- -->
Hukum dalam
keberlakuannya di masyarakat akan berlaku secara efektif apabila diterima dan
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu hukum dan
masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi. Tujuan
hukum adalah menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi masyarakat
dimana ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.[1] Tindak pidana dapat
diartikan sebagai suatu perbuatan yang bila dilanggar akan mendapatkan sanksi
yang jelas dan sesuai dengan KUHP. Eksistensi perkara pidana lahir karena ada
tindak pidana yang ditangani oleh penegak hukum. Perkara pidana selalu muncul
manakala ada proses pidana. Adapun tindak pidana atau kejahatan merupakan
bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Salah satu
perkara pidana yang sering terjadi di masyarakat adalah tindak pidana yang
bersifat ringan atau tidak berbahaya yaitu pencurian ringan. [2]
Dalam
upaya penanggulangan kejahatan di Indonesia memang dapat melalui 2 jalur yaitu
melalui jalur hukum pidana atau melalui jalur penal (litigasi) dan melalui
jalur di luar hukum pidana atau nonpenal (non litigasi) yang dari keduanya
memiliki tujuan yang sama dimana keberadaannya untuk menanggulangi kejahatan. Secara
kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur
“penal” lebih menitikberatkan pada “repressive” (penindasan/penumpasan) sesudah
kejahatan terjadi, sedangkan jalur “nonpenal” menitikberatkan pada sifat
“preventive” (penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi.
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga seringkali dilakukan oleh aparat
penegak hukum untuk kasus pidana melalui diskresi dan mekanisme
musyawarah/perdamaian.[3]
Kasus
pencurian ringan walaupun sifatnya ringan adalah tetap merupakan tindak pidana
yang harus diselesaikan menurut proses hukum agar memberikan efek jera dan
tidak diulangi oleh para pelaku maupun masyakarat lain. Sebenarnya tidak ada
yang salah dengan diajukannya mereka ke persidangan untuk
mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, karena memang setiap tindak pidana
harus diproses hingga tuntas, baik itu dengan proses hukum pidana ataupun
proses lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun
permasalahannya adalah subtansi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku
tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kondisi tersebut pada saat
yang bersamaan menjadi semakin terlihat kontras, ketika masyarakat melihat
banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang mencuri uang negara dalam jumlah
yang besar justru hanya dijatuhi pidana yang dinilai terlalu ringan, bahkan
banyak pelakunya yang belum tersentuh oleh tangan hukum.[4]
Beberapa contoh kasus pidana khususnya pencurian yang nilai kerugian ekonomisnya kecil yaitu, Kasus pencurian semangka yang dilakukan oleh Basar Suyanto dan Kholil, warga Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kediri, Jawa Timur yang dituduh mencuri satu butir buah semangka milik tetangganya. Terdakwa tidak memiliki niat menguasai dan tidak untuk diperjualbelikan. Mereka hanya mencoba ingin mengobati rasa haus dengan memakan buah semangka yang sudah complang (rusak). Dalam kasus yang nilai kerugiannya sekitar Rp.30.000,00 tersebut, keduanya dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Kediri dan dijatuhi hukuman 15 hari dengan masa percobaan satu bulan. Contoh lainnya adalah kasus yang menimpa Nenek Minah (50), warga desa Darmakradenan Kabupaten Banyumas, yang oleh PT. Rumpun Sari Antan dituduh melakukan pencurian atas 3 biji buah kakao dan telah menjalani masa tahanan rumah selama tiga bulan.
A. Persyaratan
Yang Diperlukan Sehingga Perkara Pidana Tindak Pidana Pencurian Ringan Dapat
Dilakukan Secara Mediasi Penal
Secara
etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa Latin mediare yang berarti
“berada di tengah”. Makna ini merujuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga
sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan
sengketa antara para pihak, “berada ditengah” juga bermakna mediator harus
berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia
harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan
sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang bersengketa.[5] Mediasi adalah cara
penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui proses perundingan untuk
memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu mediator. Sedangkan pengertian
dari mediator adalah pihak ketiga atau pihak netral yang membantu para pihak
dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian
sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.[6]
Untuk
penanganan kasus pidana, sekilas mediasi penal hampir sama dengan yang kita
kenal diskresi (discretion) yang dimiliki oleh lembaga sistem peradilan pidana,
seperti kepolisian dan kejaksaan untuk menyaring kasus-kasus yang masuk untuk
tidak meneruskan sebagian kasus tertentu melalui proses peradilan pidana. Namun
demikian terdapat esensi yang berbeda dengan sistem diskresi tersebut. Mediasi
penal lebih mengedepankan kepentingan pelaku tindak pidana dan sekaligus
kepentingan korban, sehingga tercapai win-win solution yang menguntungkan
pelaku tindak pidana dan korbannya. Dalam mediasi penal korban dipertemukan
secara langsung dengan pelaku tindak pidana dan dapat mengemukakan tuntutannya
sehingga dihasilkan perdamaian para pihak.[7]
Mediasi
Penal merupakan salah satu jalan alternatif untuk menyelesaikan perkara
khususnya tindak pidana pencurian ringan. Melalui mediasi penal proses
penanganan perkara dilakukan secara transparan sehingga dapat mengurangi
penyimpangan yang seringkali terjadi dalam proses peradilan pidana tradisional.
Mengingat banyaknya keuntungan yang ada pada mediasi penal, sebagaimana telah
dipraktekkan di beberapa negara, maka diperlukan upaya berupa kajian untuk
menerapkan mediasi penal dalam proses peradilan pidana Indonesia sebagai bagian
dari sistem peradilan pidana di Indonesia.[8]
Mediasi
penal sebagai alternatif sistem peradilan pidana dalam kasus pencurian ringan
sangat dibutuhkan dan bahkan sangat diperlukan, dikarenakan[9] :
a.Diharapkan
dapat mengurangi penumpukan perkara;
b.Merupakan
salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap lebih cepat, murah dan
sederhana;
c. Dapat
memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk
memperleh keadilan, dan
d.Memperkuat
dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dan penyelesaian sengketa di
samping proses menjatuhkan pemidanaan.
Mediasi
penal untuk pertama kali dikenal dalam peristilahan hukum positif di Indonesia
sejak keluarnya Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14
Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution
(ADR) meskipun sifatnya parsial. Pada intinya prinsip-prinsip mediasi penal
yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini menekankan bahwa penyelesaian kasus
pidana dengan menggunakan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang
berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai
dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.
Menurut
KUHP, pencurian ringan (gepriviligeerde diefsal) diatur dalam Pasal 364 KUHP
yang menjelaskan bahwa
“Perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan 363 butir 4, begitupun perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah tempat kediaman, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp 250,-, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 900”
Berdasarkan
Pasal 364 KUHP di atas, jadi ada 3 kemungkinan saja yang dapat dikatakan
sebagai pencurian ringan, yakni apabila:[10]
1.Pencurian
biasa sebagaimana diatur pasal 362, ditambah adanya unsur yang meringankan
yakni apabila benda yag dicuri tidak lebih dari Rp 250,-
2.Dua
orang atau lebih melakukan pencurian dengan bersekongkol ditambah unsur nilai
objeknya tidak melebihi dari Rp 250,-
3.Pencurian
itu dilakukan dengan cara masuk ke suatu tempat (tempat kejadian perkara)
dengan cara: membongkar, merusak, memanjat, memakai anak kunci palsu, perintah
palsu atau pakaian jabatan palsu, ditambah nilainya benda yang dicuri tidak
lebih dari Rp 250,
Sedangkan
kategori Tindak Pidana yang dapat Diselesaikan dengan Mediasi Penal yaitu
sebagai berikut :[11]
1) Pelanggaran
hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat
absolut maupun aduan yang bersifat relatif.
2)Pelanggaran
hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan
pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).
3) Pelanggaran
hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang
hanya diancam dengan pidana denda.
Dalam
perkembangannya, penyelesaian perkara di luar pengadilan maka tidak semua
perkara pidana dapat dilakukan melalui dimensi mediasi penal. T. Gayus Lumbun
menyebutkan bahwa kasus hukum yang memiliki preferensi untuk diselesaikan
melalui ADR adalah sebagai berikut:[12]
1) Kasus-kasus
yang pelaku (atau tersangka pelaku) tidak melibatkan negara. Atau, dapat pula
diprioritaskan untuk tindak pidana yang termasuk kategori delik aduan. Di
samping itu ADR juga dapat diperluas mencakup tindak pidana yang korbannya
adalah masyarakat atau warga negara sehingga mereka sendiri yang mengungkapkan
tingkat kerugian yang dialaminya.
2)Tindak
pidana yang walaupun melibatkan negara (sebagai tersangka pelaku), tetapi
memerlukan penyelesaian mengingat berdampak langsung kepada masyarakat.
Misalnya, untuk tindak pidana di bidang ekonomi dimana negara mengharapkan
adanya pengembalian dana negara dalam kasus-kasus korupsi.
B. Landasan
Yuridis Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana
Secara
yuridis dalam sistem penegakan hukum pidana di Indonesia, sebenarnya para
penegak hukum telah diberikan wewenang tertentu oleh Undang-Undang untuk
mengesampingkan perkara pidana atau menyelesaikan perkara pidana tanpa
meneruskannya ke pengadilan. Seperti halnya Kepolisian, sebagaimana diatur
dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian No. 2
Tahun 2002 telah memberikan hak kepada Polisi (penyidik) untuk melakukan
diskresi (discretion), yakni hak untuk tidak
memproses hukum terhadap tindak pidana sepanjang demi kepentingan umum maupun
moral, karena diskresi pada hakikatnya berada diantara hukum dan moral.
Dalam
Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menyebutkan
bahwa :
1) Untuk
kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan
tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.
2) Pelaksanaan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam
keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan,
serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Adapun
yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” tidak lain adalah
suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik
Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari
tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.27 Kepolisian dalam
menanggapi upaya pembaharuan hukum pidana, menerbitkan pengaturan dalam lingkup
Kepolisian yang bersifat parsial yaitu Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2008 sebagai
awal mula adanya konsep penyelesaian perkara di luar pengadilan. Perkapolri ini
menerapkan bentuk pemolisian masyarakat yang merupakan upaya Polri dalam
mensinergikan komunikasi, partisipasi, otonomisasi, dan proaktif Polri dengan
warga masyarakat melalui adanya kemitraan demi terciptanya keamanan,
ketertiban, dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam Perkapolri
ini tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai mediasi penal, namun terdapat
penyebutan mengenai ADR, dimana pada Pasal 14 huruf F disebutkan “penerapan
konsep alternative dispute resolution yaitu pola penyelesaian masalah sosial
melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah
selain melalui proses hukum atau non litigasi misalnya melalui upaya perdamaian”.
Kemudian diterbitkan Surat KAPOLRI Nomor Polisi:
B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus
Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai bentuk
tindak lanjut ADR dalam Pasal 14 huruf F Perkapolri sebelumnya. Surat Kapolri
ini lebih lanjut memerintahkan petugas Kepolisian untuk mengupayakan ADR
terhadap perkara yang merupakan tindak pidana ringan. Terdapat beberapa poin
penting terhadap upaya penerapan ADR yang tertuang dalam Surat Kapolri ini,
diantaranya:[13]
a)Mengupayakan
penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya
dapat diarahkan melalui konsep ADR.
b)Penyelesaian
kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang
berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai
dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.
c) Penyelesaian
kasus pidana yang menggunakan ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan
harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan RT RW setempat.
d) Penyelesaian
kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma hukum sosial/adat
serta memenuhi asas keadilan.
e)Memberdayakan
anggota Pemolisian/Perpolisian Masyarakat (Polmas) dan memerankan Forum
Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) yang ada di wilayah masing-masing untuk
mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana yang mempunyai kerugian materiil
kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep ADR.
Pada
akhirnya, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito
Karnavian mengeluarkan Surat Edaran No.SE/8/VII/2018
tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restoratif justice)
dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Dalam surat edaran tersebut mengatur
bagaimana caranya menerapkan konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian
perkara pidana di tingkat penyidikan atau penyelidikan di kepolisian. Surat
Edaran No.SE/8/VII/2018 diatur bagaimana polisi dalam hal ini penyidik
menerapkan konsep restorative justice dalam penanganan perkara pidana, tentunya
dengan ketentuanketentuan yang jelas agar ada keseragaman bagi penyidik dalam
menerapkan konsep restorative justice, dasar hukum adanya Surat Edaran
No.SE/8/VII/2018
Apabila
dikaitkan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 di atas, dalam Pasal
5 ayat (1) huruf a angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa polisi selaku
penyelidik maupun penyidik mempunyai wewenang untuk mengadakan tindakan lain
menurut hukum yang bertanggung jawab. Yang dimaksud ”tindakan lain” dalam
penjelasan kedua pasal ini merupakan tindakan dari kepolisian
(penyelidik/penyidik) untuk kepentingan penyelidikan/penyidikan dengan syarat:
a) Tidak
bertentangan dengan suatu aturan hukum,
b) Selaras
dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan,
c) Tindakan
itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya,
d) Atas
pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa,
e) Menghormati
hak asasi manusia.
Ketentuan-ketentuan
diatas yang dijadikan dasar polisi menerapkan konsep restorative justice,
tentunya selain aturan yang jelas, polisi juga dalam menerapkan konsep
restorative justice, harus mematuhi pedoman yang ditentukan dalam Surat Edaran
No.SE/8/VII/2018. Surat Edaran Kapolri tentang restorative justice inilah yang
selanjutnya dijadikan landasan hukum dan pedoman bagi penyelidik dan penyidik
Polri yang melaksanakan penyelidikan/penyidikan, termasuk sebagai jaminan
perlindungan hukum serta pengawasan pengendalian, dalam penerapan prinsip
keadilan restoratif (restorative justice) dalam konsep penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana demi mewujudkan kepentingan umum dan rasa keadilan
masyarakat, sehingga dapat mewujudkan keseragaman pemahaman dan penerapan
keadilan restoratif (restorative justice) di Lingkungan Polri serta mempunyai
kekuatan hukum yang mengikat secara internal dalam lingkup kewenangan
administratif kepolisian dan secara tidak langsung juga mengikat secara
eksternal kepada masyarakat.
Bentuk peraturan
keadilan restoratif yang ada dalam Surat Edaran Kapolri ini kemudian di adopsi
dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana.
Dalam perkap ini, beberapa kasus tindak pidana tidak harus sampai proses
persidangan. Tetapi bisa dilakukan penyelesaian dengan cara restoratif
keadilan. Artinya, penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku,
korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama
mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan
semula, dan bukan pembalasan. Perkap ini sebagai petunjuk pelaksanaan mengenai
penyidikan. Sehingga Penyidik dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang
secara profesional. Rangkaian peraturan tersebut memang tidak secara harfiah
menyebutkan mediasi penal, namun konsep yang tertuang dalam masing-masing
peraturan esensinya mengacu kepada konteks mediasi penal.
[1] Jonlar Purba, Penegakan Hukum
Terhadap Tindak Pidana Bermotif Ringan Dengan Restorative Justice (Jakarta:
Jala Permata Aksara, 2012) hal. 1
[2] Marselino Rendy, Pembelaan
Terpaksa yang Mengalami Batas (Noodweer Exces) Pada Pasal 49 Ayat 2 (Jurnal
Jurist-Diction, Volume 3 Nomor 2, Maret, 2020) hal. 633
[3] Muladi dan Arief, Barda Nawawi.
2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, hlm 46
[4] Dwi Hananta, Menggapai Tujuan
Pemidanaan dalam Perkara Pencurian Ringan (Bandung: Mandar Maju, 2017) hal.2
[5] Syahrizal Abbas, Mediasi dalam
Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional (Jakarta: Kencana, 2009) hal.2
[6] Takdir Rahmadi, Mediasi
Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2010) hal.12
[7] James Hasudungan Hutajulu, Mediasi
Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan, Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya, hlm 6
[8] Ibid, hlm 7
[9] DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur,
Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice Di Pengadilan Anak Indonesia,
Indie Publishing, Jakarta, 2011, hlm. 80.
[10] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap
Harta Benda, IKIP Malang, Malang, 1995, hlm. 29.
[11] Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam
Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Bandung: PT. Alumni, 2015) hal.34
[12] Ibid, hal.133
[13] Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam
Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik
(Yustisia, Volume 2 Nomor 1 Januari – April 2013) hal.13
Posting Komentar