- -->
Dunia hukum mengenal beberapa mazhab atau aliran diantaranya mazhab Hukum Alam, Historische Rechtsschulec, Sociological Jurisprudence, The Realistic Jurisprudence atau Realisme Hukum, Critical Legal Studies Movement, serta positivisme hukum. Penalaran positivisme hukum berasal dari aliran positivisme. Seorang tokoh hukum terkenal, Jeremy Bentham mengatakan bahwa hukum bukanlah refleksi moral dan etika sehingga hanya dipaksakan berdasarkan kesadaran etis manusia, akan tetapi hukum adalah perintah dari penguasa yang berdaulat.
Jeremy
Bentham menilai hukum sebagai kumpulan perintah tentang larangan yang dibuat oleh
pejabat berwenang di dalam suatu negara. Peraturan yang tidak dibuat oleh
penguasa, maka tidak bisa dikatakan sebagai hukum, melainkan sebatas kebiasaan.
Positivisme hukum juga mengandung pengertian bahwa hukum pada hakikatnya adalah
norma-norma positif dimi dalam sistem perundang-undangan.
Keberadaan positivisme hukum menunjukan fakta
bahwa hukum dibuat dan dihapuskan oleh tindakan-tindakan manusia, jadi terlepas
dari moralitas dan sistem-sistem norma itu sendiri. Dengan kata lain dapat
dikatakan bahwa hukum berdiri sendiri dan secara tegas terpisah dari moral.
Pada konteks ini, tidak ada hukum lain selain perintah penguasa. Dasar
positivisme hukum dapat dirumuskan ke dalam sejumlah premis dan postulat
mengenai hukum, yaitu:
1. Tata hukum suatu negara
berlaku bukan karena mempunyai dasar dalam kehidupan sosial, maupun dalam jiwa
bangsa, dan juga bukan berdasarkan hukum alam, namun mendapat bentuk positifnya
dari instansi yang berwenang;
2. Hukum harus dipandang
semata-mata dari bentuk formalnya, dengan demikian harus dipisahkan dari bentuk
materialnya; Isi hukum atau materi hukum diakui ada, tetapi bukan menjadi bahan
ilmu hukum, karena hal tersebut dapat merusak kebenaran ilmiah ilmu hukum.
Berdasarkan pandangan yang telah diuraikan di atas mengenai mazhab positivisme maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mazhab ini memiliki corak liberal yang berusaha untuk memfungsikan hukum sebagai suatu sistem dengan membuat modifikasi untuk sampai pada positivisme norma.
Hukum kemudian dikonstruksi dan dikelola sebagai institusi obyektif dan netral dari intervensi sosial, politik, serta moral. Norma-norma dasar moral dalam hal ini termasuk keadilan dianggap telah dipenuhi dengan dibuatnya hukum positif ataupun keadilan yang akan ditegakkan oleh hukum dianggap telah mencerminakan keadilan.
Keluar dari konsep hukum alam dalam melihat keadilan,
maka mazhab positivisme membuat keadilan dibatasi oleh ruang dan waktu, tidak
berlaku umum dan kekal. Keadilan hanya didasarkan paham liberalisme atau
keadilan yang telah dipositifkan di dalam hukum positif.
Ketika perkembangan paham positivisme ini mulai mendominasi pola permasalahan dan penegakan hukum yang ada di Indonesia, maka positivisasi hukum kemudian selalu memperoleh prioritas utama dalam setiap upaya pembangunan hukum.
Positivisasi hukum dapat diartikan sebagai sebuah proses nasionalisasi dan statisme hukum yang berfungsi untuk menyempurnakan kemampuan negara dalam hal ini pemerintah untuk memonopoli kontrak sosial yang formal melalui pemberlakuan hukum positif.
Thomas Hobbes memberikan
definisi mengenai kontrak sosial sebagai suatu kesepakatan manusia untuk
memusatkan kekuasaan pada tangan seseorang atau suatu majelis yang mempunyai
hak kepemimpinan, jadi individu yang merupakan bagian dari masyarakat
menyatakan setuju baik secara terang, ataupun diam-diam untuk menyerahkan
sebagian dari kebebasan mereka untuk tunduk kepada otoritas penguasa sebagai
bentuk timbal balik terjaminnya perlindungan hak-hak dan pemeliharaan tatanan
sosial.
Jika dikaitkan didalam konteks penegakan dalam permasalahan hukum khususnya di Indonesia, dikatakan oleh Abdul Hakim Garuda Nusantara dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum Indonesia bahwa salah satu implikasi dari penggunaan paradigma positivisme adalah terjadinya suatu krisis, bahwa krisis yang dimaksud adalah statisnya pola penegakan hukum.
Penegakan hukum di Indonesia menggunakan prinsip-prinsip eropa kontinental yang
tradisi ini termasuk kedalam tipe pembangunan hukum yang ortodoks karena dalam
menentukan arah hukum dalam suatu masyarakat, lembaga-lembaga negara memiliki
peranan yang sangat dominan. Maka dengan pola hukum seperti ini ideologi dan
program negara terlaksana.
Secara implisit pola penegakan hukum dengan menggunakan aliran positivisme hukum ini mereduksi ilmu pengetahuan yang terdapat di dalam ilmu-ilmu pasti. Pemeriksaan pengetahuan lainnya seperti refleksi kritis pengetahuan humanis disingkirkan. Konsep hukum yang didoktrinkan oleh positivisme hukum menampilkan hukum yang objektif, dimana penjelasannya disampaikan melalui tulisan-tulisan peraturan sebagai objek yang independen.
Hukum menjadi closed logical system, yang itu berarti peraturan dapat dideduksikan dari undang-undang yang berlaku tanpa mempertimbangkan norma sosial, politik, dan moral. Jika bertolak kepada kasus yang menimpa Baiq Nuril, dikatakan oleh Aditya Yuli dalam jurnalnya yang mengkaji kasus ini,
jika dibahas secara normatif, hakim pada tingkat kasasi dengan berdasarkan fakta-fakta empiris yang dibuktikan di pengadilan, unsur-unsur yang didakwakan kepada Baiq Nuril telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 27 ayat (1) UU Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu unsur setiap orang, unsur dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, serta unsur membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.
Dalam kasus ini walaupun Baiq Nuril tidak secara langsung menyebarkan sendiri konten rekaman yang bermuatan kesusilaan tersebut, namun tindakannya dengan menunjukkan rekaman tersebut kepada rekannya yang bernama Imam Mudawin, merupakan tindakan yang “dapat membuat dapat diaksesnya dokumen elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan”.
Hakim dalam hal ini hanya memeriksa kasus hukum sebatas apa yang didakwakan
oleh Jaksa Penuntut Umum, dan tidak melebihi itu. Terdapat sebuah indikasi
bahwa hakim dalam memeriksa perkara tersebut merupakan penganut aliran
positivisme hukum.
Maka dalam upaya untuk menemukan hakikat hukum atau kebenaran hukum hanya dilakukan secara tekstual. Hakim hanya menjadi corong dari UndangUndang yang hanya memikirkan kebenaran dicari hanya berdasarkan kebenaran terhadap realitas hukum.
Pola penegakan hukum seperti ini di Indonesia tidak dianggap sebagai sebuah kesalahan dan sah-sah saja dilakukan karena keadilan telah tercapai dalam konteks hukum itu ditegakkan sebagaimana apa yang didalilkan di dalam undang-undang dan sesuai dengan prosedur formal beracara.
Penggunaan pola pikir positivisme ketika seorang hakim memutuskan perkara pidana dimana hal ini berarti ia telah membebaskan diri dari sistem nilai yang diantaranya terdapat moral, etik, dan agama sesungguhnya kontradiksi dengan komitmen yang telah dibangun hukum sendiri utamanya terkait dengan penegakan hukum positif yang ada di Indonesia.
Seperti yang tertera didalam kepala putusan dalam suatu perkara yang menyebutkan ”Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang maha Esa” yang merupakan asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yaitu apa yang termuat dalam ketentuan Pasal 2 Ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009.
Harus dipahami bahwa hukum di Indonesia mengemban nilai yang di sisi lain, disamping warna positivisme hukumnya, melalui kepala putusan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, menunjukkan betapa eksistensi Tuhan secara sadar diakui oleh setiap warga Negara, maka demi hukum keadilan didasari akan eksistensi Tuhan. Yahya Harahap menegaskan bahwa dalam suatu penegakan hukum tidak boleh putusan tersebut tidak terdapat rida Tuhan didalamnya.
Dengan adanya rida Tuhan, artinya dalam upaya menegakkan hukum
dapat tergambarkan adanya sebuah upaya menegakkan hukum yang mengacu pada
kebenaran yang berasal dari kehendak dan restu dari Tuhan Yang Maha Esa,
sehingga penegakan hukum tidak semata-mata perintah dan keinginan dari para
penguasa melainkan betul-betul sebagai manifestasi keinginan untuk mencapai
keadilan yang diinginkan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa.
Memaknai penalaran psitivisme yang digunakan oleh hakim ketika memutuskan sebuah perkara, maka dalam penerapannya akan sangat dimungkinkan substansi keadilan di dalam masyarakat tidak dapat diwujudkan. Perilaku etik hakim dalam menangani suatu perkara di pengadilan, tidak terlepas dari dan dipengaruhi oleh sistem nilai yang dianut.
Sistem nilai yang bersemayam di alam kejiwaan atau mentalitas hakim sangat menentukan perilaku etik hakim dalam menangani perkara. Hakim akan memilih nilai-nilai yang dipentingkan dan yang diutamakan terhadap suatu perkara yang dihadapkan kepadanya.
Dalam praktik, terdapat tiga tipe orientasi nilai hakim dalam
menangani perkara dengan cirinya masing-masing, yaitu hakim materialis, yaitu
hakim yang sangat berorientasi pada materi, hakim pragmatis yaitu hakim yang
mengikuti situasi yang menguntungkan, dan hakim idealis, yaitu hakim yang
berorientasi pada tujuan ideal hukum Penggunaan pola pikir positivisme dalam
berhukum secara masif secara tidak sadar telah menepikan dua sumber hukum lain
di Indonesia yang pada dasarnya digunakan pula sebagai pedoman dalam menggali
nilai-nilai termasuk nilai keadilan didalamnya.
Di dalam sistem hukum di Indonesia dikatakan bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat, namun pada pelaksanaannya sangat terbatas digunakan hanya untuk perkara yang memang hukumnya tidak ditemukan di dalam undang-undang.
Selama ini yang terjadi di
dalam proses penegakan hukum di Indonesia adalah bahwa penerapan hukum dengan
mendasarkan kepada aliran positivisme, keadilan hanya sampai pada ketika
putusan telah diputuskan sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh undang-undang.
Inilah yang kemudian menjadi titik kelemahan substansial dari penggunaan
paradigma positivisme yang tidak selalu dapat menyelesaikan persoalan yang
terjadi di masyarakat.
Aliran filsafat positivisme adalah aliran atau pemikiran yang mendasar pada kenyataan (realitas, fakta) dan bukti, tidak bersifat metafisik dan tidak menjelaskan esensi, gejala alam diterangkan berbasis hubungan sebab akibat dan dari itu kemudian didapatkan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak tergantung ruang dan waktu, menempatkan fenomena sebagai obyek yang dapat digeneralisasikan untuk diramalkan (diprediksi), meyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat direduksi menjadi unsur-unsur yang saling terkait membentuk sistem yang dapat diamati.
Prinsip dasar aliran positivisme hukum yakni hukum adalah perintah terhadap manusia, harus dipisahkan dengan studi sosiologis, historis dan evaluasi kritis, keputusan-keputusan dapat dideduksi secara logis dari peraturan-peraturan yang sudah ada lebih dahulu, tanpa menunjuk pada tujuan sosial, kebijakan serta moralitas, tidak ada hubungan antara hukum dan moral, karena moral adalah metayuridis.
Kritik aliran positivisme hukum dilakukan oleh aliran hukum bebas, aliran hukum kritis, studi kritis hukum modern, hukum progresif, yang kesemuanya itu dapat disimpulkan bahwa hukum tidak hanya tertulis dalam undang-undang, melainkan apa yang dipraktekkan oleh para pejabat penyelenggara hukum yang melaksanakan fungsi pelaksanaan hukum.
Selain itu hukum dapat
dipahami dari aturan dan pelaksanaannya yang disesuaikan dengan kebutuhan
masyarakat, yang tidak lepas dari pengaruh ajaran moral, budaya, ekonomi,
politik dan ilmu sosial. Saran yang layak disampaikan adalah hendaknya para
penegak hukum melihat hukum sebagai alat pencapaian tujuan sosial sehingga
mampu menangkap nilai keadilan di masyarakat. Semua itu dapat diwujudkan dengan
menggabungkan antara keadilan realitas empiris dengan nilai ideal normatif.
1 komentar