- -->
Pemidanaan
merupakan bagian penting dalam penegakan hukum pidana, karena merupakan puncak
dari seluruh proses pertanggungjawaban oleh seseorang yang bersalah telah
melakukan tindak pidana.[1]
Tanpa adanya pemidanaan atau penjatuhan hukuman, secara tidak langsung
menyatakan bahwa seseorang yang bersalah tanpa menerima akibat dari perbuatannya.
Kesalahan dipahami sebagai suatu yang “dapat dicela”, maka pemidanaan adalah
perwujudan dari “celaan” yang dimaksud.[2] Pemidanaan merupakan dasar pembenaran (justification) seseorang dijatuhi hukuman. Ada berbagai
macam alasan yang memberikan dasar pembenaran penjatuhan pidana, seperti untuk
memenuhi rasa keadilan bagi korban, untuk menghentikan pelaku melakukan tindak
pidana kembali, untuk mencegah orang lain agar tidak melakukan perbuatan yang
sama, melindungi masyarakat dari akibat yang ditimbulkan kejahatan, serta agar masyarakat
sadar bahwa hukum harus dipatuhi.
Pemidanaan merupakan suatu proses dinamis yang meliputi penilaian secara terus menerus dan seksama terhadap sasaran yang hendak dicapai dan konsekwensi-konsekwensi yang dapat dipilih dari keputusan tertentu terhadap hal-hal tertentu pada suatu saat. Oleh karena itu, sangatlah penting suatu tujuan pemidanaan sebagai pedoman dalam pemberian dan penjatuhan pidana.[3]
Pemidanaan diartikan sebagai
penghukuman dan merupakan suatu tahapan dalam sistem peradilan pidana untuk
menetapkan serta memberikan sanksi pidana terhadap pelaku tindak pidana. Tujuan dari pemidanaan
adalah untuk memberikan efek jera bagi pelaku tindak pidana serta sebagai suatu
upaya pencegahan agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana. Menurut Barda
Nawai Arief, sistem pemidanaan atau Stelsel
meliputi tiga hal, yaitu penentuan jenis pidana (Strafsoort), lamanya sanksi pidana (strafmaat), dan aturan pelaksanaan atau pengenaan pidana (strafmodus).[4]
Pada
hakekatnya konsepsi teoriteori pemidanaan pada umumnya dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok teori, yaitu
:
1. Teori
Absolut / Teori Pembalasan
Menurut
teori ini pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (Quai Peccatum est). Pidana sebagai akibat mutlak yang harus ada sebagai suatu pembalasan kepada orang yang telah melakukan kejahatan. Hegel berpendapat
bahwa pidana merupakan keharusan
logis sebagai suatu konsekwensi dari
adanya kejahatan.[5]
Menurut
Nigel Walker, para penganut
teori retributive ini dapat pula dibagi dalam beberapa golongan, yaitu :[6]
1) Penganut retributive yang murni (the pure retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus sepadan dengan kesalahan
pelaku
2) Penganut retributive tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat
dibagi dalam :
a) Penganut retributive yang terbatas
(the limiting
retributivist), bahwa
pidana harus dengan kesalahan, hanya saja tidak boleh melebihi batas yang sepadan
dengan kesalahan terdakwa.
b) Penganut teori retributive yang distributive (retribution in distribution), bahwa pidana tidak bisa dikenakan kepada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip tiada pidana tanpa kesalahan dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “stric liability”
2. Teori
Relatif / Teori Tujuan
Tujuan pemidanaan adalah untuk mempertahankan
ketertiban masyarakat, melindungi kepentingan pribadi maupun publik serta
mempertahankan tata tertib hukum dan norma sosial dalam masyarakat. Pada
dasarnya pidana sebagai alat untuk menegakkan ketertiban terhadap hukum yang
ada dalam masyarakat. [7]
Para
penganut teori ini memandang bahwa pidana sebagai suatu yang dapat dipergunakan untuk mencapai suatu kemanfaatan dan bukan untuk memuaskan tuntutan absolut dari keadilan. Pidana bukanlah untuk sekedar melakukan pembalasan dan pengimbalan kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan tertentu yang bermanfaat sehingga
dasar pembenaran dari teori ini adalah
terletak pada tujuannya.
Perbedaan
ciri-ciri pokok atau karateristik
antara teori pembalasan dan teori
tujuan dilakukan secara terperinci oleh Karl O. Christiansen sebagai berikut:[8]
1)
Teori
Pembalasan
a. Tujuan
pidana adalah semata-mata untuk pembalasan,
b. Pembalasan
adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain, misalnya
untuk kesejahteraan masyarakat,
c. Kesalahan
merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana,
d. Pidana
harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar,
e. Pidana melihat ke belakang, ia merupakan pencelaan yang murni
dan tujuannya tidak untuk
memper baiki, mendidik dan mensyaratkan kembali si pelanggar.
2)
Teori
Tujuan
a. Tujuan
pidana adalah pencegahan (prevention),
b. Pencegahan
bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk
mencapai tujuan yang lebih
tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat,
c. Hanya
pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si pelaku saja (misalnya karena
sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana,
d. Pidana
harus di tetapkan berdasar
kan tujuan sebagai alat untuk mencegah kejahatan;
Selain
ketiga teori utama mengenai tujuan pemidanaan tersebut, beberapa teori mengenai
tujuan pemidanaan yang kemudian berkembang dari teori utama tersebut
diantaranya:
a)
Teori
Gabungan / Verenigings Theories
Penulis
pertama yang mengajukan teori
gabungan adalah Pellegrino Rossi (1987-1848). Ia beranggapan bahwa
pembalasan sebagai asas
dari pidana dan beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu batas yang adil.
Namun ia berpendirian bahwa pidana mempunyai pelbagai pengaruh antara lain perbaikan yang rusak dalam masyarakat dan prevensi umum.
b) Teori
Perlindungan Sosial (Social Defence)
Untuk melindungi masyarakat, penjahat
harus dijauhkan dari masyarakat yang taat terhadap hukum, sehingga kejahatan
akan menurun. Tujuan utama teori ini adalah
mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial, bukan terhadap
pemidanaan dan perbuatannya.[9]
c) Teori
perbaikan penjahat (Criminal
rehabilitation)
Dalam teori ini, pidana diberikan agar dapat mengubah pandangan serta sikap pelaku tindak pidana agar tidak melakukan kejahatan lagi di masa mendatang. Pemidanaan ini dapat dicapai dengan cara memberikan pendidikan serta pelatihan untuk mengembangkan keterampilan tertentu bagi pelaku kejahatan. Tujuan pemidanaan dari teori ini adalah untuk merubah tingkah laku dan kepribadian dari si pelaku agar lebih mematuhi norma yang berlaku.[10]
d) Tujuan
Pemulihan Keadilan (Restorative Justice)
Restorative justice dikembangkan sebagai cara yang menjadikan korban sebagai pusat peradilan pidana tanpa pemberian sanksi pidana (punitive) maupun tindakan represif kepada para pelaku. Teori restorative justice didasarkan dari ide reintegrative shaming (penyatuan kembali dengan rasa malu). Kejahatan akan berkurang jika masyarakat distrukturkan sehingga orang merasa malu dengan perilaku buruknya, dan bagi orang yang melakukan sesuatu yang karenanya dipermalukan, pelaku tidak secara permanen dikeluarkan dari masyaraka
Hukum pidana dan sistem pemidanaan merupakan bentuk implementasi aturan – aturan dan nilai-nilai serta batasan-batasan moral yang ditentukan di dalamnya dan menjaganya melalui pemidanaan. Tujuan pemidanaan merupakan spirit bagi hakim dalam menjatuhkan pidana. Pidana dijatuhkan harus sesuai dengan tujuannya yang tidak semata-mata bertujuan pembalasan, akan tetapi juga bertujuan mencegah kejahatan, perlindungan masyarakat, dan pemulihan keadilan bagi pelaku, korban, dan masyarakat.
[1] Haryanto
Dwiatmojo, Penjatuhan Pidana Bersyarat
Dalam Kasus Pencurian Kakao (Kajian Putusan Nomor 247/Pid.B/2009/PN.PWT, Jurnal
Yudisial Vol. 5 No. 1, 2012. Hal 99-116.
[2] Ibid.
[3] Sri Wulandari, Efektifitas Sistem Pembinaan Narapidana Di
Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Tujuan Pemidanaan, Jurnal Hukum Dan
Dinamika Masyarakat, Vo. 9, No. 2, 2012, Hal 131-142.
[4] Reza
Noor Ihsan, Ifrani, Sanksi Pidana Minimum
Khusus Dalam Tindak Pidana Korupsi Ditinjau Dari Sudut Pandang Keadilan, Al
Adl, Vol.IX No.3, Banjarmasin, 2017, hlm.458 – 481.
[5] Sri
Wulandari, Efektifitas Sistem Pembinaan
Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Tujuan Pemidanaan, Jurnal
Hukum Dan Dinamika Masyarakat, Vo. 9, No. 2, 2012, Hal 131-142.
[6] Ibid.
[7] Joko
Sriwidodo, Kajian Hukum Pidana Indonesia
(Teori dan Praktek), Cet.1, Penerbit Kepel Press, Yogyakarta, 2019, hlm 92.
[8] Sri
Wulandari, Efektifitas Sistem Pembinaan
Narapidana Di Lembaga Pemasyarakatan Terhadap Tujuan Pemidanaan, Jurnal
Hukum Dan Dinamika Masyarakat, Vo. 9, No. 2, 2012, Hal 131-142.
[9] Ibid, hlm 89 – 90.
[10] Ibid, hlm 88 – 89.
1 komentar