- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Panduan Menjadi Advokat di Indonesia - karya Hukum

Halo Sobat Karya Hukum Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Sobat Justitia selalu sehat di manapun berada. Hari ini, saya akan meny…

Analisa Yuridis Terhadap Penyalahgunaan Alat Pompa Ukur Bbm Studi Kasus Laporan Nomor : 1/Ppns-Ml-Bsmlregi/Lk/3/2019 Balai Standardisasi Metrologi Legal Regional Medan-Karyahukum



Pembangunan nasional yang semakin meningkat tidak selalu membawa kebahagiaan tanpa disertai dengan peningkatan pembangunan kualitas sumber daya manusia, maka sebaliknya pembangunan dapat menimbulkan hasil yang tidak seimbang berupa penyalagunaan atau perbuatan-perbuatan menyimpang lainnya, sebagai contoh adalah ketidaksesuaian pengukur BBM di SPBU tertentu dengan menggunakan teknologi digital. Tindakan pelanggaran pelaku usaha dalam hal ini banyak menyebabkan kerugian bagi pihak konsumen, masalah hak dan perlindungan konsumen. Pihak konsumen masih banyak yang tidak mengerti apa saja yang menjadi hak mereka dan apa saja yang menjadi kewajiban yang harus mereka dapatkan pada suatu pelaku usaha yang menjual jasa ataupun bentuk layanan lainnya. Pelayanan dalam kegiatan usaha di SPBU menimbulkan interaksi antara pelaku usaha dan konsumen sebagai pembeli. Dalam layanan pembelian BBM di SPBU, bukan tidak mungkin terjadi suatu masalah antara pelaku usaha dengan konsumen yang dapat menimbulkan kerugian terhadap konsumen, oleh karenanya konsumen perlu mendapat perlindungan hukum.

Pelanggaran ekonomi merupakan pelanggaran yang dilakukan tanpa kekerasan disertai dengan kecurangan (deceit), penyesatan (misprecentation), penyembunyian kenyataan (concealment of facts), manipulasi, pelanggaran kepercayaan (breach of trust), penyalahgunaan (misuse), akal-akalan (subterfuge) atau pengelakan terhadap peraturan (illegal circumvention). Salah satu bentuk pelanggaran ekonomi tersebut adalah ketidaksesuaian dalam penetapan ukuran atau timbangan atau yang biasa disebut dengan metrologi. Lembaga atau sebagai jawatan yang berwenang menangani masalah metrologi di Indonesia adalah Direktorat Metrologi yang didirikan pada tahun 1923 yang menjadi dasar pengaturan pengawasan dibidang metrology.[1]

Metrologi Legal merupakan metrologi yang mengelola satuan-satuan ukuran, metoda-metoda pengukuran dan alat-alat ukur, yang menyangkut persyaratan teknik dan peraturan berdasarkan undang-undang yang bertujuan melindungi kepentingan umum dalam hal kebenaran pengukuran. Penyelenggaraan kegiatan Metrologi Legal meliputi pelayanan tera dan tera ulang dan pengawasan Metrologi Legal. Pengawasan Metrologi Legal di dalamnya terdapat fungsi penegakan. Pengawasan di bidang Metrologi legal telah dilaksanakan secara berkala oleh Pemerintah, salah satunya terhadap SPBU, berupaya semaksimal mungkin mencegah terjadinya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku usaha SPBU yang dapat merugikan konsumen. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen mengatur secara jelas larangan bagi pelaku usaha dan sanksi pidananya, namun kenyataan di lapangan ternyata masih terdapat pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha SPBU.

Dengan demikian dapat dilihat dari tujuan penyelengaraan kemetrologian yang telah dituangkan didalam konsideran Undang – Undang RI Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal yang berbunyi: “Bahwa untuk melindungi kepentingan umum perlu adanya jaminan dalam kebenaran pengukuran serta adanya ketertiban dan kepastian hukum dalam pemakaian satuan ukur, standar satuan, metode pengukuran dan alat – alat ukur, Takar, Timbangan dan Perlengkapannya”. Jenis-jenis sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pelaku usaha menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen adalah berupa sanksi administratif, sanksi pidana dan dapat pula dijatuhi hukuman tambahan. Disamping dapat dikenakan sanksi yang ada pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, kepada pelaku usaha yang terbukti melakukan kecurangan juga dapat dikenakan sanksi yang terdapat dalam Pasal 32 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal karena telah melakukan perbuatan yang dilarang dalam Pasal 30 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal.

Alat ukur di SPBU pada masa sekarang tidak terlepas dari kecanggihan teknologi sebagai alat pengukur volume yang diserahkan kepada konsumen. Sesuai dengan kemajuan teknologi dibidang Kemetrologian dan tuntutan jaman, alat ukur pengemas telah berkembang dari sistem mekanik menjadi sistem elektronik, sehingga lebih meningkatkan kepercayaan pembeli terhadap alat ukur yang dipergunakan. Pelanggaran dalam hal penggunaan alat ukur oleh produsen adalah salah satu pelanggaran ekonomi yang sangat sering terjadi di dalam kegiatan perekonomian yang dilakukan oleh masyarakat. Fakta yang dapat dijumpai yaitu keluhan masyarakat tentang ketidaksesuaian alat ukur, khususnya pada saat pembelian BBM (Bahan Bakar Minyak).

Sebagai studi kasus penulis mengenai tindak pidana di bidang Metrologi Legal khususnya mengenai alat ukur BBM di SPBU, penulis mengambil contoh berdasarkan laporan Kejadian Nomor :  1/PPNS-ML-BSMLREGI/LK/3/2019 yang diterima oleh Balai Standardisasi Metrologi Legal Regional I Medan dengan pelapor atas nama Rita Iska, dimana dalam laporan tersebut diduga adanya tindak pidana di bidang Metrologi Legal pada hari senin tanggal 14 Januari 2000 di Jl. Ringroad Gagak Hitam No 321 SPBU 14.201.138 Sei Sikambing Kota Medan dengan modus memiliki dan atau menggunakan alat-alat ukur/takar/ timbang dan atau perlengkapannya yang tidak memiliki tanda TERA dan atau tanda TERA yang rusak dengan alat bukti berupa 1 (satu) unit pompa ukur BBM merek Gilbarco Tipe NA2 Nomor Seri ASEN119143

Berdasarkan laporan tersebut tentu dapat dilihat dalam hal ini konsumen akan dirugikan karena BBM yang dibeli tidak sesuai dengan ukuran sebenarnya, maka berdasarkan hal tersebut penulis ingin menulis makalah yang berjudul Analisa Yuridis Terhadap Penyalahgunaan Alat Pompa Ukur BBM Studi Kasus Laporan No : 1/PPNS-ML-BSMLREGI/LK/3/2019 Balai Standardisasi Metrologi Legal Regional Medan

A.  Pengaturan Terhadap Penyalahgunaan Alat Pompa Ukur BBM

Secara etimologis, penyalahgunaan itu sendiri dalam bahasa asingnya disebut ”abuse” yaitu memakai hak miliknya yang bukan pada tempatnya. Dapat juga diartikan salah pakai atau ”misuse”, yaitu mempergunakan sesuatu yang tidak sesuai dengan fungsinya.[2] Penyalahgunan tersebut termasuk tindak pidana, menurut Moeljatno menggunakan istilah perbuatan pidana untuk tindak pidana, yang didefinisikan sebagai perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.[3]

Pompe yang merumuskan bahwa suatu strafbaar feit adalah suatu Tindakan yang menurut sesuatu rumusan Undang-undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.[4] Vos merumuskan bahwa strafbaar feit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan[5]. Menurut Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya asas-asas hukum pidana di indonesia memberikan pengertian tindak pidana atau dalam bahasa Belanda strafbaar feit, yang sebenarnya merupakan istilah resmi dalam Strafwetboek atau Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang sekarang berlaku di indonesia. Ada istilah dalam bahasa asing, yaitu delict. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenai hukum pidana. Dan, pelaku ini dapat dikatakan merupakan subjek tindak pidana.[6]

Tindak pidana yang dilakukan oleh penjual yang berkaitan dengan alat pompa BBM. Kata penjual sering diartikan sebagai pedagang dalam perkembangannya diartikan sebagai pelaku usaha yang bermakna lebih luas. Istilah terakhir ini dipilih untuk memberi arti sekaligus bagi, produsen, penyalur, penjual, dan terminologi lain yang lazim diberikan. Bahkan, untuk kasus yang spesifik seperti dalam kasus periklanan, pelaku usaha ini juga mencakup perusahaan media, tempat iklan itu ditayangkan.[7]

Ada beberapa undang-undang yang mencantumkan kata konsumen di dalamnya, akan tetapi di beberapa undang-undang lain disebutkan pula kata setiap orang, manusia, dan masyarakat. Namun pengertiannya tetap saja mengandung makna konsumen, karena seperti yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya dalam pengertian konsumen terkandung juga pengertian kata setiap orang,manusia dan masyarakat. Berikut akan dijelaskan ketentuan atau pengaturan sanksi pidana bagi pelanggar hak-hak konsumen, masyarakat, yang berkaitan dengan penyalahgunaan alat takar dan timbangan yang terkandung dalam undang-undang yang telah disebutkan di atas sebagai berikut:

1)   Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal

Hukum positif Indonesia yang mengatur tentang alat UTTP adalah Undang- Undang Nomor 2 tahun 1981. Perbuatan yang dilarang sudah secara jelas diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 30, dan sanksi pidana diatur dalam Pasal 32 dan Pasal 33.

Perbuatan manipulasi Pompa Ukur BBM dapat disangkakan dengan Pasal 32 ayat (1) jo Pasal 25 huruf d dan e jo Pasal 27. jelas diatur dalam Pasal 25 sampai dengan Pasal 30, dan sanksi pidana diatur dalam Pasal 32 dan Pasal 33. Perbuatan manipulasi Pompa Ukur BBM dapat disangkakan dengan Pasal 32 ayat (1) jo Pasal 25 huruf d dan e jo Pasal 27.

Undang-undang ini telah menjamin kepentingan konsumen yang dalam kesehariannya selalu berhubungan dengan pasar yang menuntut untuk terus mengkonsumsi barang di pasaran baik dalam bentuk kemasan maupun dalam bentuk timbangan (tidak dikemas). Undang-undang ini menuntut untuk adanya sikap jujur kepada pelaku usaha dalam membuat, memasarkan, mengedarkan, mempromosikan suatu barang dan kegiatan lain yang sejalan dengan itu.


2)   Kitab Undang-undang Hukum Pidana

Kejahatan penipuan yang termuat dalam Buku II KUHP sebagai penipuan atau perbuatan curang. Penipuan memiliki pengertian luas dan pengertian sempit. Dalam KUHP, penipuan dalam arti luas yaitu semua kejahatan yang dirumuskan dalam Bab XXV KUHP sedangkan penipuan dalam arti sempit yaitu bentuk penipuan yang dirumuskan dalam Pasal 378 (bentuk pokoknya) dan 379 (bentuk khususnya) atau yangbiasa disebut oplichting.[8] Luasnya pengertian penipuan, sehingga penulis hanya membahas yang berkaitan dengan penipuan yang dilakukan oleh penjual. Adapun Pasal 383 KUHP adalah: Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan, seorang penjual yang berbuat curang terhadap pembeli :

a. Karena sengaja menyerahkan barang lain daripada yang ditunjuk untuk dibeli;

b. Mengenai jenis keadaan atau banyaknya barang yang diserahkan, dengan menggunakan tipu muslihat.

3)   Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 7 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menegaskan bawah: Kewajiban pelaku usaha adalah :

a.    Beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;

b.    Memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;

c.   Memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;

d. Menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;

e. Memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;

f.  Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat Penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;

g.  Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.

Ada 10 larangan bagi pelaku usaha sesuai dengan ketentuan Pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, tetapi yang berkaitan dengan penggunaan alat takar dan timbangan ada 3 dapat diketahui sebagai berikut: yakni pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :

a. Tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundangundangan;

b. Tidak sesuai dengan berat bersih, isi bersih atau netto, dan jumlah dalam hitungan sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau etiket barang tersebut;

c. Tidak sesuai dengan ukuran, takaran, timbangan dan jumlah dalam hitungan menurut ukuran yang sebenarnya;

Pelanggaran terhadap ketentuan tersebut di atas dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan Pasal 62 ayat (1) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen berbunyi, Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c,huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp. 2 miliar.

 

B.  Penerapan Terhadap Penyalahgunaan Alat Pompa Ukur BBM (Studi Laporan No.1/PPNS-ML-BSMLREGI/LK/3/2019 Balai Standardisasi Metrologi Legal Regional Medan)

1)    Uraian singkat kejadian

Telah terjadi dugaan tindak pidana di bidang Metrologi Legal terhadap dalam Pasal 32 ayat (1) jo. Pasal 25 huruf c dan e jo. Pasal 34 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal di SPBU Nomor 14.201.138 Jalan Gagak Hitam No 321 Sei Sikambing Kota Medan Provinsi Sumatera Utara pada hari Senin tanggal 14 Januari 2019 pukul 15:00 – 19:00 WIB, yang dilakukan oleh Tersangka NETY SALEH binti SALEH selaku Direktur Utama P.T. Tiga Dua Satu SPBU No. 14.201.138, dengan modus operandi mempunyai, memakai alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya, yang tanda teranya rusak dan yang isi atau penunjukannya menyimpang dari nilai yang seharusnya daripada yang diizinkan di tempat usaha

2)    Analisa Yuridis

a.       Pasal Yang Disangkakan

Berdasarkan fakta-fakta dari posisi kasus dan berdasarkan petunjuk yang ada selanjutnya kasus tersebut dianalisa secara yuridis sesuai dengan pasal yang dipersangkakan dapat dijelaskan sebagai berikut :

1.    Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tercantum dalam pasal 25, pasal 26, pasal 27, dan pasal 28 Undang-undang ini dipidana penjara selama-lamanya 1 (satu) tahun dan atau denda setinggi-tingginya Rp 1.000.000,- (Satu juta rupiah

2.    Pasal 25 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal “Dilarang mempunyai, menaruh, memamerkan, memakai atau menyuruh memakai alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang tanda teranya rusak di tempat usaha

3.    Pasal 25 huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal: “Dilarang mempunyai, menaruh, memamerkan, memakai atau menyuruh memakai: alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya yang panjang, isi, berat atau penunjukkannya menyimpang dari nilai yang seharusnya daripada yang diizinkan berdasarkan Pasal 12 huruf c Undang-undang ini untuk tera ulang di tempat usaha

4.    Pasal 34 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal: “Suatu perbuatan kejahatan atau pelanggaran yang berdasarkan Undang-undang ini diancam hukuman apabila dilakukan oleh suatu badan usaha, maka tuntutan dan atau hukuman ditujukan kepada pengurus, apabila berbentuk badan hukum”

5.    Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal “Perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini meliputi perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh pengurus, pegawai atau kuasanya yang karena tindakannya melakukan pekerjaan untuk badan usaha yang bersangkutan.”

          3)    Pembahasan unsur-unsur pasal yang disangkakan:

1.    Unsur “Barang Siapa”

Unsur “Barang Siapa” dalam perkara ini menunjuk kepada Subjek Hukum atau orang yaitu Tersangka NETY SALEH binti SALEH, yang didukung dengan alat bukti petunjuk berupa Kartu Tanda Penduduk atas nama Tersangka NETY SALEH binti SALEH, NIK 1207235509610002, dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Tersangka NETY SALEH binti SALEH selama pemeriksaan oleh Penyidik mempunyai kemampuan untuk mengikuti jalannya pemeriksaan dan dapat menjawab secara baik setiap pertanyaan yang diajukan oleh Penyidik, serta tidak ditemukan adanya alasan pemaaf atau pembenar pada diri Tersangka yang dapat melepaskan dari kemampuan untuk mempertanggungjawabkan atas perbuatan yang telah dilakukannya.

2.    Unsur “mempunyai”

Unsur ini telah telah terpenuhi berdasarkan barang bukti dan dengan dikuatkan oleh keterangan para saksi yaitu sebagai berikut:

a.    Saksi Saksi RITA ISKA menyatakan bahwa UTTP berupa Pompa Ukur BBM yang berada di SPBU No. 14.201.138 adalah milik PT. Tiga Dua Satu

b.    Saksi DIKI WAHYUDI menyatakan bahwa pemilik SPBU adalah PT. Tiga Dua Satu dengan NETY SALEH binti SALEH sebagai Direktur Utama PT. Tiga Dua Satu.

c.    Saksi SITI HAJAR PRATININGSIH menyatakan bahwa pemilik SPBU adalah PT. Tiga Dua Satu dengan NETY SALEH binti SALEH sebagai Direktur Utama PT. Tiga Dua Satu

3.      Unsur “memakai”

Hal tersebut dikuatkan oleh keterangan para saksi yaitu sebagai berikut:

a.  Saksi RITA ISKA menyatakan bahwa UTTP berupa Pompa Ukur BBM yang berada di SPBU No. 14.201.138 sedang digunakan untuk transaksi jual beli sebelum dilakukan kegiatan pengawasan pada tanggal 14 Januari 2019.

b. Saksi HUDAIBAH MAHFUZA menyatakan bahwa saat mendampingi kegiatan pengawasan, terdapat kegiatan transaksi jual beli BBM di SPBU 14.201.138.

c. Saksi SITI HAJAR PRATININGSIH menyatakan bahwa job deskripsi sebagai bagian Keuangan di SPBU No. 14.201.138 adalah menerima setoran uang hasil penjualan BBM dari operator SPBU.

d. Saksi HENDRAYANA menyatakan bahwa saat kegiatan pengawasan, terdapat kegiatan transaksi jual beli BBM di SPBU 14.201.138

e. Saksi GUNAWAN SRI GUNTORO menyatakan bahwa saat kegiatan pengawasan, terdapat kegiatan transaksi jual beli BBM di SPBU 14.201.138.

f.  Saksi DIKI WAHYUDI menyatakan bahwa pada pulau 4 (empat) yaitu mesin PUBBM merk Gilbarco Tipe NA2 Nomor Seri ASEN119143, Saksi yang menuangkan cairan BBM Solar dari 2 (dua) nozzle ke dalam Bejana Ukur Standar (BUS) 20 (dua puluh) liter milik petugas yang melakukan dalam pengawasan PUBBM. Saksi mengetahui bahwa volume cairan BBM jenis solar yang dikeluarkan oleh 2 (dua) nozzle BBM Solar tersebut tidak sesuai dengan Batas Kesalahan yang Diizinkan (BKD) metrologi. Minusnya lebih dari -100 ml (seratus milliliter

g. Saksi SITI HAJAR PRATININGSIH menyatakan bahwa pada saat kegiatan pengawasan, Saksi melihat volume cairan BBM Solar yang kurang atau melebihi -100 ml (minus seratus milliliter) oleh 2 (dua) unit nozzle pada PUBBM merek Gilbarco Tipe NA2 Nomor Seri ASEN119143

h. Saksi ZULHAIRI menyatakan bahwa pada saat kegiatan pengawasan, Saksi melihat volume cairan BBM Solar yang kurang atau melebihi -100 ml (minus seratus milliliter) oleh 2 (dua) unit nozzle pada PUBBM merek Gilbarco Tipe NA2 Nomor Seri ASEN119143

4.      Unsur “alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya”

Unsur alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 huruf e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal dalam perkara ini telah terpenuhi bahwa pompa ukur Bahan Bakar Minyak (BBM) yang digunakan untuk transaksi jual beli BBM di SPBU wajib ditera dan ditera ulang, sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 67 Tahun 2017 tentang Alat-Alat Ukur, Takar, Timbang, Dan Perlengkapannya (UTTP) Yang Wajib Ditera Dan Ditera Ulang, dan Keputusan Direktur Jenderal Standardisasi dan Perlindungan Konsumen Nomor 134/SPK/KEP/10/2015 tentang Meter Bahan Bakar Minyak dan Pompa Ukur Elpiji.-

Hal tersebut dikuatkan oleh keterangan para saksi yaitu sebagai berikut:

a. Saksi HASUDUNGAN SIMANJUNTAK, S.T. menyatakan bahwa Saksi melaksanakan Tera Ulang terhadap Pompa Ukur BBM (PUBBM) dengan merek Gilbarco tipe NA2 Nomor Seri ASEN119143 Cairan Pertalite/Solar/Pertamax jumlah nozzle 2/2/2 yang berada di pulau 4 pada SPBU no. 14.201.138 yang beralamat Jalan Gagak Hitam No 321 Sei Sikambing Kota Medan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 20, 21, 23, 24 Agustus 2018.

b. Saksi LEORENCIUS SINAGA, A.Md. menyatakan bahwa Saksi melaksanakan Tera Ulang terhadap Pompa Ukur BBM (PUBBM) dengan merek Gilbarco tipe NA2 Nomor Seri ASEN119143 Cairan Pertalite/Solar/Pertamax jumlah nozzle 2/2/2 yang berada di pulau 4 pada SPBU no. 14.201.138 yang beralamat Jalan Gagak Hitam No 321 Sei Sikambing Kota Medan Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 20, 21, 23, 24 Agustus 2018.

c.  Ahli AGNAR REYHAN, S.T. menyatakan bahwa Pompa Ukur BBM merupakan UTTP yang wajib tera ulang berdasarkan Permendag Nomor 67 Tahun 2018 tentang UTTP Wajib Tera/Tera Ulang.

d. Ahli AGNAR REYHAN, S.T. menyatakan bahwa untuk PUBBM besarnya Batas Kesalahan yang Diizinkan (BKD) adalah ± 0,5%. Standar pembanding yang digunakan untuk pengujian PUBBM adalah bejana ukur 20 liter. Apabila pada penyerahan BBM penunjukan PUBBM adalah 20 liter, maka BBM yang ditakar pada bejana ukur harus menunjukkan maksimum 20 liter ± 100 ml.

e.  Ahli AGNAR REYHAN, S.T. menyatakan bahwa pada bagian badan ukur pada PUBBM harus dipasang tanda tera jaminan karena pada badan ukur dapat dilakukan perubahan, modifikasi, atau penggantian yang dapat mempengaruhi sifat kemetrologian pada PUBBM setelah dilakukan peneraan.

f. Alat Bukti Surat yaitu Surat Keterangan Hasil Pengujian Nomor: 510.13/1113/VIII/2018 yang diterbitkan Dinas Perdagangan Kota Medan tanggal 6 September 2018.

5.      Unsur “yang tanda teranya rusak”

Unsur yang tanda teranya rusak sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 huruf c Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal dalam perkara ini telah terpenuhi.-

Hal tersebut dikuatkan oleh keterangan para saksi yaitu sebagai berikut:

a.  Ahli AGNAR REYHAN, S.T. menyatakan bahwa adanya PUBBM yang tidak terdapat tanda tera jaminan yang terpasang pada badan ukur PUBBM di SPBU nomor 14.201.138 Jalan Gagak Hitam No. 321 Sei Sikambing Kota Medan Provinsi Sumatera Utara Tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana diatur pada Pasal 25 huruf c Undang – Undang Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal.

b.  Saksi RITA ISKA, HUDAIBAH MAHFUZA, HENDRAYANA, GUNAWAN SRI GUNTORO menyatakan bahwa pada saat kegiatan pengawasan tidak ditemukan adanya tanda jaminan yang dipasang pada badan ukur yaitu bagian – bagian meter yang harus dilindungi dari perubahan pada PUBBM merek Gilbarco Tipe NA2 Nomor Seri ASEN119143.

c.  Saksi ZULHAIRI menyatakan bahwa pada saat kegiatan pengawasan, Saksi melihat bahwa tidak ada tanda tera jaminan yang terpasang pada badan ukur Pompa Ukur Bahan Bakar Minyak (PUBBM) merek Gilbarco Tipe NA2 Nomor Seri ASEN119143.

6.      Unsur yang isi atau penunjukannya menyimpang dari nilai yang seharusnya daripada yang diizinkan”

Hal tersebut dikuatkan oleh keterangan para saksi yaitu sebagai berikut:

a.       Saksi RITA ISKA, HUDAIBAH MAHFUZA, HENDRAYANA, GUNAWAN SRI GUNTORO menyatakan bahwa pada saat kegiatan pengawasan , hasil pengujian kebenaran dengan menggunakan Bejana Ukur Standar (BUS) 20 (dua puluh) Liter terhadap 2 (dua) unit nozzle dengan jenis BBM solar ditemukan bahwa rata – rata kesalahan penunjukkan 2 (dua) nozzle dengan jenis BBM solar tersebut masing – masing adalah -138,33 ml (minus seratus tiga puluh delapan koma tiga tiga mililiter) atau sebesar -0,69 % (minus nol koma enam sembilan persen) dan -145,67 ml (minus seratus empat puluh lima koma enam tujuh mililiter) atau sebesar -0,73 % (minus nol koma tujuh tiga persen). Hal ini menunjukkan bahwa rata – rata kesalahan penunjukkan 2 (dua) nozzle dengan jenis BBM solar tersebut melewati atau diluar Batas Kesalahan yang Diizinkan (BKD) yaitu sebesar + 0,5 % (plus minus nol koma lima persen) atau sebesar +100 ml (seratus milliliter) jika menggunakan Bejana Ukur Standar (BUS) 20 (dua puluh) liter.

b.      Saksi DIKI WAHYUDI menyatakan bahwa pada pulau 4 (empat) yaitu mesin PUBBM merk Gilbarco Tipe NA2 Nomor Seri ASEN119143, Saksi yang menuangkan cairan BBM Solar dari 2 (dua) nozzle ke dalam Bejana Ukur Standar (BUS) 20 (dua puluh) liter milik petugas yang melakukan dalam pengawasan PUBBM. Saksi mengetahui bahwa volume cairan BBM jenis solar yang dikeluarkan oleh 2 (dua) nozzle BBM Solar tersebut tidak sesuai dengan Batas Kesalahan yang Diizinkan (BKD) metrologi. Minusnya lebih dari -100 ml (seratus milliliter)

7.      Unsur “di tempat usaha”

Unsur di tempat usaha sebagaimana dimaksud pada Pasal 25 huruf c dan e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal dalam perkara ini telah terpenuhi. Bahwa SPBU Nomor 14.201.138 yang beralamat di Jalan Gagak Hitam No 321 Sei Sikambing Kota Medan Provinsi Sumatera Utara tersebut digunakan untuk melayani konsumen dalam hal jual beli BBM adalah tempat usaha yaitu tempat yang digunakan untuk kegiatan-kegiatan perdagangan, industri, produksi, usaha jasa, penyimpanan-penyimpanan dokumen yang berkenaan dengan perusahaan, juga kegiatan-kegiatan penyimpanan atau pameran barang-barang.

Hal tersebut dikuatkan oleh keterangan para saksi yaitu sebagai berikut:

a.       Saksi RITA ISKA, HUDAIBAH MAHFUZA, HENDRAYANA, GUNAWAN SRI GUNTORO menyatakan bahwa pada saat kegiatan pengawasan di SPBU 14.201.138, Pompa Ukur BBM (PUBBM) tersebut dalam keadaan aktif dan terlihat sedang digunakan oleh SPBU untuk penyerahan BBM ke konsumen.

b.      Saksi SITI HAJAR PRATININGSIH menyatakan bahwa Saksi bekerja sebagai administrasi yang bertugas untuk mengurusi surat menyurat, bagian keuangan, gaji karyawan, pembukuan, memeriksa surat tera metrologi apabila sudah mau habis masa berlaku di SPBU 14.201.138.

c.       Ahli BUDIMAN GINTING menyatakan bahwa kedudukan PT. Tiga Dua Satu sebagai pelaksana kegiatan usaha di SPBU 14.201.138, maka yang bertanggung jawab atas tindak pidana berupa :

1)Menggunakan alat-alat ukur takar timbang dan atau perlengkapannya (UTTP) yaitu pompa ukur bahan bakar minyak (PUBBM) yang tidak bertanda tera jaminan pada badan ukur PUBBM.

2)Menggunakan alat-alat ukur takar timbang dan atau perlengkapannya (UTTP) yaitu pompa ukur bahan bakar minyak (PUBBM) yang hasil pengujian kebenarannya tidak sesuai dengan Batas Kesalahan yang Diizinkan (BKD).

8.      Unsur “badan hukum”

Unsur badan hukum sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal dalam perkara ini telah terpenuhi.-

Hal tersebut dikuatkan oleh keterangan para saksi yaitu sebagai berikut:

1) Saksi DIKI WAHYUDI, SITI HAJAR PRATININGSIH, ZULHAIRI, GUNAWAN SYAHPUTRA, BURHANUDDIN, NORA, HARDIANTO RAMLI menyatakan bahwa pemilik SPBU adalah PT. Tiga Dua Satu dengan NETY SALEH binti SALEH sebagai Direktur Utama PT. Tiga Dua Satu.

2)      Ahli BUDIMAN GINTING menyatakan bahwa kedudukan PT. Tiga Dua Satu adalah orang dan atau badan hukum yang bertanggungjawab terhadap tindak pidana bidang metrologi legal yang telah dibuatnya.

Hal tersebut dikuatkan dengan Alat Bukti Surat berupa :

1)    Berkas salinan dokumen Akta Pendirian Perseroan Terbatas P.T. Tiga Dua Satu No. 45 tanggal 9 April 2012 yang diterbitkan oleh Notaris Jhon Langsung SH yang yang dilegalisir oleh Notaris Henny Triana Barus Kabupaten Deli Serdang.

2)    Berkas salinan yang dilegalisir dokumen Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-25736.AH.01.01.Tahun 2012 tentang Pengesahan badan hukum P.T. Tiga Dua Satu yang dilegalisir oleh Notaris Henny Triana Barus Kabupaten Deli Serdang

9.       Unsur “pengurus”

Unsur pengurus sebagaimana dimaksud pada Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal berkaitan dengan subjek hukum orang, dimana apabila suatu perbuatan kejahatan atau pelanggaran yang berdasarkan Undang-undang ini diancam hukuman apabila dilakukan oleh suatu badan usaha, maka tuntutan dan atau hukuman ditujukan kepada pengurus, apabila berbentuk badan hukum. Maka unsur pengurusdalam perkara ini telah terpenuhi.

Hal tersebut dikuatkan oleh keterangan para saksi yaitu sebagai berikut:

1) Saksi DIKI WAHYUDI, SITI HAJAR PRATININGSIH, ZULHAIRI, GUNAWAN SYAHPUTRA, BURHANUDDIN, NORA, HARDIANTO RAMLI menyatakan bahwa pemilik SPBU adalah PT. Tiga Dua Satu dengan NETY SALEH binti SALEH sebagai Direktur Utama PT. Tiga Dua Satu.

2) Ahli BUDIMAN GINTING menyatakan bahwa yang bertanggung jawab di dalam organisasi P.T. Tiga Dua Satu terhadap perkara tindak pidana tersebut adalah Pengurus  atau Direktur, Pegawai atau kuasanya  dari PT. Tiga Dua Satu. Hal ini sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 34 ayat (1) huruf a dan ayat (2)  UU No. 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal

Hal tersebut dikuatkan oleh Alat Bukti Surat yaitu sebagai berikut:

1)      1 (satu) berkas salinan dokumen Akta Pendirian Perseroan Terbatas P.T. Tiga Dua Satu No. 45 tanggal 9 April 2012 yang diterbitkan oleh Notaris Jhon Langsung SH yang yang dilegalisir oleh Notaris Henny Triana Barus Kabupaten Deli Serdang.

2)      1 (satu) berkas salinan yang dilegalisir dokumen Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-25736.AH.01.01.Tahun 2012 tentang Pengesahan badan hukum P.T. Tiga Dua Satu yang dilegalisir oleh Notaris Henny Triana Barus Kabupaten Deli Serdang.

Sedangkan unsur yang tidak dapat dibuktikan penyidik adalah Unsur “menaruh” pada Pasal 25 huruf c dan e, Unsur “menyuruh memakai”, Pasal 25 huruf c dan e  dan Unsur “memamerkan” Pasal 25 huruf c dan e Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal

4)    Kesimpulan kasus

1)      Secara sah dan meyakinkan unsur barangsiapa, unsur mempunyai, unsur memakai, unsur alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya, unsur tanda tera rusak, unsur yang isi atau penunjukannya menyimpang dari nilai yang seharusnya daripada yang diizinkan, unsur tempat usaha, unsur badan hukum, dan unsur pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) jo Pasal 25 huruf c dan e jo Pasal 34 ayat (1) huruf a, dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal telah terpenuhi dan terbukti.

2)      Berdasarkan fakta dan analisis tersebut, maka dapat disimpulkan semua unsur pasal yang disangkakan telah terpenuhi, dan pertanggung jawaban pidana (tuntutan dan hukuman) ditujukan NETY SALEH binti SALEH sebagai Direktur Utama PT. Tiga Dua Satu SPBU 14.201.138.

3)      Terhadap tersangka NETY SALEH binti SALEH berdasarkan fakta dan pembahasan tersebut di atas dapat dipersangkakan telah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) jo Pasal 25 huruf c dan e jo Pasal 34 ayat (1) huruf a dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal.

PENUTUP

Penyalahgunaan Alat Pompa Ukur BBM diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1981 tentang Metrologi Legal, Kitab Undang-undang Hukum Pidana, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dimana perbuatan yang dikategorikan sebagai tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut,

Penerapan Terhadap Penyalahgunaan Alat Pompa Ukur BBM (Studi Laporan No.1/PPNS-ML-BSMLREGI/LK/3/2019 Balai Standardisasi Metrologi Legal Regional Medan) menjabarkan cara, waktu dan tempat dilakukannya tindak pidana penyalahgunaan alat pompa ukur BBM dimana dalam proses penyidikan dan penyelidikan diketahui memenuhi unsur pasal barang siapa, unsur mempunyai, unsur memakai, unsur alat-alat ukur, takar, timbang dan atau perlengkapannya, unsur tanda tera rusak, unsur yang isi atau penunjukannya menyimpang dari nilai yang seharusnya daripada yang diizinkan, unsur tempat usaha, unsur badan hukum, dan unsur pengurus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) jo Pasal 25 huruf c dan e jo Pasal 34 ayat (1) huruf a, dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1981 Tentang Metrologi Legal telah terpenuhi dan terbukti.



[1] http://www.metrologi.org/2012/12/data-upt-dan-uptd-metrologi-legal-di.html diakses pada tanggal 7 Januari 2022 WIB

[2] M. Ridha Ma’roef, Narkotika Masalah dan Bahayanya, CV. Marga Djaya, Jakarta, 1986, hlm. 9.

[3] Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983, hlm. 54

[4] P.A.F Lamintang. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. Sinar Baru, Bandung, 1990, hlm.174

[5] Ibid

[6] Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2008, hlm. 58

[7] Shidarta, Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia, PT Grasindo, Jakarta, 2000, hlm. 5

[8] Moeljatno, KUHP. Bumi Aksara, Jakarta, 2007, hlm. 133-134

Posting Komentar

Posting Komentar