- -->
Terdakwa dalam kasus ini adalah San smith,
S.H selaku Notaris Kota Medan yang yang didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU)
telah turut serta memasukkan keterangan palsu dalam akta otentik atau
memalsukan surat dan oleh karenanya san Smith dituntut JPU dengan hukuman 5
(lima) tahun penjara. Tuntutan JPU ini didasarkan pada pelanggaran yang
dilakukan oleh San Smith selaku Notaris yang bersekongkol dengan salah satu
pihak (pihak pembeli) dalam perjanjian jual beli untuk memasukkan suatu
keterangan palsu dalam akta otentik yang mengakibatkan kerugian pada pihak lain
(pihak penjual).
Kasus ini berawal dari Dulang Martapa yang
sepakat untuk menjual, memindahkan serta menyerahkan 17 (tujuh belas) kavling
tanah yang terletak di Komplek Bukit Hijau Regency yang terdiri dari 21 (dua
puluh satu) Sertifikat Hak Guna Bangunan serta sebidang tanah seluas 4.269,66
meter persegi berdasarkan sertifikat Hak Guna Bangunan yang terdaftar di Kantor
Pertanahan Kota Medan atas nama PT.IRA WIDYA UTAMA dengan Alwijaya. Dulang
Martapa bersama Alwijaya membuat Akta Perjanjian Pendahuluan Untuk Jual beli
Nomor 138 pada Tanggal 29 Mei 2008 di hadapan Notaris Roosmidar S.H. Isi akta
yang disepakati yaitu tentang batas tanah yang akan dijual, Uang panjar sebesar
2 Milyar yang telah diterima oleh Dulang Martapa, harga tanah, hak dan
kewajiban penjual dan pembeli serta lampiran berupa site plan yang ditandai
(distabilo) tentang batas-batas tanah yang akan dialihkan oleh Dulang Martapa
kepada Alwijaya.
Pembayaran kedua yang jatuh tempo pada
tanggal 29 Juni 2008, sebelumnya pihak Alwijaya memberitahukan kepada Dulang
Martapa akan mengalihkan transaksi tersebut Kepada PT. Mega Residence. Toni
Wijaya selaku pihak dari PT. Mega Residence menghubungi Dulang Martapa untuk
menghadap Notaris San Smith untuk menindak lanjuti Akta Perjanjian Pendahuluan
Jual Beli Nomor 138 yang dibuat dihadapan Notaris Roosmidar S.H. Dulang Martapa
datang bersama Efrin Jamal Lubis, M. Syahruzal Manurung dan Ade Kurnia Harahap
kekantor Notaris San Smith pada tanggal 27 Juni 2008. Toni Wijaya datang
bersama Cindy, Refman Basri, Hendra Gunawan dan Sujarni serta bertemu dengan
Alwijaya, Saratika Boru Perangin-angin dan Suhartika Agustina Samosir di kantor
Notaris San Smith tersebut.
Kedua Pihak membuat Akta Pengikatan Diri
untuk melakukan jual beli nomor 165 yang isinya sama dengan Akta Perjanjian
Pendahuluan Untuk Jual Beli Nomor 138 kecuali pihak pembeli, karena pihak
pembeli telah dialihkan dari Alwijaya kepada PT. Mega Residence (Pihak Toni
Wijaya). Akta berisi hal-hal yang disepakati yaitu untuk 17 (tujuh belas )
kavling tanah seluas 19.210 meter persegi dengan harga sebesar Rp. 1.562.175.-/
meter persegi dengan jumlah harga keseluruhan sebesar Rp. 29.989.073.475,-,
sedangkan harga sebidang tanah dengan luas 4.269,66 meter persegi dengan harga
Rp. 750.000,- / meter persegi dengan jumlah harga keseluruhan sebesar Rp. 3.
202.245.000,- sehingga total harga adalah sebesar Rp.33.191.318.475.
Dulang Martapa menerima salinan akta dan
ternyata setelah beberapa bulan baru disadari olehnya bahwa ada perubahan pada
gambar atau site plan tesebut. Perubahan tersebut baru disadari pada tanggal 18
November 2008, dimana pada saat penandatanganan Akta Nomor 165 gambar site plan
yang menjadi bats obyek-obyek untuk jual beli sesuai gambar pada Akta Nomor
138. Notaris San Smith dan Toni Wijaya telah bersekongkol untuk menempatkan
site plan atau gambar lokasi tanah yang tidak identik atau tidak sama dengan
yang disepakati sebelumnya dihadapan Notaris Roosnidar, S.H pada Akta
Perjanjian Pendahuluan untuk Jual Beli Nomor 138 dimana site plan sebagai suatu
kesatuan dengan akta tersebut. Notaris San Smith menerima site plan dari Henry
Trace Lawin selaku karyawan Toni Wijaya.
Dulang Martapa merasa dirugikan baik
secara materil dan immateril , dimana telah terjadi selisih luas tanah yang
dikuasai oleh Pihak Toni Wijaya seluas 276,34 meter persegi sehingga luas tanah
yang dikuasai oleh Toni Wijaya seluas 4.546 meter persegi sedangkan yang dijual
oleh Dulang Martapa seluas 4.269,66 meter persegi. Penguasaan dilakukan dengan
pihak Toni Wijaya dengan cara memagari dan membuat pagar seng di atas tanah
tersebut. Akta Pengikatan Diri Untuk Melakukan Jual Beli Nomor 165 tanggal 27 Juni
2008 selaku akta otentik yang dibuat oleh Notaris San Smith mengabaikan site
plan, Akta Perjanjian Pendahuluan Jual Beli Nomor 138 tanggal 29 Mei 2008
dimana tanda dengan stabilo warna kuning berubah yang telah menimbulkan
kerugian pada Dulang Martapa. Hal ini sesuai dengan pemeriksaan laboratorium
kriminalistik No. Lab: 3686/DTF/IX/2009 tanggal 7 September 2009, dengan
kesimpulan ketidakwajaran dokumen yaitu penambahan area yang distabilo warna
kuning. Dulang Martapa meminta pengembalian sisa tanah yang dikuasai oleh Toni
Wijaya tetapi tidak diberikan. Ia meminta Notaris San Smith untuk mengubah site
plan kepada bentuk yang aslinya tetapi tidak dikabulkan oleh San Smith. Ia
kemudian meminta BPN untuk meninjau ke lapangan untuk mengukur ulang tetapi
tidak diberikan masuk oleh pihak Toni Wijaya. Akhirnya ia melapor ke Poltabes
Medan karena merasa telah dirugikan dengan menganggap telah adanya kerja sama
antara Notaris San Smith dengan pihak Toni Wijaya untuk mengubah site plan
sehingga berberda dengan yang diuat sebelumnya di hadapan Notaris Roosmidar
S.H.
Berdasarkan laporan yang dibuat oleh Dulang Martapa ke Poltabes Medan, maka Majelis Pengawas Daerah (MPD) memanggil, memeriksa dan melakukan persidangan terhadap Notaris San Smith. MPD menemukan adanya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan Notaris dan memberi izin kepada penyidik untuk melakukan pemeriksaan. Notaris San Smith diperiksa dan diadili pada Pengadilan Negeri Medan dengan perkara register nomor 3036/Pid.B/2009/PN.Mdn tertanggal 4 Januari 2010 dan atas putusan Pengadilan Negeri Medan tersebut Notaris San Smith mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Medan Perkara Register Nomor 82/PID/2010/PT-MDN tertanggal 25 Februari 2010.
Analisis
Kasus
Akta merupakan perjanjian para pihak dan
mengikat para pihak yang melakukan perjanjian, di dalam minuta akta ditemukan
ada pihak-pihak yang tidak berkepentingan dalam akta dan ikut menandatangani
akta tersebut. Seharusnya Notaris mengerti kewajibannya dan tidak membiarkan
orang lain ikut menandatangani akta. Notaris dapat dimintakan
pertanggungjawaban pidananya apabila terbukti melakukan tindak pidana. Akibat
hukum bagi Notaris yang melanggar kewajibannya dari segi administrasi UU No. 30
Tahun 2004 adalah akta Notaris bisa dibatalkan dan dianggap tidak otentik akta
itu bisa sebagai akta di bawah tangan. Ahli Syafnil Gani, SH, M.Hum. memberikan
keterangan bahwa dalam hal Notaris diperiksa oleh MPD atau MPW dan ternyata
terdapat kesalahan jabatan Notaris, maka Notaris tersebut dikenakan sanksi administrasi
yang diatur dalam UUJN.
Apabila terjadi perbedaan pendapat antara
para pihak harus diselesaikan secara hukum perdata. Seharusnya jika dilakukan
prosedural dalam pembuatan akta maka tidak akan terjadi kesalahan dalam
pembuatan akta. Notaris yang melakukan kesalahan dalam pembuatan akta yang
diatur dalam UUJN merupakan suatu pelanggaran dan akibat hukum bagi Notaris
tersebut adalah akta tersebut menjadi akta di bawah tangan.
Dasar dalam menjatuhkan hukuman pidana
yang memenuhi perbuatan melawan hukum yang ada di KUHPidana seperti diatur dan
diancam pada Pasal 266 ayat 1 KUHPidana jo Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHPidana yaitu
:
1. Dalam
rumusan Pasal 263 ayat 1 KUHPidana “Barang siapa membuat surat palsu atau
memalsukan surat yang dapat menimbulkan suatu hak, perikatan atau pembebasan
hutangatau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud
untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah
isinya benardan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan
kerugian karna pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun.
2. Dalam rumusan Pasal 264 yaitu pemalsuan surat diancam dengan pidana penjara paling lama delapan tahun jika dilakukan terhadap akta otentik.127 c. Tindak pidana pada Pasal 263 dan 264 di juncto kan dengan Pasal 55 ayat ke 1 KUHPidana yaitu dihukum orang yang melakukan peristiwa pidana yaitu orang yang melakukan, menyuruh melakukan atau turut melakukan perbuatan itu.128 d. Pasal 55 ayat 1 KUHPidana menurut Moeljatno adalah dipidana sebagai pembuat sesuatu perbuatan pidana yaitu mereka yang melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan.129 Majelis hakim setelah mendengar dakwaan, replik dan tuntutan jaksa penuntut umum, mendengarkan keterangan saksi saksi, ahli, dan terdakwa, memperhatikan barang bukti.
Dasarnya mengacu pada ketentuan Pasal 266
ayat (1) KUHP yang menyebutkan unsur-unsur dalam ketentuan Pasal ini terpenuhi
dengan cara Terdakwa bersama-sama (turut serta) dengan Toni Wijaya untuk
bersekongkol membuat akta otentik yang isinya seolah-olah sesuai dengan
kenyataan / kebenaran. Perbuatan dilakukan dengan sengaja dengan maksud akta
tersebut dapat dipergunakan (Tony Wijaya) untuk memperoleh luas tanah yang
tidak sesuai dengan kesepakatan / ikatan jual beli sebagaimana merugikan orang
lain sebagaimana ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP. Pasal 266 KUHPidana yang
berbunyi „Barang siapa yang menyuruh memasukkan keterangan palsu dalam suatu
akta otentik mengenai suatu hal yang kebenarannya harus dinyatakan oleh akta
itu, dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu
seolah-olah akta itu asli, diancam jika pemakaian itu dapat menimbulkan
kerugian dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Diancam dengan pidana yang sama barang siapa
memakai akta tersebut seolah-olah isinya benar jika karena pemakaian tersebut
dapat menimbulkan kerugian. Unsur-unsur yang terpenuhi dalam Pasal 266
KUHPidana :
1. Barang
siapa
2. Menyuruh
menempatkan keterangan palsu dalam suatu akta otentik
3. Dengan
maksud memakai atau menyuruh orang lain memakai akta itu sesuai dengan
kebenaran
4. Pelakunya
:
a.Mereka
yang melakukan
b.Mereka
yang menyuruh melakukan.
c.Mereka
yang turut melakukan.
Keempat unsur dalam Pasal tersebut terpenuhi, yaitu :
1.Barang
siapa dalam hal ini adalah terdakwa San Smith sebagai Notaris.
2.Terdakwa
telah menempatkan keterangan palsu ke dalam suatu akta otentik, dalam hal ini
tentang suatu kejadian yang kebenarannya harus dinyatakan dan berhubungan
dengan ini maka unsur ini telah terbukti.
3. Dengan
maksud menyuruh orang lain untuk menggunakan akta seolah-olah akta itu benar,
dalam hal ini unsur ini sudah terbukti karena adanya penambahan luas tanah pada
gambar site plan maupun Akta Nomor 165 dengan sengaja dilakukan oleh Terdakwa.
4. Merugikan
orang lain, dan unsur ini telah terbukti karena dalam hal ini Dulang Martapa
telah mengalami kerugian karena tanahnya telah diambil melebihi dari yang
diperjanjikan sebagai akibat adanya akta Nomor 165 yang dibuat oleh terdakwa
secara tidak benar .
Dalam hal Penerapan sanksi sebagai
tanggung jawab hukum Notaris dalam menjalankan profesinya digolongkan dalam 2
(dua) bentuk yaitu:
1. Tanggung
jawab hukum Perdata
Apabila
Notaris melakukan kesalahan karena ingkar janji sebagaimana diatur dalam
ketentuan Pasal 1234 KUHPdt atau perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang
ditentukan Pasal 1365 KUHPerdata;
2. Tanggung
jawab Hukum Pidana
Apabilaa Notaris telah melakukan perbuatan hukum yang dilarang oleh undang-undang atau melakukan kesalahan/perbuatan melawan hukum baik karena sengaja atau lalai menimbulkan kerugian pihak lain.
Dalam aturan hukum tertentu, disamping
dijatuhi sanksi administratif, juga dapat dijatuhi sanksi pidana (secara
kumulatif) yang bersifat comdennatoir (punitif) atau menghukum. Oleh karena
UUJN tidak mengatur sanksi pidana untuk Notaris yang melanggar UUJN, sehingga
apabila terjadi pelanggaran hukum pidana maka terhadap Notaris tunduk dan
berlaku tindak pidana umum yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(KUHP). Apabila Notaris melakukan penyimpangan sebuah akta yang dibuatnya
sehingga menimbulkan suatu perkara pidana, maka Notaris harus
mempertanggungjawabkan secara pidana apa yang telah dilakukannya tersebut.
Pertanggungjawaban pidana lahir dengan
diteruskannya celaan yang obyektif terhadap perbuatan yang dinyatakan sebagai
tindak pidana berdasarkan Hukum Pidana yang berlaku dan secara subyektif kepada
pelaku yang memenuhi persyaratan untuk dapat dikenakan pidana karena
perbuatannya itu. Pada prinsipnya penggunaan sanksi pidana/pemidanaan itu
merupakan sanksi terakhir (ultimum remidium) , apabila peringatan/sanksi yang
diberikan sebagai upaya pencegahan tidak dapat menanggulangi/ mengatasi suatu
perbuatan melawan hukum baik yang dilakukan secara sengaja (dolus) maupun
karena kelalaian (culpa).
Tanggung jawab Notaris secara pidana atas
akta yang dibuatnya tidak diatur dalam UUJN, namun tanggung jawab Notaris
secara pidana dikenakan apabila Notaris melakukan perbuatan pidana. Hal
tersebut didasarkan pada asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan (actus
non facit reum nisi mens sitrea), artinya orang tidak mungkin diminta
pertanggungjawaban dan dijatuhi pidana jika tidak melakukan kesalahan. Namun
seseorang yang melakukan perbuatan pidana belum tentu dapat dipidana apabila
dia tidak mempunyai kesalahan. Prosedur penerapan sanksi pidana berupa putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang amar putusannya menghukum Notaris
untuk menjalani pidana tertentu sebagaimana putusan di atas, menunjukkan
pertanggungjawaban secara pidana terhadap Notaris yang melakukan perbuatan
melawan hukum dapat dijatuhi sanksi pidana berupa pidana penjara sebagaimana di
atur dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP).
Dalam penjatuhan sanksi terhadap Notaris
harus memenuhi rumusan perbuatan itu dilarang oleh undang-undang, adanya
kerugian yang ditimbulkan dari perbuatan itu, dan perbuatan tersebut harus bersifat
melawan hukum baik formil maupun materiil. Dalam prespektif UUJN, maka
perbuatan yang dilakukan oleh Notaris tersebut dimulai dari tidak diperhatikannya
aturan hukum/ perundangan-undangan yang berlaku yang terkait dengan tata cara
pembuatan akta otentik sebagaimana yang diisyaratkan dalam ketentuan UUJN dan
pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris.
Ketentuan yang dimaksud adalah kewajiban
dan larangan dalam ketentuan Pasal 16 ayat (1), ayat (2), ayat (3) dan Pasal 17
serta Kode Etik Notaris dalam Pasal 3 dan Pasal 4. Suatu perbuatan melawan
hukum pidana yang dilakukan oleh Notaris dalam jabatannya, memang selalu
didahului dengan pelanggaran-pelanggaran terhadap kewajiban dan larangan dan
kode etik baik yang tercantum dalam ketentuan Pasal 84 dan Pasal 85 UUJN dan Pasal
3 dan Pasal 4 Kode Etik Notaris.
Hal ini dapat dilihat dari perkara/kasus Notaris
San Smith, SH., perbuatan melawan hukum pidana yang dilakukan tersebut
didahului dengan pelanggaran terhadap kewajiban yang tercantum dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris antara lain : (1) Pasal
16 ayat (1) huruf a yaitu bertindak jujur, saksama, mandiri, tidak berpihak dan
menjaga kepentingan pihak yang terkait dalam perbuatan hukum. (2) Pasal 48 ayat
(1) yaitu isi akta tidak boleh diubah atau ditambah, baik berupa penulisan
tindih, penyisipan, pencoretan atau penghapusan dan menggantinya dengan yang
lain. Disamping itu melakukan pelanggaran terhadap Kode Etik Notaris Pasal 3
angka (1) dan angka (4) dan Pasal 4 angka 15. Prespektif Undang-Undang Jabatan Notaris
(UUJN), sebenarnya perbuatanperbuatan yang telah dilakukan baik oleh Notaris
San Smith, diatur dengan jelas dalam ketentuan Pasal 84 dan disebutkan sebagai
suatu bentuk pelanggaran, sedangkan sanksi yang dijatuhkan terhadap pelanggaran
tersebut diatur pada ketentuan Pasal 85 UUJN tersebut antara lain teguran lisan
sampai dengan pemberhentian dengan tidak hormat sebagai Notaris. Undang-Undang
Jabatan Notaris juga mengatur mengenai sanksi terhadap akta otentik yang dibuat
oleh Notaris tersebut diberi sanksi tidak memiliki kekuatan otentik atau hanya
diakui mempunyai kekuatan sebagai akta di bawahtangan.
Terjadinya pemidanaan /penjatuhan sanksi
pidana terhadap Notaris yang dalam jabatannya berwenang membuat akta, tanpa
memperhatikan aturan hukum yang berkaitan dengan tata cara pembuatan akta
sebagaimana diatur dalam UUJN, sebenarnya telah terjadi kesalahpahaman atau bentuk
penafsiran terhadap kedudukan dan kewenangan seorang Notaris dalam pembuatan
akta otentik sebagai alat bukti dalam hukum perdata. Bisa saja terjadi
pelanggaran atau perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris tersebut
memenuhi unsur-unsur dalam suatu tindak pidana, namun perbuatan yang dilakukan
itu bukan merupakan pelanggaran berdasarkan UUJN setelah melalui prosedur
mekanisme pemeriksaan dan penilaian Majelis Pengawas Daerah (MPD), Majelis
Pengawas Wilayah (MPW) dan Majelis Pengawas Pusat (MPP). Apalagi dalam UUJN
maupun Kode Etik Notaris tidak menyebutkan secara tegas dan jelas khususnya
mengenai bagaimana sanksi yang dijatuhkan kepada Notaris, yang telah dijatuhi
pemidanaan melalui putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap.
Hal ini memungkinkan terjadinya konflik
kepentingan mengingat pada putusan hakim tersebut tidak terdapat penjatuhan
sanksi pidana tambahan atau dalam prateknya putusan yang menjatuhkan sanksi
pidana/ pemidanaan terhadap Notaris yang telah terbukti melakukan perbuatan
melawan hukum tidak diketemukan adanya sanksi pidana tambahan berupa pencabutan
hak seorang Notaris sebagai seorang pejabat umum yang berwenang membuat akta
otentik. Sebenarnya ukuran/batasan ada/tidaknya perbuatan melawan hukum oleh Notaris
tersebut dimulai dengan pemeriksaan ada/tidaknya pelanggaran terhadap ketentuan
yang diatur dalam UUJN. Hal tersebut dapat dianggap penting karena ada
kemungkinan menurut ketentuan UUJN bahwa akta yang bersangkutan telah sesuai
dengan cara/prosedur UUJN tetapi disisi yang lain disebutkan
perbuatan/pelanggaran tersebut merupakan perbuatan yang memenuhi rumusan suatu
tindak pidana oleh aparat penegak hukum.
Batasan-batasan yang dimaksudkan dalam
penjatuhan pidana kepada Notaris antara lain sebagai berikut :
1. Ada
tindakan hukum dari Notaris terhadap aspek formal akta yang sengaja, penuh
kesadaran dan keinsyafan serta direncanakan, bahwa akta yang dibuat dihadapan Notaris
atau oleh Notaris bersama-sama (sepakat) untuk dijadikan dasar untuk melakukan
tindak pidana;
2. Ada
tindakan hukum dari Notaris dalam membuat akta di hadapan atau oleh Notaris
yang jika diukur berdasarkan UUJN tidak sesuai dengan UUJN;
3. Tindakan
Notaris tersebut tidak sesuai menurut instansi yang berwenang untuk menilai
tindakan suatu Notaris, dalam hal ini Majelis Pengawas Notaris.
Penjatuhan sanksi terhadap Notaris
dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan tersebut diatas dilanggar, artinya di
samping memenuhi rumusan pelanggaran yang tersebut dalam UUJN dan kode etik
jabatan Notaris, juga harus memenuhi rumusan dalam Kitab Undang- Undang Hukum
Pidana (KUHP).
Seorang Notaris hanya dibebankan
pertanggungjawaban secara pidana terhadap perbuatan melawan hukum yang
dilakukannya, tidak disebutkan pertanggungjawabkan secara perdata berupa
penggantian kerugian yang diderita oleh para pihak maupun pertanggungjawaban
administrasi. Namun seharusnya pemberian ganti rugi juga sangat perlu diberikan
kepada pihak-pihak yang menderita kerugian sebagai bentuk rasa adil dan
perlindungan hukum akibat adanya tindak pidana yang dilakukan oleh Notaris
dalam pembuatan akta otentik.
Kesimpulan
Dari uraian Analisis terhadap Tindak
Pidana yang dilakukan oleh Prfesi Notaris yaitu Pemalsuan Akta Autentik dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Aspek
hukum pidana atas akta otentik yang memuat keterangan palsu meliputi tindak
pidana pemalsuan keterangan dalam akta otentik seperti yang tertera pada Pasal
266 KUHP, unsur- unsur tindak pidana pemalsuan keterangan dalam akta otentik
dan ancaman hukuman bagi Notaris yang memuat keterangan palsu dalam akta
otentik.
2. Perbuatan
Notaris yang dapat dikategorikan sebagai menempatkan keterangan palsu dalam
akta otentik yaitu perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Notaris yang
didalamnya memuat unsur-unsur yang dapat dikategorikan menempatkan keterangan
palsu dalam akta otentik, jenis dan bentuk pemalsuan keterangan dalam akta
otentik.
3. Dasar
pertimbangan hukum yang dipakai adalah Pasal 266 KUHP yang dimana unsur daam
Pasal tersebut terpenuhi yaitu dengan cara bersama-sama (turut serta) dengan
Tony Wijaya untuk bersengkongkol membuat akta otentik yang isinya seolah-olah
sesuai dengan kenyataan/ kebenaraan. Perbuatan ini dilakukan dengan sengaja
dengan maksud akta tersebut akan dapat dipergunakan (Tony Wijaya) untuk
memperoleh luas tanah yang tidak sesuai dengan kesepakatan/ikatan jual beli
sehingga merugikan orang lain sebagaimana ketentuan Pasal 266 ayat (1) KUHP.
Posting Komentar