- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Panduan Menjadi Advokat di Indonesia - karya Hukum

Halo Sobat Karya Hukum Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Sobat Justitia selalu sehat di manapun berada. Hari ini, saya akan meny…

Tinjauan Yuridis Penyelesaian Tindak Pidana Pencurian Melalui Mediasi Penal


Hukum dalam keberlakuannya di masyarakat akan berlaku secara efektif apabila diterima dan sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu hukum dan masyarakat mempunyai hubungan yang sangat erat dan saling mempengaruhi. Tujuan hukum adalah menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum bagi masyarakat dimana ketiga unsur ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.[1] Tindak pidana dapat diartikan sebagai suatu perbuatan yang bila dilanggar akan mendapatkan sanksi yang jelas dan sesuai dengan KUHP. Eksistensi perkara pidana lahir karena ada tindak pidana yang ditangani oleh penegak hukum. Perkara pidana selalu muncul manakala ada proses pidana. Adapun tindak pidana atau kejahatan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan masyarakat. Salah satu perkara pidana yang sering terjadi di masyarakat adalah tindak pidana yang bersifat ringan atau tidak berbahaya yaitu pencurian ringan. [2]

Dalam upaya penanggulangan kejahatan di Indonesia memang dapat melalui 2 jalur yaitu melalui jalur hukum pidana atau melalui jalur penal (litigasi) dan melalui jalur di luar hukum pidana atau nonpenal (non litigasi) yang dari keduanya memiliki tujuan yang sama dimana keberadaannya untuk menanggulangi kejahatan. Secara kasar dapatlah dibedakan, bahwa upaya penanggulangan kejahatan lewat jalur “penal” lebih menitikberatkan pada “repressive” (penindasan/penumpasan) sesudah kejahatan terjadi, sedangkan jalur “nonpenal” menitikberatkan pada sifat “preventive” (penangkalan/ pengendalian) sebelum kejahatan terjadi. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan juga seringkali dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk kasus pidana melalui diskresi dan mekanisme musyawarah/perdamaian.[3]

Kasus pencurian ringan walaupun sifatnya ringan adalah tetap merupakan tindak pidana yang harus diselesaikan menurut proses hukum agar memberikan efek jera dan tidak diulangi oleh para pelaku maupun masyakarat lain. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan diajukannya mereka ke persidangan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan mereka, karena memang setiap tindak pidana harus diproses hingga tuntas, baik itu dengan proses hukum pidana ataupun proses lain yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Namun permasalahannya adalah subtansi atau peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak lagi sesuai dengan perkembangan masyarakat. Kondisi tersebut pada saat yang bersamaan menjadi semakin terlihat kontras, ketika masyarakat melihat banyaknya pelaku tindak pidana korupsi yang mencuri uang negara dalam jumlah yang besar justru hanya dijatuhi pidana yang dinilai terlalu ringan, bahkan banyak pelakunya yang belum tersentuh oleh tangan hukum.[4]

Beberapa contoh kasus pidana khususnya pencurian yang nilai kerugian ekonomisnya kecil yaitu, Kasus pencurian semangka yang dilakukan oleh Basar Suyanto dan Kholil, warga Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kediri, Jawa Timur yang dituduh mencuri satu butir buah semangka milik tetangganya. Terdakwa tidak memiliki niat menguasai dan tidak untuk diperjualbelikan. Mereka hanya mencoba ingin mengobati rasa haus dengan memakan buah semangka yang sudah complang (rusak). Dalam kasus yang nilai kerugiannya sekitar Rp.30.000,00 tersebut, keduanya dinyatakan bersalah oleh Pengadilan Negeri Kediri dan dijatuhi hukuman 15 hari dengan masa percobaan satu bulan. Contoh lainnya adalah kasus yang menimpa Nenek Minah (50), warga desa Darmakradenan Kabupaten Banyumas, yang oleh PT. Rumpun Sari Antan dituduh melakukan pencurian atas 3 biji buah kakao dan telah menjalani masa tahanan rumah selama tiga bulan.

A.  Persyaratan Yang Diperlukan Sehingga Perkara Pidana Tindak Pidana Pencurian Ringan Dapat Dilakukan Secara Mediasi Penal

Secara etimologi istilah mediasi berasal dari bahasa Latin mediare yang berarti “berada di tengah”. Makna ini merujuk pada peran yang ditampilkan pihak ketiga sebagai mediator dalam menjalankan tugasnya menengahi dan menyelesaikan sengketa antara para pihak, “berada ditengah” juga bermakna mediator harus berada pada posisi netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Ia harus mampu menjaga kepentingan para pihak yang bersengketa secara adil dan sama, sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari pihak yang bersengketa.[5] Mediasi adalah cara penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui proses perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu mediator. Sedangkan pengertian dari mediator adalah pihak ketiga atau pihak netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.[6]

Untuk penanganan kasus pidana, sekilas mediasi penal hampir sama dengan yang kita kenal diskresi (discretion) yang dimiliki oleh lembaga sistem peradilan pidana, seperti kepolisian dan kejaksaan untuk menyaring kasus-kasus yang masuk untuk tidak meneruskan sebagian kasus tertentu melalui proses peradilan pidana. Namun demikian terdapat esensi yang berbeda dengan sistem diskresi tersebut. Mediasi penal lebih mengedepankan kepentingan pelaku tindak pidana dan sekaligus kepentingan korban, sehingga tercapai win-win solution yang menguntungkan pelaku tindak pidana dan korbannya. Dalam mediasi penal korban dipertemukan secara langsung dengan pelaku tindak pidana dan dapat mengemukakan tuntutannya sehingga dihasilkan perdamaian para pihak.[7]

Mediasi Penal merupakan salah satu jalan alternatif untuk menyelesaikan perkara khususnya tindak pidana pencurian ringan. Melalui mediasi penal proses penanganan perkara dilakukan secara transparan sehingga dapat mengurangi penyimpangan yang seringkali terjadi dalam proses peradilan pidana tradisional. Mengingat banyaknya keuntungan yang ada pada mediasi penal, sebagaimana telah dipraktekkan di beberapa negara, maka diperlukan upaya berupa kajian untuk menerapkan mediasi penal dalam proses peradilan pidana Indonesia sebagai bagian dari sistem peradilan pidana di Indonesia.[8]

Mediasi penal sebagai alternatif sistem peradilan pidana dalam kasus pencurian ringan sangat dibutuhkan dan bahkan sangat diperlukan, dikarenakan[9] :

a.Diharapkan dapat mengurangi penumpukan perkara;

b.Merupakan salah satu proses penyelesaian sengketa yang dianggap lebih cepat, murah dan sederhana;

c. Dapat memberikan akses seluas mungkin kepada para pihak yang bersengketa untuk memperleh keadilan, dan

d.Memperkuat dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dan penyelesaian sengketa di samping proses menjatuhkan pemidanaan.

Mediasi penal untuk pertama kali dikenal dalam peristilahan hukum positif di Indonesia sejak keluarnya Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) meskipun sifatnya parsial. Pada intinya prinsip-prinsip mediasi penal yang dimaksud dalam Surat Kapolri ini menekankan bahwa penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR, harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.

Menurut KUHP, pencurian ringan (gepriviligeerde diefsal) diatur dalam Pasal 364 KUHP yang menjelaskan bahwa

“Perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan 363 butir 4, begitupun perbuatan-perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah tempat kediaman, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari Rp 250,-, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama 3 bulan atau denda paling banyak Rp 900”

Berdasarkan Pasal 364 KUHP di atas, jadi ada 3 kemungkinan saja yang dapat dikatakan sebagai pencurian ringan, yakni apabila:[10]

1.Pencurian biasa sebagaimana diatur pasal 362, ditambah adanya unsur yang meringankan yakni apabila benda yag dicuri tidak lebih dari Rp 250,-

2.Dua orang atau lebih melakukan pencurian dengan bersekongkol ditambah unsur nilai objeknya tidak melebihi dari Rp 250,-

3.Pencurian itu dilakukan dengan cara masuk ke suatu tempat (tempat kejadian perkara) dengan cara: membongkar, merusak, memanjat, memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu, ditambah nilainya benda yang dicuri tidak lebih dari Rp 250,

Sedangkan kategori Tindak Pidana yang dapat Diselesaikan dengan Mediasi Penal yaitu sebagai berikut :[11]

1) Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori delik aduan, baik aduan yang bersifat absolut maupun aduan yang bersifat relatif.

2)Pelanggaran hukum pidana tersebut memiliki pidana denda sebagai ancaman pidana dan pelanggar telah membayar denda tersebut (Pasal 80 KUHP).

3) Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori “pelanggaran”, bukan “kejahatan”, yang hanya diancam dengan pidana denda.

4)Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk tindak pidana di bidang hukum administrasi yang menempatkan sanksi pidana sebagai ultimum remedium.

5)Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori ringan/serba ringan dan aparat penegak hukum menggunakan wewenangnya untuk melakukan diskresi.

6) Pelanggaran hukum pidana biasa yang dihentikan atau tidak diproses ke pengadilan (deponir) oleh Jaksa Agung sesuai dengan wewenang hukum yang dimilikinya.

7) Pelanggaran hukum pidana tersebut termasuk kategori pelanggaran hukum pidana adat yang diselesaikan melalui lembaga adat.

Dalam perkembangannya, penyelesaian perkara di luar pengadilan maka tidak semua perkara pidana dapat dilakukan melalui dimensi mediasi penal. T. Gayus Lumbun menyebutkan bahwa kasus hukum yang memiliki preferensi untuk diselesaikan melalui ADR adalah sebagai berikut:[12]

1) Kasus-kasus yang pelaku (atau tersangka pelaku) tidak melibatkan negara. Atau, dapat pula diprioritaskan untuk tindak pidana yang termasuk kategori delik aduan. Di samping itu ADR juga dapat diperluas mencakup tindak pidana yang korbannya adalah masyarakat atau warga negara sehingga mereka sendiri yang mengungkapkan tingkat kerugian yang dialaminya.

2)Tindak pidana yang walaupun melibatkan negara (sebagai tersangka pelaku), tetapi memerlukan penyelesaian mengingat berdampak langsung kepada masyarakat. Misalnya, untuk tindak pidana di bidang ekonomi dimana negara mengharapkan adanya pengembalian dana negara dalam kasus-kasus korupsi.

B. Landasan Yuridis Mediasi Penal dalam Sistem Peradilan Pidana

Secara yuridis dalam sistem penegakan hukum pidana di Indonesia, sebenarnya para penegak hukum telah diberikan wewenang tertentu oleh Undang-Undang untuk mengesampingkan perkara pidana atau menyelesaikan perkara pidana tanpa meneruskannya ke pengadilan. Seperti halnya Kepolisian, sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Kepolisian No. 2 Tahun 2002 telah memberikan hak kepada Polisi (penyidik) untuk melakukan diskresi (discretion), yakni hak untuk tidak memproses hukum terhadap tindak pidana sepanjang demi kepentingan umum maupun moral, karena diskresi pada hakikatnya berada diantara hukum dan moral.

Dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri menyebutkan bahwa :

1) Untuk kepentingan umum pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Adapun yang dimaksud dengan “bertindak menurut penilaiannya sendiri” tidak lain adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dalam bertindak harus mempertimbangkan manfaat serta resiko dari tindakannya dan betul-betul untuk kepentingan umum.27 Kepolisian dalam menanggapi upaya pembaharuan hukum pidana, menerbitkan pengaturan dalam lingkup Kepolisian yang bersifat parsial yaitu Peraturan Kapolri No. 7 Tahun 2008 sebagai awal mula adanya konsep penyelesaian perkara di luar pengadilan. Perkapolri ini menerapkan bentuk pemolisian masyarakat yang merupakan upaya Polri dalam mensinergikan komunikasi, partisipasi, otonomisasi, dan proaktif Polri dengan warga masyarakat melalui adanya kemitraan demi terciptanya keamanan, ketertiban, dan ketenteraman dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam Perkapolri ini tidak menyebutkan secara eksplisit mengenai mediasi penal, namun terdapat penyebutan mengenai ADR, dimana pada Pasal 14 huruf F disebutkan “penerapan konsep alternative dispute resolution yaitu pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau non litigasi misalnya melalui upaya perdamaian”.

Kemudian diterbitkan Surat KAPOLRI Nomor Polisi: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) sebagai bentuk tindak lanjut ADR dalam Pasal 14 huruf F Perkapolri sebelumnya. Surat Kapolri ini lebih lanjut memerintahkan petugas Kepolisian untuk mengupayakan ADR terhadap perkara yang merupakan tindak pidana ringan. Terdapat beberapa poin penting terhadap upaya penerapan ADR yang tertuang dalam Surat Kapolri ini, diantaranya:[13]

a)Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR.

b)Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional.

c) Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan RT RW setempat.

d) Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma hukum sosial/adat serta memenuhi asas keadilan.

e)Memberdayakan anggota Pemolisian/Perpolisian Masyarakat (Polmas) dan memerankan Forum Kemitraan Polisi dan Masyarakat (FKPM) yang ada di wilayah masing-masing untuk mampu mengidentifikasi kasus-kasus pidana yang mempunyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep ADR.

Pada akhirnya, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Jenderal Polisi Tito Karnavian mengeluarkan Surat Edaran No.SE/8/VII/2018 tanggal 27 Juli 2018 tentang Penerapan Keadilan Restoratif (restoratif justice) dalam Penyelesaian Perkara Pidana. Dalam surat edaran tersebut mengatur bagaimana caranya menerapkan konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana di tingkat penyidikan atau penyelidikan di kepolisian. Surat Edaran No.SE/8/VII/2018 diatur bagaimana polisi dalam hal ini penyidik menerapkan konsep restorative justice dalam penanganan perkara pidana, tentunya dengan ketentuanketentuan yang jelas agar ada keseragaman bagi penyidik dalam menerapkan konsep restorative justice, dasar hukum adanya Surat Edaran No.SE/8/VII/2018

Apabila dikaitkan dengan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 di atas, dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 dan Pasal 7 ayat (1) huruf j Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyatakan bahwa polisi selaku penyelidik maupun penyidik mempunyai wewenang untuk mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Yang dimaksud ”tindakan lain” dalam penjelasan kedua pasal ini merupakan tindakan dari kepolisian (penyelidik/penyidik) untuk kepentingan penyelidikan/penyidikan dengan syarat:

a) Tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum,

b) Selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya tindakan jabatan,

c) Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya,

d) Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa,

e) Menghormati hak asasi manusia.

Ketentuan-ketentuan diatas yang dijadikan dasar polisi menerapkan konsep restorative justice, tentunya selain aturan yang jelas, polisi juga dalam menerapkan konsep restorative justice, harus mematuhi pedoman yang ditentukan dalam Surat Edaran No.SE/8/VII/2018. Surat Edaran Kapolri tentang restorative justice inilah yang selanjutnya dijadikan landasan hukum dan pedoman bagi penyelidik dan penyidik Polri yang melaksanakan penyelidikan/penyidikan, termasuk sebagai jaminan perlindungan hukum serta pengawasan pengendalian, dalam penerapan prinsip keadilan restoratif (restorative justice) dalam konsep penyelidikan dan penyidikan tindak pidana demi mewujudkan kepentingan umum dan rasa keadilan masyarakat, sehingga dapat mewujudkan keseragaman pemahaman dan penerapan keadilan restoratif (restorative justice) di Lingkungan Polri serta mempunyai kekuatan hukum yang mengikat secara internal dalam lingkup kewenangan administratif kepolisian dan secara tidak langsung juga mengikat secara eksternal kepada masyarakat.

Bentuk peraturan keadilan restoratif yang ada dalam Surat Edaran Kapolri ini kemudian di adopsi dalam Peraturan Kapolri Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana. Dalam perkap ini, beberapa kasus tindak pidana tidak harus sampai proses persidangan. Tetapi bisa dilakukan penyelesaian dengan cara restoratif keadilan. Artinya, penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Perkap ini sebagai petunjuk pelaksanaan mengenai penyidikan. Sehingga Penyidik dapat melaksanakan tugas, fungsi, dan wewenang secara profesional. Rangkaian peraturan tersebut memang tidak secara harfiah menyebutkan mediasi penal, namun konsep yang tertuang dalam masing-masing peraturan esensinya mengacu kepada konteks mediasi penal.



[1] Jonlar Purba, Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Bermotif Ringan Dengan Restorative Justice (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2012) hal. 1

[2] Marselino Rendy, Pembelaan Terpaksa yang Mengalami Batas (Noodweer Exces) Pada Pasal 49 Ayat 2 (Jurnal Jurist-Diction, Volume 3 Nomor 2, Maret, 2020) hal. 633

[3] Muladi dan Arief, Barda Nawawi. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung: Alumni, hlm 46

[4] Dwi Hananta, Menggapai Tujuan Pemidanaan dalam Perkara Pencurian Ringan (Bandung: Mandar Maju, 2017) hal.2

[5] Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional (Jakarta: Kencana, 2009) hal.2

[6] Takdir Rahmadi, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2010) hal.12

[7] James Hasudungan Hutajulu, Mediasi Penal Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Pencurian Ringan, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, hlm  6

[8] Ibid, hlm 7

[9] DS. Dewi dan Fatahillah A. Syukur, Mediasi Penal: Penerapan Restorative Justice Di Pengadilan Anak Indonesia, Indie Publishing, Jakarta, 2011, hlm. 80.

[10] Adami Chazawi, Kejahatan Terhadap Harta Benda, IKIP Malang, Malang, 1995, hlm. 29.

[11] Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Bandung: PT. Alumni, 2015) hal.34

[12] Ibid, hal.133

[13] Lilik Mulyadi, Mediasi Penal Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia: Pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik (Yustisia, Volume 2 Nomor 1 Januari – April 2013) hal.13

Posting Komentar

Posting Komentar