- -->
Tidak etis rasanya
mengerti dan mendalami hukum namun tidak tau esensi dari keadilan itu sendiri.
Banyak orang-orang atau masyarakat yang awam, melihat dan menjastifikasi hukum
yang ada di Indonesia hanya berlaku untuk kelas kecil menengah kebawah namun
untuk kalangan yang memiliki kedudukan tinggi, yang memiliki jabatan dan
koneksi dengan pejabat maupun penegak hukum, keadilan hanyalah sebuah karangan
yang bisa di dongeng.
Seperti halnya kasus
menimpa seorang wanita tua bernama Minah, warga Banyumas, Jawa Tengah, yang
dituduh mencuri 3 buah kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA). Peristiwa
ini terjadi pada tahun 2009 silam. Pemeriksaan berlangsung sampai akhirnya
kasus ini bergulir ke meja hijau di Pengadilan Negeri Purwokerto. Dan berakhir
didakwa atas pencurian (Pasal 362 KUHP) dimana pidana penjara paling lama
adalah lima tahun terhadap tindak pencuria 3 buah kakao seberat 3 kilogram
dengan perhitungan harga Rp 2.000 per kilogram dengan registrasi perkara No.
247/PID.B/2009/PN.Pwt.
Sedangkan kasus besar
seperti kasus korupsi mantan gubernur Banten, Ratu Atut Chosiyah yang dijatuhi
hukuman 4 tahun penjara dan denda 200 juta rupiah dimana dalam pelanggarannnya,
Ratu telah melakukan suap kepada mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Mochtar
sebesar 1 Miliar Rupiah untuk memenangkan gugatan yang diajukan kepada Amir
Hamzah dan Kasmin.
Perkara ini ramai
dibincangkan dan menyita perhatian publik lantaran kasus kecil tetap diproses
hukum hingga ke meja hijau (pengadilan). Pembelajaran menarik dari kasus nenek
Minah atua kasus ringan lainnya adalah sebenarnya kita bicara isu tentang
mengapa kasus yang sangat sedemikian ringannya, tapi memaksa orang untuk
diproses secara hukum?”
Dalam kasus seperti
ini, masyarakat tentu menganggap remeh sebuah hukum dan keadilan Bagaimana
tidak? Seolah ada anomali dengan kasus-kasus kejahatan lainnya yang memiliki
nilai (kerugian) nominal besar justru tidak tersentuh oleh hukum. Terdapat pula
kasus korupsi yang tidak terungkap atau dihukum sangat ringan. Sebagai contoh,
hasil pemantauan oleh ICW (Indonesia Corruption Watch) Total selama 2021,
terdapat 1.282 perkara dan 1.404 terdakwa kasus korupsi yang ditangani oleh KPK
dan Kejaksaan, baik Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, maupun Kejaksaan Negeri.
"Rata-rata hukuman penjara bagi koruptor pada 2021 hanya 3 tahun 5 bulan
penjara. Di sisi lain, ada kasus yang
secara nominal sangat rendah, tetapi tetap diproses hukum hingga ke pengadilan,
seperti kasus Nenek Minah.
Kasus remeh temeh ini sekilas mungkin terkesan tidak adil karena sampai masuk ke persidangan namun diakhir video ini kalian akan berfikir bahwa keadilan yang sesungguhnya adalah ketidakadilan itu sendiri.
Chapter I Proses Peradilan
Untuk
mendapatkan pandangan terhadap keadilan itu sendiri kalian perlu pengetahuan
tentang bagaimana proses peradilan ini berjalan, proses ini kalian dapat
pelajari di mata kuliah hukum acara karena menguraikan serangkaian aturan dan
prosedur yang mengatur tata cara penegakan hukum di Indonesia.
Berlatar
belakang kasus pencurian 3 buah kakao tadi perlu di ketahui bahwa pengklasifikasian
kasus ini masuk kedalam kasus pidana karena memuat tindakan yang melanggar
hukum dan melibatkan perbuatan yang merugikan pihak lain secara illegal.
Tahapan
yang dilakukan sebelum suatu kasus dapat di proses di pengadilan yaitu
1.
Tahap
Penyelidikan dan Penyidikan
Sebelum
masuk kedalam pengadilan ketika terjadi sebuah kasus pidana ada proses yang
harus dilewati terlebih dahulu yaitu adanya pelaporan oleh pihak yang merasa
dirugikan terhadap tindak pidana yang terjadi dimana pelaporan ini dapat
diajukan kepada pihak kepolisian yang merupakan pihak pertama yang berwenang untuk melakukan pengecekan apakah benar suatu
tindak pidana tersebut terjadi, proses ini kita sebut sebagai tahap
penyeledikan untuk kemudian diputuskan apakah dapat dilakukan penyidikan
terhadapnya atau tidak.
Berdasarkan
pasal 1 point 2 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), penyidikan
adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal ini kepolisian untuk mencari
serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi. Pada tahapan penyidikan ini, orang yang diduga sebagai
pelaku ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam
melakukan tahapan ini, polisi diberi kewenangan untuk melakukan upaya paksa
demi penyelesaian penyidikan. Upaya-upaya bersifat memaksa tersebut meliputi:
pemanggilan, penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaan
surat. Upaya-upaya ini dilakukan untuk memenuhi pembuktian yang dianggap cukup
untuk kepentingan penuntutan dan persidangan atas perkara tersebut. Jika tindak
pidana telah selesai disidik oleh penyidik maka hasil penyidikan diserahkan
kepada penuntun umum atau jaksa yang akan membawa berkas perkara kedalam
peradilan. Tahap penyidikan dianggap selesai jika berkas perkara yang
diserahkan tersebut diterima dan dinyatakan lengkap (P21).
P21 ini
adalah sebuah kode pemberitahuan bahwa hasil penyidikan sudah lengkap. Lengkap
dalam artian syarat formil dan materiil telah terpenuhi seperti identitas
tersangka, berita acara pemeriksaan tersangka atau BAP serta alat dan barang
bukti terkait,
2.
Tahap
Penuntutan
Tahapan
ini menjadi tanggung jawab penuntut umum atau jaksa. Berdasarkan pasal 1 point
7 KUHAP, penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara
pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dengan permintaan supaya diperiksa
dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Pelimpahan perkara ini disertai
dengan surat dakwaan. Surat dakwaan dibuat jaksa penuntut umum yang berisi
pasal dan uraian Tindakan terdakwa yang memnuhi unsur pasal sehingga dapat
dituntut pidana serta kewenangan pengadilan yang mengadili. Yang dibuat segera
setelah menerima hasil penyidikan yang telah dinyatakan lengkap dan memenuhi
syarat untuk dilakukan penuntutan.
Pada
tahap penuntutan ini karena sudah masuk
kedalam peradilan status pelaku yang sebelumnya adalah tersangka kini berubah
menjadi terdakwa.
3.
Tahap
Praperadilan
Mekanisme
praperadilan diatur dalam Pasal 1 point 10 dan Pasal 11 KUHAP. Hukum acara
pidana Indonesia mengenal suatu mekanisme pengujian terhadap sah atau tidaknya
suatu penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, penghentian penuntutan
dan permintaan ganti rugi, rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau
pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
Permohonan
praperadilan diajukan dan diproses sebelum perkara pokok disidangkan di
pengadilan. Oleh sebab itu, dinamakan pra atau sebelum dan peradilan atau
persidangan.
Mengutip
Pasal 1 angka 10 KUHAP, praperadilan adalah wewenang hakim untuk memeriksa dan
memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang. Kemudian,
untuk pihak-pihak yang dapat mengajukan praperadilan, diantaranya:
a.
Permintaan
pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan
oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua Pengadilan Negeri dengan
menyebutkan alasannya (Pasal 79 KUHAP).
b.
Permintaan
untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan
dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang
berkepentingan kepada ketua Pengadilan Negeri dengan menyebutkan alasannya
(Pasal 80 KUHAP).
c.
Permintaan
ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan
oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua Pengadilan
Negeri dengan menyebut alasannya (Pasal 81 KUHAP).
4.
Tahap
Peradilan
Persidangan
perkara pidana di pengadilan negeri dimulai dengan pembacaan dakwaan hingga
putusan. Adapun tahapan proses persidangan di pengadilan negeri dapat kalian
Simak di penjabaran berikut ini.
1) Sidang
dinyatakan dibuka dan terbuka untuk umum (kecuali perkara tertentu dinyatakan
tertutup untuk umum);
2) Penuntut
Umum (PU) diperintahkan untuk menghadapkan terdakwa ke depan persidangan dalam
keadaan bebas;
3) Terdakwa
ditanyakan identitasnya dan ditanya apakah sudah menerima salinan surat
dakwaan;
4) Terdakwa ditanya
pula apakah dalam keadaan sehat dan bersedia untuk diperiksa di depan
persidangan (kalau bersedia sidang dilanjutkan);
5) Terdakwa
ditanyakan apakah akan didampingi oleh Penasihat Hukum (apabila didampingi
apakah akan membawa sendiri, kalau tidak membawa sendiri akan ditunjuk
Penasihat Hukum (PH) oleh Majlis Hakim dalam hal terdakwa diancam dengan pidana
penjara lima tahun atau lebih/pasal 56 KUHAP ayat (1);
6) Dilanjutkan
pembacaan surat dakwaan;
7) Atas
pembacaan surat dakwaan tadi terdakwa (PH) ditanya akan mengajukan eksepsi atau
tidak;
8) Dalam
terdakwa/PH mengajukan eksepsi maka diberi kesempatan dan sidang ditunda;
9) Apabila
ada eksepsi dilanjutkan tanggapan JPU atas eksepsi (replik);
10) Selanjutnya dibacakan putusan sela oleh
Majlis Hakim;
11) Apabila eksepsi ditolak dilanjutkan pemeriksaan
pokok perkara (pembuktian)
12) Pemeriksaan saksi-saksi yang diajukan oleh PU
(dimulai dari saksi korban);
13) Dilanjutkan saksi lainnya;
14) Apabila ada saksi yang meringankan diperiksa
pula, saksi ahli Witness/expert)
15) Pemeriksaan terhadap terdakwa;
16) Tuntutan (requisitoir);
17) Pembelaan (pledoi);
18) Replik dari PU;
19) Duplik dari PH
20) Putusan Akhir oleh Majlis Hakim.
Chapter II Cara jaksa menentukan Pasal
Terhadap suatu tindak pidana
Perlu
kita ketahui bahwa apapun bentuk tindak pidananya semua yang masuk kedalam
persindangan telah dipastikan memenuhi unsur pasal pemidaan sebagai contoh kasus
pencurian nenek minah yang didakwa dengan pasal pencurian yaitu pasal 362 KUHP yang
menjelaskan Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau
sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan
hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun
atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.
Dari
pasal tersebut terdapat unsur yang harus terpenuhi yaitu adanya barang siapa?
Dalam hal ini adalah pelaku yaitu nenek minah, mengambil barang sesuatu dalam
hal ini 3 buah kakao, yang seluruhnya atau Sebagian kepunyaan orang dalam hal
ini yang memiliki adalah pemilik Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA), dengan
maksud memiliki si pelaku mengakui mengambil 3 buah kakao untuk dimiliki tanpa
ijin meminta kepada pemiilik sehingga dengan terpenuhinya semua unsur tadi
jaksa atau penuntun umum berhak menuntut penjara hingga maksimal lima tahun
penjara.
Penjatuhan
hukuman pemidanaan terhadap seorang terdakwa sepenuhnya bergantung pada
penilaian dan keyakinan majelis hakim terhadap bukti-bukti dan fakta yang
terungkap di persidangan. Sesuai Pasal 193 ayat (1) KUHAP, jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana, maka pengadilan
menjatuhkan pidana kepadanya.
Majelis
hakim dapat menjatuhkan putusan lebih rendah, sama, atau lebih tinggi dari
rekuisitor penuntut umum. Putusan majelis hakim yang melebihi tuntutan dari
jaksa secara normatif, tidak melanggar hukum acara pidana. Dalam kasus pencurian
3 buah kakao tadi hakim memvonis pidana penjara selama 1 (satu) bulan 15 (lima
belas) hari dengan ketentuan pidana tersebut tidak perlu terdakwa jalani.
Namun
apakah kasus ini memang harus masuk kedalam peradilan? Jawabannya iyaa karena
ada sifat memaksa hukum yang mengharuskan seseorang dipidana karena melanggar
aturan hukum demi terciptanya kepastian hukum namun terhadap ringan beratnya
suatu hukuman adalah satu-satunya cara agar hukuman dapat mendekati keadilan.
Karena sejatinya ketika suatu kasus masuk ke persidangan akan ada pihak yang
menang dan yang dikalahkan bagaimana mungkin ada suatu keadilan jika adalah
salah satu pihak yang dikalahkan? Dan yang satu di menangkan? Bagaimana mungkin
terjadi kepastian hukum apabila ada tindak pidana yang secara nyata dan
terbukti melakukan tindak pidana tidak di hukum?
Defenisi
adil dan tidak adil sangat relative, tergantung dari sisi mana kita melihatnya.
Jika ditinjau dari sisi pihak yang menang atau dimenangkan, putusan hukum
selalu adil sementara sebaliknya dari sisi pihak yang kalah atau dikalahkan,
putusan hukum selalu tidak adil. Alhasil dari sini kita dapati bahwa keadilan
adalah ketidakadilan itu sendiri. Namun kita dapat mendekati keadilan dengan
penerapan sanksi pemidaan yang disesuaikan dengan kemanusiaan.
Selain
itu yang bermasalah bukanlah hukum yang tajam kebawah tapi yang menjadi masalah
adalah hukum yang tumpul keatas dimana orang yang memiliki kuasa akan mampu
membutakan proses penegakan hukum seperti memberi pembelaan yang dapat
meragukan pertimbangan hakim sehingga para penegak hukum sulit meyakinkan hakim
untuk mendapatkan bukti agar tindak pidana dapat masuk dipersidangan atau
memberatkan hukuman.
Selain
itu di Indonesia sendiri menganut positivisme hukum yang merupakan peninggalan
belanda, yang memandang hakekat hukum tidak lain dari pada norma-norma positif
dalam sistem perundang-undangan. Pandangan tentang hukum yang demikian itu,
menurut Prof. Satjipto Rahardjo menjadi bersifat optik perskriptif, yaitu
memandang hukum hanya sebagai sistem kaidah yang penganalisisnya terlepas dari
landasan kemasyarakatannya. (Anthon
F.Susanto, dalam Butir-Butir Pemikiran dalam Hukum, 2008: 11).
Simplenya
positivisme hukum ini membuat seorang hakim berpandangan apa yang diatur di UU
dalam hal ini KUHP maka ketika seseorang melanggarnya maka harus dihukum sesuai
dengan aturan tersebut tanpa mempertimbangkan kemanusiaan. Karena demi
kepastian hukum itulah maka ada yang berpendapat menegakkan hukum sama artinya
dengan menegakkan Undang-Undang.
Chapter III Uang membeli keadilan
Kondisi
masyarakat Indonesia saat ini, masih banyak yang tidak mengerti hukum, sehingga
ketika mereka tidak bersama dengan kuasa hukum disamping mereka, tuntutan dan
serangan demi serangan diterima langsung tanpa adanya pembelaan yang teoritis
berdasar hukum, karena perlu untuk diketahui, bahwa dalam sidang, yang menang
adalah yang berhasil menggunakan hukum secara maksimal.
Dan
seperti yang telah diketahui, menyewa pengacara yang benar benar membela itu
butuh perjanjian, dan perjanjian pasti berhubungan dengan uang. Inilah faktor
yang membuat kaum proletary atau kelas sosial rendah cenderung memasrahkan
semuanya kepada hakim.
Keadilan
“hukum” bagi kebanyakan masyarakat seperti barang mahal, sebaliknya barang
murah bagi segelintir orang. Keadilan hukum hanya dimiliki oleh orang-orang
yang memiliki kekuatan dan akses politik serta ekonomi saja. Kondisi ini sesuai
dengan ilustrasi dari Donald Black (1976:21-23), ada kebenaran sebuah dalil,
bahwa Downward law is greater than upward.Maksudnya, tuntutan-tuntutan atau
gugatan oleh seseorang dari kelas “atas” atau kaya terhadap mereka yang
berstatus rendah atau miskin akan cenderung dinilai serius sehingga akan
memperoleh reaksi, namun tidak demikian yang sebaliknya. Kelompok atas lebih
mudah mengakses keadilan, sementara kelompok marginal atau miskin sangat sulit
untuk mendapatkannya (Wignjosoebroto, 2008:187).
Simplenya
teori ini bermaksud bahwa ketika yang menjadi terdakwa adalah orang yang
berada, memiliki kekuasaan, uang dan atau jabatan dengan kasus besar maka akan
dianggap kasus serius yang penanganannya harus serius pula, mampu membeli
pengacara mahal sekalipun, mampu membuat atau menemukan celah hukum sehingga
mamppu meyakinkan hakim untuk memberikan keputusan yang lebih ringan sedangkan
pada rakyat bawah hukum dipercayakan kepada hakim tanpa berfikiran untuk
memperoleh keringanan akibat ketidakmampuannya ?
Jadi
menurut kalian bisakan keadilan itu terbentuk?
Posting Komentar