- -->
A.
Pada tahun 2018 sampai dengan Februari 2019 terjadi tindak pidana korupsi di lingkungan Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Sijunjung. Tindak pidana korupsi tersebut melibatkan N dan E, N dan E adalah wakil ketua DPRD Kab Sijunjung Periode 2014-2019. Terdakwa melakukan tindak pidana korupsi berupa menggunakan dana tunjangan belanja rumah tangga pimpinan DPRD Kabupaten Sijunjung APBD tahun anggaran 2018 dan tahun anggaran 2019 (belanja makanan dan minuman harian natura) untuk kepentingan pribadi. Perbuatan terdakwa tersebut termasuk dalam tindakan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara sebesar Rp. 169.631.730,- (seratus enam puluh sembilan juta enam ratus tiga puluh satu ribu tujuh ratus tiga puluh rupiah). Oleh hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Padang terdakwa N dan E dinyatakan bersalah melanggar Pasal 3 jo Pasal 4 jo Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3) UU Tipikor jo Pasal 55 (1) ke-1 KUHP yang berbunyi:
“secara bersama-sama dengan tujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Hakim menjatuhkan pidana pada terdakwa N dengan pidana penjara 1 tahun dan denda lima puluh juta rupiah subsider 2 bulan kurungan, sedangkan terdakwa E dijatuhi pidana 3 tahun penjara dan denda lima puluh juta rupiah, subsider 4 bulan kurungan
Berdasarkan
uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pertanggungjawaban
Pidana Tindak Pidana Korupsi Yang Dilakukan Secara Bersama-Sama Study Case (Putusan
Nomor: 41/PID.SUS-TPK/2020/PN.PDG)n
Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi yang Dilakukan secara Bersama-sama
(deelneming) pada Putusan Nomor: 41/PID.SUS-TPK/2020/PN.PDG
Untuk melihat
pertanggungjawaban pidana dalam kasus korupsi sebagaimana dalam putusan
tersebut diatas maka dapat dianalisis bahwa terdapat unsur adanya suatu tindak
pidana yang dapat dilihat dari pengertian setiap orang yaitu siapa saja mereka
yang berstatus sebagai subjek hukum yang melakukan tindak pidana yang dapat
dipertanggung jawabkan kepadanya, tanpa adanya suatu pengecualian hukum yang
berlaku atas dirinya. Menimbang, bahwa dalam perkara yang sedang disidangkan
ini subjek hukumnya mengacu kepada manusia (Naturrlijke Person), hal ini
dapat dibuktikan dengan fakta-fakta yang dihubungkan antara keterangan para
saksi serta keterangan terdakwa sendiri, diketahui bahwa benar terdakwa N dan E
yakni orang yang sedang disidangkan sebagai terdakwa dalam perkara ini atau
menjalani pemeriksaan dipersidangan yang identitasnya sesuai dengan identitas
yang bersangkutan yang dimuat dalam Surat Dakwaan, yang diketahui sehat jasmani
dan rohani dengan terdakwa mampu bertanggung jawab untuk perbuatannya yaitu
melakukan korupsi secara bersama-sama. Yang melanggar Pasal 3 jo Pasal
18 ayat (1), (2) dan (3) Undang- undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan
ditambah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Dengan demikian unsur adanya suatu
tindak pidana sudah terpenuhi
Unsur Adanya Kesalahan,
dari fakta tersebut dapat diyakini menurut hukum, bahwa perbuatan Terdakwa N
dan terdakwa E yang dengan sengaja melakukan tindak pidana korupsi. Dengan
demikian maka unsur kesalahan yaitu melakukan tindak pidana korupsi sudah
terpenuhi.
Kemampuan Bertanggung Jawab,
Maksud dari unsur ini kemampuan bertanggungjawab selalu berhubungan dengan keadaan
psikis pembuat, Terdakwa dalam kasus ini telah dibuktikan oleh Hakim bahwa
sehat secara jasmani dan rohani serta tidak mengalami kekurangan secara fisik
dan mental, sehingga terdakwa masuk kedalam kategori orang yang dapat
bertanggungjawab. Dengan uraian di atas Majelis Hakim berkeyakinan menurut
hukum bahwa unsur ini telah terbukti secara sah dan meyakinkan terpenuhi pula
oleh perbuatan terdakwa.
Tidak Ada Alasan Pemaaf,
Berdasarkan pertimbangan Hakim, Hakim telah menimbang bahwa selama persidangan
berlangsung tidak terdapat alasan pemaaf maupun alasan pembenar pada diri
terdakwa yang dapat menghapuskan pertanggungjawaban atas segala perbuatan
pidana yang dilakukan, karena terdakwa melakukan perbuatannya secara sadar dan
sehat psikologis nya dalam melakukan perbuatannya tersebut. Unsur Tidak Ada
Alasan Pemaaf dalam unsur ini, perbuatan terdakwa merupakan suatu tindak pidana
sehingga dengan perbuatan tersebut terdakwa harus menghadapi jalur hukum. Dalam
hukum pidana yang dimaksud alasan pemaaf dalam hukum pidana adalah tidak mampu
bertanggung jawab yang berkaitan dengan keadaan seseorang tersebut atau karena
perbuatan tersebut merupakan paksaan dari orang lain. Dalam kasus ini, Majelis
telah membuktikan bahwa terdakwa melakukan tindak pidana ini bukan karena unsur
paksaaan dan terdakwa mampu bertanggungjawab dengan perbuatannya. Maka unsur
tidak ada alas an pemaaf sudah terpenuhi.
Jadi dari penjelasan di
atas penulis dapat menjelaskan bahwa Pertanggungjawaban pidana oleh terdakwa
sudah dapat terpenuhi dan juga dapat diberikan pertanggungjawab pidana dimana
dalam putusan pengadilan Negeri Padang dengan Nomor 41/PID.SUS-TPK/2020/PN.PDG
yaitu terdakwa melanggar Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1), (2) dan (3)
Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dan ditambah dengan
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dalam Dakwaan Subsidair Penuntut Umum. Untuk
terdwaka N hakim menjatuhkan sanksi pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6
(enam) bulan, dikurangi selama Terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah
agar Terdakwa tetap ditahan, serta menghukum terdakwa N untuk membayar denda
sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) Subsidiair 3 (tiga) bulan
kurungan. Sementara itu untuk terdakwa E hakim menjatuhkan sanksi pidana berupa
Pidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan 6 (enam) bulan, dikurangi selama
Terdakwa berada dalam tahanan, dengan perintah agar Terdakwa tetap ditahan, dan
menghukum terdakwa E untuk membayar denda sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah) Subsidiair 3 (tiga) bulan kurungan, serta menghukum Terdakwa E
membayar Uang Pengganti sebesar Rp190.014.090,- (seratus sembilan puluh juta
empat belas ribu sembilan puluh rupiah) kepada Negara, dan jika terdakwa tidak
membayar uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan setelah putusan pengadilan
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa
dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal terpidana tidak
mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar Uang Pengganti maka diganti
dengan Pidana Penjara selama 1 (satu) tahun. Selain itu bentuk
pertanggungjawaban pidana yang diberikan kepada pelaku dari 2 bentuk
pertanggungjawaban pidana yaitu Pertanggungjawaban mutlak (strict liability).
Untuk itu dari uraian unsur-unsur pertanggungjawaban pidana di atas maka pelaku
masuk kedalam Pertanggungjawaban mutlak (strict liability) karena dalam
kasus ini pelaku terbukti dan benar melakukan tindak pidana korupsi tanpa perlu
pembuktian lebih jauh terhadap kesalahan dari si pelaku dan juga pelaku juga
mengakui kesalahannya bahwa benar dia melakukan perbuatan tersebut secara sadar
dan mampu bertanggungjawab atas perbuatannya tersebut.
>> baca juga tentang Kebijakan pelepasan narapidana berdasarkan teori negara w friemann
Dalam putusan ini hakim menjatuhkan pidana berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keputusan hakim dalam menjatuhkan pidana
akan mempunyai konsekuensi yang luas, baik yang menyangkut langsung ke pelaku
yang telah dipidana maupun ke masyarakat secara luas. Memang sulit mengukur
secara sistematis putusan hakim yang bagaimana yang memenuhi rasa keadilan itu,
tetapi tentu saja ada Indikator yang dapat digunakan untuk melihat dan
merasakan bahwa suatu putusan telah memenuhi rasa keadilan atau tidak.
Indicator itu antara lain dapat ditemukan di dalam “pertimbangan hukum” yang
digunakan hakim.
Akibat perbuatan terdakwa N yang dimuat dalam putusan Nomor 41/PID.SUS-
TPK/2020/PN.PDG menjatuhkan Pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan
pidana penjara selama 1 (Satu) Tahun serta denda sebesar Rp. 50.000.000.- (Lima
Puluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar
diganti dengan pidana kurungan selama 2 (Dua) Bulan. Kemudian Terdakwa E di
dalam putusan Nomor 40/PID.SUS-TPK/2020/PN. PDG dijatuhi pidana oleh majelis
hakim menjatuhkan Pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 2 (Dua) Tahun dan 4 (Empat) Bulan serta denda sebesar Rp. 50.000.000.-
(Lima Puluh Juta Rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar
diganti dengan pidana kurungan selama 2 (Dua) Bulan, dan untuk membayar Uang
Pengganti sejumlah Rp190.014.090,00 (seratus sembilan puluh juta empat belas
ribu sembilan puluh rupiah) dengan ketentuan apabila Terdakwa tidak membayar
uang pengganti paling lama 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan memperoleh
kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh Jaksa dan dilelang
untuk menutupi uang pengganti tersebut, dalam hal terdakwa tidak mempunyai
harta benda yang cukup untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana
penjara selama 8 (Delapan) Bulan.
Kemudian
yang membedakan putusan hakim terhadap terdakwa E dan N adalah, terletak pada
kerugian Negara yang dilakukan oleh kedua terdakwa tersebut. Terdakwa E
berdasarkan keterangan Terdakwa dan bukti Surat yang diajukan oleh Penuntut
Umum dipersidangan dimana terdakwa yang telah mengajukan pencairan tunjangan
belanja rumah tangga sejak Januari 2018 sampai dengan Maret 2019 sebesar Rp
15.000.000,- (lima belas juta rupiah) per bulan dengan total yang diterima oleh
terdakwa selama tahun 2018 sampai dengan Maret 2019 adalah sebesar Rp.
190.014.090,- (seratus sembilan puluh juta empat belas ribu sembilan puluh
rupiah) pada kenyataannya Terdakwa tidak ada menempati rumah dinas tersebut
sehingga kepada Terdakwa haruslah dibebankan untuk membayar Uang Pengganti
sejumlah Rp. 190.014.090,- (seratus sembilan puluh juta empat belas ribu
sembilan puluh rupiah) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (1), ayat
(2) dan ayat (3) Undanng- undang. Sedangkan Terdakwa N berdasarkan keterangan
Terdakwa dan bukti Surat yang ditunjukan oleh Penuntut Umum dimana atas
kehendak terdakwa pada tanggal 28 Februari 2020 Terdakwa telah melakukan
pengembalian kerugian keuangan Negara dengan cara membayar uang Natura tersebut
sebesar Rp. 109.643.730,- ke Kas Daerah Kabupaten Sijunjung dengan Nomor
Rekening : 0700.0101.000146 sesuai dengan bukti Surat Tanda Setoran (STS) melalui
Bank Nagari Cabang Sijunjung anggal 28 Februari 2020, kemudian pada tanggal 12
Oktober 2020 Terdakwa juga telah membayar lunas uang Natura tersebut sebesar
Rp. 59.988.000,- (lima puluh sembilan juta sembilan ratus delapan puluh delapan
ribu rupiah) ke Kas Daerah Kabupaten Sijunjung Nomor Rekening :
0700.0101.000146 sesuai dengan bukti Surat Tanda Setoran (STS) melalui Bank
Nagari Cabang Sijunjung.
Daftar Bacaan
Muladi
dan Barda Nawawi Arief, 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Alumni, Bandung
Indonesia, Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi
Sampur
Dongan Simamora & Mega Fitri Hertini, 2019, Hukum Pidana Dalam Bagan, FH
Untan Press, Pontianak
Romli
Atmasasmita, 2018, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung
Hasbullah
F. Sjawie, 2019, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi pada Tindak Pidana
Korupsi, Prenada Media Group, Jakarta
Teguh
Prasetyo, Hukum Pidana, 2020, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta
Sudarsono,
2019, Kamus Hukum, Rineka Cipta, Jakarta
Robert
Klitgaard, 2020, Membasmi Korupsi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta
Posting Komentar