- -->
Sejarah lelang didunia dimulai sekitar 500 tahun SM yang pertama kali dilakukan di Yunani yaitu wedding auction, dimana perempuan yang menjadi objek lelang untuk dijadikan sebagai istri setelah itu lelang terus berkembang di berbagai negara dan yang menjadi objek lelang kebanyakan adalah barang-barang hasil rampasan perang dimana itu dilelang dan hasilnya digunakan untuk perang berikutnya, selain lelang secara langsung, lelang juga sudah mulai dilakukan di marketplace yang dimana yang menjadi objek lelang adalah mobil bekas, setelah itu lelang mulai masuk dan berlaku di Indonesia pada tahun 1908 sebelum masehi hingga saat ini lelang terus berkembang dan terdapat terobosan baru yang dimana terdapat peraturan-peraturan lelang yang berlaku di Indonesia diantaranya yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Acara Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,dan peraturan-peraturan penunjang lainnya yang harus diketahui agar lebih memahami mengenai lelang dan tidak salah dalam pengaplikassiannya
A. Perkembangan
Hukum Lelang
Kata
lelang merupakan terjemahan dari Bahasa Inggris, auction yang berasal dari
Bahasa Latin augre/auctus yang artinya meningkat. Taka da seorangpun yang
secara pasti mengetahui kapan pertama kali lelang dilaksanakan. Namun dapat
dipastikan bahwa penjualan secara lelang telah dilakukan ratusan tahun sebelum
masehi,[1]
Menurut
Herodotus bahwa lelang dimulai sekitar 500 tahun SM[2],
tiap tahunnya bangsa Yunani melakukan wedding auction atau disebut sebagai
upacara lelang yang dimana yang dilelang adalah seorang anak perempuan dewasa
yang menjadi objeek leelang untuk dijadikan sebagai istri, yang dimana pada
saat itu anak perempuan tidak boleh dijual dengan cara apapun kecuali dengan
cara dilelang.
Tentunya
system lelang anak perempuan tersebut dilakukan dengan cara tawar menawar, yaitu
dari harga yang tertingga ke harga yang terendah. Semakin lama harga yang
ditawarkan semakin menurun hingga terdapat seseorang yang mejadi penawar
tertinggi dan berhak untuk memiliki anak perempuan tersebut. Tetapi dengan
catatan bahwa harga penawaran tersebut paling sedikit adalah sama dengan harga
minimum yang sudah ditetapkan oleh penjual.
Pada
upacara pelelangan anak perempuan tersebut, perempuan yang mempunyai paras yang
lebih menarik akan memiliki nilai tawar yang lebih tinggi dibanding yang lainnya,
dan mirisnya perempuan yang memiliki paras yang kurang menarik harus
menambahkan maskawin atau palig tidak menawarkan barang yang berharga pada
peserta lelang agar peserta lelang tersebut bersedia untuk mengajukan penawaran
sesuai nilai limit sehingga perempuan tersebut dapat terjual pada saat
pelelangan.[3]
Pada
27 sampai 476 Sebelum Masehi yaitu pada masa kerajaan Romawi, lelang populer
telah dilakukan oleh masyarakat Roma yang digunakan untuk kepentingan militer
yang dilakukan setelah terjadinya perang oleh prajurit-prajurit Romawi pada
saat berkeliling pada negara-negara yang kalah perang untuk mencai harta yang
masih tersisa tentunya untuk disita sebagai barang hasil rampasan perang,
selain itu prajurit-prajurit mencari penduduk setemoat untuk dijadikan sebagai
budak. Tentunya hasil rampasan baik barang maupun budak akan dijual melalui
system lelang dan hasil dari lelang tersebut akan digunakan sebagai biaya
perang diwaktu yang akan datang[4]
Pada
tahun 193 Masehi terjadilah lelang yang sangat terkenal oleh segala penjuru
yaitu, yaitu kerajaan Romawi dilelang oleh Praetorian Guard yaitu Tentara
Praetorian yang merupakan tantara elite yang tugasya untuk melindungi kaisar
Romawi. Pada tanggal 23 Maret diketahui tantara tersebut lebih dulu membunuh
Kaisar Pertinax kemudian menawarkan kerajaan tersebut kepada penawar yang
menawar dengan harga yang paling tinggi. Kemudian ditawarlah dengan harga 6,250
drachmas persatu orang tantara oleh Didius Julianus dan hal tersebut memicu
terjadinya perang antar saudara.
Pada
awal abad ke VII, dilakukan lelang terhadap harta benda seorang pemimpin agama
apabila ia meninggal dunia, seluruh hartanya dijadikan sebagai objek lelang.
Pada abad ke 13 Raja Henry VII telah memiliki juru lelang yang berlisensi. Pada
tahun 1556 pemerintah Prancis memiliki juru sita yang merangkap sebagai juru
lelang yang memiliki tugas untuk melelang harta dari rampasan perang.
Pada
tahun 1674 lelang tercatat di Inggirs yaitu pada saat melelang lukisan yang
dilaksanakan di Summerset House. Sekitar abad XVII dan abad XVIII
penyelenggaraan lelang telah lebih berkembang karena menjadi lebih teratur dna
telah banyak orang yang megetahuinya sehingga lebih banyak masyarakat yang
datang dan mejadi peserta lelang dan dilakukan pula ditempat-tempat yang lebih
representative.
Pada
tahun 1860-an pada saat terjadinya perang saudara atau disebut dengan civil
war, Amerika telah menjual secara lelang barang-barang hasil dari rampasan
perang dan hanya pejabat yang berpangkat kolonel yang boleh melakukan lelang.
Pada awal abad XX industry lelang di Amerika semakin menunjukkan peningkatan
kualitas juru lelangnya dan telah mulai membangun kepercayaan oleh masyarakat.
Pada tahin 1920 setiap perusahaan di Amerika sudah mulai menggunakan image
lelang pada iklan dari tiap produknya.
Pada
tahun 1995, lelang semakin berkembang karena Jepang mengembangkan system lelang
melalui jaringan Internet, yang selama ini hanya dilakukan secara langsung yang
diberi nama sebagai AUCNET. Yang telah berhasil menggeser lelang mobil Bekasi
secara langsung dan pada saat ini bisa dilakukan hanya dengan menggunakan
marketplace
Lelang
tanah pertama kali dilakukan pada tahun 1739 di Inggris Ketika terdapat iklan
rumah yang dilelang di Inggris
Lelang
di Indonesia pertama kali diberlakukan pada tahin 1908 dimana Indonesia
dulunya dikenal dengan Hindia Belanda yang merupakan negara
bekas jajahan Belanda. Pada saat itu para penduduk Hindia
Belanda tersebut dibedakan menjadi tiga golongan dan berlaku aturan Hukum
Perdata yang berbeda-beda pada tiap golongan, yaitu:
1. Golongan
Eropa berlaku Hukum Perdata dan Hukum Dagang di Negara Belanda;
2. Golongan
Timur Asing berlaku bab-bab tertentu Hukum Perdata dan Hukum Dagang golongan
Eropa;
3. Golongan
Bumiputera berlaku hukum adat.
Kedatangan Vereenigde Oostindische
Compagnie (biasa disebut degan VOC) yaitu Perserikatan Perusahaan Hindia
Timur yang berdiri pada tanggal 20 Maret 1602 merupakan suatu perusahaan yang
dimiliki oleh Belanda yang bertugas untuk monopoli segala aktivitas perdagangan
di Asia. Pada tahun 1506 VOC berhasil mendarat di Banten, Indonesia. Pada saat
itu VOC menciptakan system lelang untuk komoditas teh hasil bumi Indonesia dimana
sistem lelang pertamakali digunakan untuk komoditas teh di London.[5]
Pada tahun 1798 VOC dibubarkan pada dikarenakan
mengalami berbagai kesulitan finansial setelah belanda diserang oleh Napoleon. Wilayah
koloni VOC di Hindia Timur diserahkan pada Kerajaan Belanda yang jabatan
pemerintahan dan perusahaan-perusahaannya dijabat oleh orang-orang Belanda itu
sendiri. Apabila terjadi perpindahan atau disebut mutasi pejabat maka akan timbul
masalah mengenai penjualan barang-barang milik pejabat yang dimutasi tersebut.
Pada tahun 1908 Pemerintah Hindia Belanda
telah mengeluarkan Staatsblad 1908 Nomor 189 tentang Vendu
Reglement, yang dimana pada saat itu belum ada Volksraad (DPR). Meskipun diketahui
bahwa Vendu Reglement merupakan peraturan setingkat Peraturan Pemerintah,
Tetapi Vendu Reglement merupakan peraturan lelang yang tertinggi hingga saat
ini. Oleh karena itu tidak salah jika VR disebut sebagai Undang-Undang Lelang.
Setelah keluarnya Staatsblad 1908
Nomor 189, terbentuklah Inspeksi Lelang yang bertanggung jawab kepada Menteri
Keuangan (Direktuur van Financient). Kemudian berdirilah Direktorat Jenderal
Pajak yang bernama Inspeksi Keuangan, namun posisi inspeksi keuangan tersebut tentunya
tidak sama dengan Inspeksi Lelang. Di bawah Menteri Keuangan terdapat unit
operasional yang disebut dengan Kantor Lelang Negeri (Vendu Kantoren)
Pada tahun 1919, Gubernur
Jenderal Nederlandsch Indie telah mengangkat Pejabat Lelang Kelas II
yang fungsinya untuk menjangkau tiap daerah yang belum memiliki Kantor Lelang
Negeri dan memiliki pelaksanaan lelang yang relative rendah. Pejabat Lelang Kelas
II merupakan Pejabat Notaris setempat yang kemudian seiring dengan peningkatan
jumlah permintaan lelang, jabatan tersebut tentunya ditingkatkan menjadi Kantor
Lelang Negeri Kelas I. Namun tidak diketahui secara pasti perubahan
istilah Vendumeester, menjadi Juru Lelang dan kemudian berubah
menjadi Pejabat Lelang. Pada tahun 1970-an yang terjadi dan yang tercantum dalam
peraturan yang mengatur tentang lelang telah digunakan istilah Pejabat Lelang.
Pengaturan-pengaturan lelang belum
diatur dalam ordonansi karena pada tahun tersebur belumlah terbentuk lembaga
parlemen atau DPR yang tugasnya untuk membentuk suatu Undang-Undang.
Volksraad baru terbentuk pada tahun 1926 yang anggotanya dipilih
berdasarkan penunjukan. Pada masa pemerintah Hindia Belanda, kewenangan lelang
berada dibawah kewenangan Director Van Financien yang berlanjut setelah era
kemerdekaan RI. Pada masa itu di tingkat Pusat kantor lelang disebut Kantor
Inspeksi Lelang sedangkan di Operasionalnya di sebut Kantor Lelang Negeri. Perubahan
nama kantor lelang :
1.Pada
Tahun 1960 lelang berada dibawah pembinaan Direktorat Jenderal Pajak;
2. Pada
Tahun 1970 Kantor lelang Negeri berubah nama menjadi Kantor Lelang Negara;
3. Pada
Tahun 1990 Kantor lelang Negara di integrasikan dengan Badan Urusan Piutang
Negara (BUPN)
4. Pada
Tahun 1991 BUPN berubah nama menjadi Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara
(BUPLN);
5. Pada
tahun 2000 BUPLN berubah menjadi DJPLN (Direktorat Jenderal Piutang dan Lelang
Negara) dan Pada tahun 2001 Kantor Lelang Negara dan Kantor Pelayanan Piutang
Negara meleburkan diri menjadi Kantor Pelayanan Piutang dan Lelang Negara
(KP2LN);
6. Pada
tahun 2006 DJPLN berubah menjadi Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dan
kantor operasionalnya berubah nama menjadi Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan
Lelang (KPKNL).
Pelaksanaan lelang memiliki berbagai
fungsi yaitu fungsi sebagai pelayanan publik dan fungsi sebagai pelayanan
privat. Fungsi pelayanan publik dari Lembaga Lelang tercermin saat digunakan
oleh aparatur negara dalam melaksanakan tugas dalam rangka Penegakan Hukum/Law
Enforcement seperti yang diamanatkan dalam berbagai undang-undang, antara lain
1. KUHAP
2. KUHPerdata
3. HIR
4. UU
Panitia Urusan Piutang Negara No. 49 Prp. Tahun 1960
5. UU
Kepabeanan No. 10 Tahun 1995, UU Hak Tanggungan Nomor 4 tahun 1996
6. UU
Penagihan Pajak dengan Surat Paksa Nomor 19 tahun 1997
7. UU
Jaminan Fidusia Nomor 42 Tahun 1999
8. UU
Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Nomor 37 tahun 2004.
Fungsi dari pelayanan public tersebut
tercermin pada saat digunakan oleh aparatur negara dalam rangka pengelolaan
barang milik negara/daerah (kekayaan negara), khsusnya pada saat barang
tersebut dipindahtangankan dengan cara dijual. Penjualan barang milik negara
ataupun daerah haruslah dilakukan secara lelang.
Penjualan secara lelang bertujuan
untuk mengamankannya sekaligus untuk memenuhi prinsip-prinsip kepemerintahan yang
baik. Proses tersebut akan berdampak pada meingkatknya efisiensi, tertib
administrasi serta keterbukaan dalam pengelolaan kekayaan negara, serta untuk
menjamin akuntabilitas. Dari dua fungsi pelayanan publik tersebut Lembaga
Lelang nantinya akan memberi suatu kontribusi dalam Penerimaan Negara Bukan
Pajak berupa Bea Lelang, yang merupakan hasil dari penjualan kekayaan negara,dalam
bentuk sitaan yang dirampas untuk negara, serta penerimaan Pajak berupa PPh.
Selanjtnya merupakan fungsi privat dari Lembaga Lelang yang tercermin pada saat
lembaga lelang digunakan oleh seseorang yang memiliki barang dan ingin menjualnya
secara lelang. Dalam fungi privat maka akan menjadi sarana dari Lembaga Lelang
untuk memperlancar lalu lintas perdagangan barang.
Pada akhirnya dalam pelaksanaan lelang tentunya akan memberikan berbagai kontribusi dalam Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) berupa Bea Lelang, hasil penjualan kekayaan negara, sitaan yang dirampas untuk negara, dan Penerimaan Pajak berupa Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan, dan BPHTB sebagai fungsi budgetter.
B. Pengaturan
Hukum Lelang,
Peraturan
lelang di Indonesia masih menggunakan peraturan lelang Belanda yaitu Vendu
Reglement Staatsblad tahun 1908 nomor 189. Dasar hukum penggunaan atau
pemanfaatan lelang di Indonesia ditemui dalam banyak ketentuan, misalnya :
1. Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara
2. Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata
3. Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Perdata
4. Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana
5. Undang-Undang
Nomor 49/perpu/1960 tentang Panitia Urusan Piutang Negara.
6. Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa
7. Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan
8. Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia
9. Undang-Undang
Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan
10. Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan
11. Peraturan
Pemerintah tentang BPPN
Dasar hukum lelang tentang kebendaan,
tata cara/prosedur lelang itu sendiri diatur dengan ketentuan khusus, yaitu :
1. Peraturan
Lelang/Vendu Reglement (stb. 1908 No 189)
2. Instruksi
Lelang/Vendu Instructie (stb 1908 No 190)
3. Peraturan
Pemerintah No 44 Tahun 2003, tanggal 31 Juli 2003, tentang Tarif atas Jenis
Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Departemen Keuangan
Dasar hukum lelang tersebut kemudian
diatur lebih lanjut didalam aturan pelaksanaannya yaitu dalam :
1. Peraturan
Menteri Keuangan No 93/PMK.06/2010 tanggal 23 April 2010 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Lelang
2. Peraturan
Menteri Keuangan No 174/PMK.06/2010 tanggal 30 September 2010 tentang Pejabat
Lelang Kelas I
3. Peraturan
Menteri Keuangan No 176/PMK.06/2010 tanggal 30 September 2010 tentang Balai
Lelang
4. Peraturan Menteri Keuangan No 175/PMK.06/2010 tanggal 30 September 2005 tentang Pejabat Lelang Kelas II
Jika
dilihat bahwa saat ini pemerintah tengah mengupayakan pembentukan undang-undang
lelang yang baru sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap peraturan yang
relevan dan sesuai dengan perkembangan jaman sehingga tidak usang. Tetapi
sayangnya, undang-undang mengenai lelang yang baru hingga saat inipun belum
dapat disahkan.
Tentunya
pemerintah melalui Kementerian Keuangan sudah sangat berupaya dalam
menyempurnakan aturan mengenai lelang. Hal tersebut dilakukan adalah untuk
mengikuti perkembangan jaman dan menjawab kebutuhan masyarakat yang berkembang seiring
berjalannya waktu. Sampai saat ini jumlah peraturan terkait lelang yang telah
dikeluarkan oleh Menteri Keuangan yang sampai dengan saat ini jumlahnya tidak
kurang dari 10 (sepuluh) Keputusan/Peraturan Menteri Keuangan. antara lain
adalah
1. KMK
Nomor 557/KMK.01/1999
2. KMK
Nomor 337/KMK.01/2000
3. KMK
Nomor 507/KMK.01/2000
4. KMK
Nomor 304/KMK.01/2002
5. KMK
Nomor 450/KMK.01/2002
6. PMK
Nomor 40/PMK.07/2006
7. PMK
Nomor 150/PMK.06/2007
8. PMK
Nomor 61 /PMK.06/2008,
9. PMK
Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang.
Dengan adanya pertimbangan-pertimbangan
dalam hal mewujudkan lelang yang lebih efisien, efektif, transparan, akuntabel,
adil, dan menjamin kepastian hukum, serta untuk mengikuti perkembangan
kebutuhan masyarakat, sementara peraturan yang sudah ada yaitu PMK Nomor 93/PMK.06/2010
tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang dianggap tidak sesuai lagi, maka baru-baru
ini tepatnya tanggal 26 Juli 2013 telah ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 106/PMK.06/2013 tentang Perubahan Atas PMK Nomor 93/PMK.06/2010 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Lelang, diundangkan pada tanggal 6 Agustus 2013, yang
efektif berlaku 2 (dua) bulan sejak tanggal diundangkan tepatnya tanggal 6
Oktober 2013.
[1] Wahyu Hidayat & Royani,
Journal kementrian Keuangan RI Direktorat Jendral Kekayaan Negara, 2016, hlm
23.
[2] Purnama Tioria, Perlindungan
Hukum Terhadap Pembeli Barang Jaminan Tidak Bergerak Melalui lelang, CV
Mandar Maju, Bandung, 2014, hlm43-44
[3] Sudiarto, Pengantar
Hukum Lelang Indonesia, Kencana, Jakarta, 2021, hlm 46
[4] FX Ngadijarno, Nunung L dan Isti I, Pegetahuan Lelang, BPPK,
Jakarta, 2008, hlm 25.
[5] Kamarinjani, Sejarah Perusahaan The di Indonesia, 1978,
LIPI, hlm 39
Posting Komentar