasi manusia ekonomi, sosial dan budaya melalui pembangunan hak asasi manusia yang lebih arif dan bijaksana.
Era globalisasi
yang ditandai dengan makin biasnya batas-batas budaya dan nasionalitas, hampir
disetiap negara baik negara maju maupun negara berkembang mulai tertarik untuk
memahami tentang arti pentingnya keterlibatan HAM dalam berbagai aspek
penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, dan bermasyarakat termasuk
di negara Indonesia hal ini terlihat dalam Rencana pembangunan hukum nasional
yang mengagendakan adanya bidang HAM.
Arus reformasi
yang terjadi di Indonesia telah membawa pengaruh bagi terbukanya koridor
pembaharuan hukum dan penegakan HAM, terlebih lagi dalam mewujudkan civil society atau masyarakat madani.[1] Penggunaan
istilah masyarakat madani dalam ranah masyarakat yang demokratis lebih memiliki
makna dalam, terlebih lagi dalam mengangkat harkat dan martabat manusia. Selain
itu, civil society sangat penting
artinya dalam menggambarkan mendeskripsikan penegakan HAM di Indonesia.
Penegakan HAM
juga menjadi arah bagi pembangunan sebagaimana disebutkan dalam UU No. 17 Tahun
2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (tahun 2005-2025). Di
antara arah disebutkan adalah “Pembangunan hukum dilaksanakan melalui
pembaharuan hukum dengan tetap memperhatikan kemajemukan tatanan hukum yang
berlaku dan pengaruh globalisasi sebagai upaya untuk meningkatkan kepastian dan
perlindungan hukum, penegakan hukum dan HAM, kesadaran hukum, serta pelayanan
hukum yang berintikan keadilan, kebenaran, ketertiban, dan kesejahteraan dalam
rangka penyelenggaraan negara yang makin tertib dan teratur sehingga
penyelenggaraan pem- bangunan nasional akan makin lancar”.[2]
Pada prinsipnya,
dalam hukum Hak Asasi Manusia, negara dalam hal ini pemerintah mempunyai
kedudukan sebagai pemangku kewajiban (duty
bearer) dan individu-individu yang berdiam di wilayah jurisdiksinya sebagai
pemegang hak (rights holder).
Kewajiban yang diemban negara adalah kewajiban untuk menghormati (to respect), kewajiban untuk memenuhi (to fulfill), dan kewajiban untuk
melindungi (to protect) HAM bagi
warganya. Negara wajib menjamin pelaksanaan HAM bagi setiap orang yang berada
di bawah kekuasaannya. Kewajiban ini dilaksanakan negara dengan mengambil
langkah-langkah yang diperlukan, baik itu dibidang legislatif, eksekutif,
yudisial, maupun praktis, untuk menciptakan semua kondisi yang dibutuhkan dalam
bidang sosial, ekonomi, politik, maupun bidang-bidang lain, serta jaminan hukum
yang diperlukan untuk semua orang di bawah yurisdiksinya, secara
sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dapat menikmati semua hak dan kebebasan
ini dalam praktik.
Pengaturan
mengenai Hak Asasi Manusia telah ada sejak di sahkannya Pancasila sebagai dasar
pedoman negara Indonesia, meskipun secara tersirat.Baik yang menyangkut
mengenai hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, maupun hubungan manusia
dengan manusia. Hal ini terkandung dalam nilai-nilai yang terkandung dalam
sila-sila yang terdapat pada pancasila.Dalam Undang- Undang No. 39 tahun 1999
tentang Hah Asasi Manusia, pengaturan mengenai Hak Asasi Manusia ditentukan
dengan berpedoman pada deklarasi Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa Bangsa.
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi terhadap wanita, konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang
hak-hak anak dan berbagai instrumen internasional lain yang mengatur mengenai
Hak Asasi Manusia. Materi Undang- Undang ini tentu saja harus disesuaikan
dengan kebutuhan hukum masyarakat dan pembangunan hukum nasional yang
berdasarkan pancasila dan Undang- Undang Dasar 1945.
Sarana
penyelesaian yang digunakan dalam penyelesaian kasus Hak Asasi Manusia di
Indonesia tentunya dengan mengedepankan norma- norma kaidah hukum yang berlaku
dalam menyelesaikan permasalahan- permasalahan hukum. UU No. 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia yaitu perdamaian kedua belah pihak, penyelesaian
perkara melalui cara konsultasi negosiasi, mediasi, konsiliasi, dan penilaian
ahli. Penyelesaian perkara terhadap pelanggaran Hak Asasi Manusia di wilayah
Indonesia tentunya harus mempertimbangkan kaidah-kaidah yang ada di dalam
masyarakat Indonesia.
Pemerintah dalam
hal untuk melaksanakan amanah yang telah diamanatkan melalui TAP MPR tersebut
di atas, di bentuklah Undang- Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia, pada tanggal 23 September 1999 telah disahkan Undang- Undang No. 39
tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang mengatur beberapa hal penting yang
menyangkut Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Pertama, definisi
pelanggaran Hak Asasi Manusia dideskripsikan sebagai setiap perbuatan seseorang
atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak
disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi,
membatasi dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang
dijamin oleh Undang- Undang ini, dan tidak mendapatkan atau di khawatirkan
tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan
mekanisme hukum yang berlaku (pasal 1 ayat 6).
Kedua, hak untuk
hidup, hak untuk tidak dipaksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan
persamaan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut dapat di kecualikan
dalam hal pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia yang digolongkan ke
dalam kejahatan terhadap kemanusiaan.
Ketiga, dalam
Pasal 7 dinyatakan, bahwa setiap orang berhak untuk menggunakan semua upaya
hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran hak asasi manusia
yang di jamin oleh hukum Indonesia oleh negara Republik Indonesia menyangkut
Hak Asasi Manusia menjadi hukum nasional.
Keempat, di dalam
Pasal 104 diatur tentang pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai berikut : Untuk
mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat di bentuk pengadilan dalam
ayat (1) di bentuk dengan Undang- Undang dalam jangka waktu paling lama 4 tahun
sebelum terbentuk pengadilan Hak Asasi Manusia sebagai mana dimaksudkan dalam
ayat (2) di adili oleh pengadilan yang berwenang.
Arus globalisasi
tidak bisa terbendung lagi dengan segala dimensi positif dan negatifnya. Dengan
semangat positif, kiranya kita tidak perlu melakukan perlawanan frontal
terhadap arus globalisasi tetapi harus ada sikap memilah mana yang sesuai
dengan nilai-nilai kearifan lokal dan mana yang tidak sesuai. Sebagai anak
dunia, anak Indonesia harus menjadi anak global dengan ciri-ciri diantaranya
memiliki sikap jujur, demokratis, menghargai hak asasi manusia, mencintai dan
merawat lingkungan hidupnya, cerdas, berilmu dan berpengetahuan luas, menguasai
tehnologi dan mampu berkomunikasi dengan semua bangsa.
[1] Nico Schulkte, Menyokong Civil Society dalam Era Kegelisahan (Yogjakarta: Kanisius, 1999), h. 93.
[2] UU No. 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional.
[1] Abdul Hakim G Nusantara.Sebuah Upaya Memutus Impunitas: Tanggung Jawab Komando Dalam Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia, Jurnal HAM. Vol 2. no. 2 Nopember 2004.
[2] Muladi, Demokatisasi, Hak Asasi Manusia dan Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta; The Habibi Center, 2002), h. 29.
Posting Komentar