- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Panduan Menjadi Advokat di Indonesia - karya Hukum

Halo Sobat Karya Hukum Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Sobat Justitia selalu sehat di manapun berada. Hari ini, saya akan meny…

Tujuan Pemidanaan Dalam Pandangan Penitensier & Penologi-karyahukum

 


Pemidanaan merupakan bagian penting dalam penegakan hukum pidana, karena merupakan puncak dari seluruh proses pertanggungjawaban oleh seseorang yang bersalah telah melakukan tindak pidana.[1]  Tanpa adanya pemidanaan atau penjatuhan hukuman, secara tidak langsung menyatakan bahwa seseorang yang bersalah tanpa menerima akibat dari perbuatannya. Kesalahan dipahami sebagai suatu yang “dapat dicela”, maka pemidanaan adalah perwujudan dari “celaan” yang dimaksud.[2] Pemidanaan merupakan dasar pembenaran (justification) seseorang dijatuhi hukuman. Ada berbagai macam alasan yang memberikan dasar pembenaran penjatuhan pidana, seperti untuk memenuhi rasa keadilan bagi korban, untuk menghentikan pelaku melakukan tindak pidana kembali, untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang sama, melindungi masyarakat dari akibat yang ditimbulkan kejahatan, serta agar masyarakat sadar bahwa hukum harus dipatuhi.

Pemidanaan merupakan suatu proses dinamis yang meliputi penilaian secara terus menerus dan seksama terhadap sasaran yang hendak dicapai dan konsekwensi-konsekwensi yang dapat dipilih dari keputusan tertentu terhadap hal-hal tertentu pada suatu saat. Oleh karena itu, sangatlah penting suatu tujuan pemidanaan sebagai pedoman dalam pemberian dan penjatuhan pidana.[3]

  • Pembahasan

Pemidanaan diartikan sebagai penghukuman dan merupakan suatu tahapan dalam sistem peradilan pidana untuk menetapkan serta memberikan sanksi pidana terhadap  pelaku tindak pidana. Tujuan dari pemidanaan adalah untuk memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana serta sebagai suatu upaya pencegahan agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana. Menurut Barda Nawai Arief, sistem pemidanaan atau Stelsel meliputi tiga hal, yaitu penentuan jenis pidana (Strafsoort), lamanya sanksi pidana (strafmaat), dan aturan pelaksanaan atau pengenaan pidana (strafmodus).[4]

Pada hakekatnya konsepsi teoriteori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok teori, yaitu :

1.      Teori Absolut / Teori Pembalasan

Menurut teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (Quai Peccatum est). Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Hegel berpendapat bahwa pidana merupakan keharusan logis sebagai suatu konsekwensi dari adanya kejahatan.[5]

Menurut Nigel Walker, para penganut teori retributive ini dapat pula dibagi dalam beberapa golongan, yaitu :[6]

1) Penganut retributive yang murni (the pure retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus sepadan dengan kesalahan pelaku

2)   Penganut retributive tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat
dibagi dalam :

a) Penganut retributive yang terbatas (the limiting retributivist), bahwa pidana harus dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang sepadan dengan kesalahan terdakwa.

b) Penganut teori retributive yang distributive (retribution in distribution), bahwa pidana tidak bisa dikenakan kepada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada pidana tanpa kesalahan dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “stric liability”

2.      Teori Relatif / Teori Tujuan

Tujuan pemidanaan adalah untuk mempertahankan ketertiban masyarakat, melindungi kepentingan pribadi maupun publik serta mempertahankan tata tertib hukum dan norma sosial dalam masyarakat. Pada dasarnya pidana sebagai alat untuk menegakkan ketertiban terhadap hukum yang ada dalam masyarakat. [7] Para penganut teori ini memandang bahwa pidana sebagai suatu yang dapat dipergunakan untuk mencapai suatu kemanfaatan dan bukan untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pidana bukanlah untuk sekedar melakukan pembalasan dan pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai tujuan tertentu yang bermanfaat sehingga dasar pembenaran dari teori ini adalah terletak pada tujuannya.

Perbedaan ciri-ciri pokok atau karateristik antara teori pembalasan dan teori tujuan dilakukan secara terperinci oleh Karl O. Christiansen sebagai berikut:[8]

1)      Teori Pembalasan

a.  Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan,

b. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya untuk kesejahteraan masyarakat,

c.  Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana,

d.  Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar,

e.  Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni
dan tujuannya tidak untuk memper baiki, mendidik dan mensyaratkan kembali si pelanggar.

2)      Teori Tujuan

a.    Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention),

b.  Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat,

c. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana,

d.  Pidana harus di tetapkan berdasar kan tujuan sebagai alat untuk mencegah kejahatan;

Selain ketiga teori utama mengenai tujuan pemidanaan tersebut, beberapa teori mengenai tujuan pemidanaan yang kemudian berkembang dari teori utama tersebut diantaranya:

a)      Teori Gabungan / Verenigings Theories

Penulis pertama yang mengajukan teori gabungan adalah Pellegrino Rossi (1987-1848). Ia beranggapan bahwa pembalasan sebagai asas dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu batas yang adil. Namun ia berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan yang rusak dalam masyarakat dan prevensi umum.

b)      Teori Perlindungan Sosial (Social Defence)

Untuk melindungi masyarakat, penjahat harus dijauhkan dari masyarakat yang taat terhadap hukum, sehingga kejahatan akan menurun. Tujuan utama teori ini adalah  mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial, bukan terhadap pemidanaan dan perbuatannya.[9]

c)      Teori perbaikan penjahat (Criminal rehabilitation)

Dalam teori ini, pidana diberikan agar dapat mengubah pandangan serta sikap pelaku tindak pidana agar tidak melakukan kejahatan lagi di masa mendatang. Pemidanaan ini dapat dicapai dengan cara memberikan pendidikan serta pelatihan untuk mengembangkan keterampilan tertentu bagi pelaku kejahatan. Tujuan pemidanaan dari teori ini adalah untuk merubah tingkah laku dan kepribadian dari si pelaku agar lebih mematuhi norma yang berlaku.[10]

d)      Tujuan Pemulihan Keadilan (Restorative Justice)

Restorative justice dikembangkan sebagai cara yang menjadikan korban sebagai pusat peradilan pidana tanpa pemberian sanksi pidana (punitive) maupun tindakan represif kepada para pelaku. Teori restorative justice didasarkan dari ide reintegrative shaming (penyatuan kembali dengan rasa malu). Kejahatan akan berkurang jika masyarakat distrukturkan sehingga orang merasa malu dengan perilaku buruknya, dan bagi orang yang melakukan sesuatu yang karenanya dipermalukan, pelaku tidak secara permanen dikeluarkan dari masyaraka

  • Kesimpulan

Hukum pidana dan sistem pemidanaan merupakan bentuk implementasi aturan – aturan dan nilai-nilai serta batasan-batasan moral yang ditentukan di dalamnya dan menjaganya melalui pemidanaan. Tujuan pemidanaan merupakan spirit bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Pidana dijatuhkan harus sesuai dengan tujuannya yang tidak semata-mata bertujuan pembalasan, akan tetapi juga bertujuan mencegah kejahatan, perlindungan masyarakat, dan pemulihan keadilan bagi pelaku, korban, dan masyarakat.



[1] Haryanto Dwiatmojo, Penjatuhan Pidana Bersyarat Dalam Kasus Pencurian Kakao (Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT, Jurnal Yudisial Vol. 5 No. 1, 2012. Hal  99-116.

[2] Ibid.

[3] Sri Wulandari, Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Tujuan Pemidanaan, Jurnal Hukum Dan Dinamika Masyarakat, Vo. 9, No. 2, 2012, Hal 131-142.

[4] Reza Noor Ihsan, Ifrani, Sanksi Pidana Minimum Khusus Dalam Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari Sudut Pandang Keadilan, Al Adl, Vol.IX No.3, Banjarmasin, 2017, hlm.458 – 481.

[5] Sri Wulandari, Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Tujuan Pemidanaan, Jurnal Hukum Dan Dinamika Masyarakat, Vo. 9, No. 2, 2012, Hal 131-142.

[6] Ibid.

[7] Joko Sriwidodo, Kajian Hukum Pidana Indonesia (Teori dan Praktek), Cet.1, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2019, hlm 92.

[8] Sri Wulandari, Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Tujuan Pemidanaan, Jurnal Hukum Dan Dinamika Masyarakat, Vo. 9, No. 2, 2012, Hal 131-142.

[9] Ibid, hlm 89 – 90.

[10] Ibid, hlm 88 – 89.

1 komentar

1 komentar

  • Anonim
    Anonim
    9 Juni 2023 pukul 08.40
    Keren mas
    Reply