- -->
Urgensi Dikeluarkanya Permendikbud No. 30 Tahun 2021 Tentang Penanganan Kekerasan Seksual
Kasus-kasus kekerasan dan
pelecehan seksual di kampus selama ini tak terungkap karena kuatnya relasi
kuasa para pelaku dan tak adanya payung hukum. Data Komnas Perempuan sepanjang
2015-2020 menunjukkan, dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang
berasal dari lembaga pendidikan, sebanyak 27 persen kasus terjadi di perguruan
tinggi. Data ini diperkuat dengan survei Koalisi Ruang Publik Aman pada 2019
yang menunjukkan lingkungan sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi
terjadinya tindak kekerasan seksual (15 persen) di bawah jalanan (33 persen)
dan transportasi umum (19 persen).[1]
Menteri Pendidikan, Kebudayaan,
Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim resmi mengesahkan
Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan
Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi (Permendikbudristek Nomor 30
Tahun 2021). Peraturan itu mendapat dukungan publik karena menjawab keresahan
publik terkait dengan maraknya praktik kekerasan seksual, khususnya dalam
lingkup perguruan tinggi. Di sisi lain, penolakan juga datang karena menganggap
keberadaan Permendikbudristek justru seolah melegalkan perbuatan hubungan
seksual di luar institusi pernikahan atau zina.[2]
Adanya silang pendapat
tentang Permendikbud tersebut adalah sinyal positif bahwa dialektika publik
dalam merespons kebijakan tengah berjalan. Namun, penolakan yang ada cenderung
berlandaskan pada pemahaman yang keliru akan konteks.
Perlu dipahami bahwa
semangat dari pembentukan Permendikbudristek tersebut sejak awal adalah
melidungi segenap sivitas akademika di lingkungan perguruan tinggi dari ancaman
tindakan kekerasan seksual. Hal itu tercantum jelas dalam konsiderans
Menimbang, terutama huruf (a) dan (b).
Muatan pengaturan dalam
Permendikbudristek juga dipercaya mampu menangani darurat kekerasan seksual
saat ini, khususnya di lingkungan pendidikan. Terlihat dari dimasukkannya prinsip-prinsip
penting yang dirumuskan guna melindungi hak-hak korban. Misalnya, Pasal 3
menyebutkan prinsip-prinisp yang progresif, seperti kepentingan terbaik bagi
korban, keadilan dan kesetaraan gender, dan ada pula kesetaraan hak dan
aksesibilitas bagi penyandang disabilitas. Selain itu, Permendikbudristek ini
juga dapat langsung diimplementasikan oleh perguruan tinggi karena sudah
mencantumkan ketentuan dalam bidang pencegahan, penanganan, pelindungan, serta
sanksi administratif. Sehingga, korban bisa lebih berani dan merasa lebih aman
sewaktu mengadukan kejadian tersebut kepada penyelenggara perguruan tinggi.[3]
Melalui
Permendikbudristek ini, peluang untuk memasukkan pendidikan seksual, termasuk
dari perspektif adat dan agama, dapat lebih terbuka dengan adanya kewajiban
bagi perguruan tinggi untuk melakukan pencegahan, salah satunya dalam bentuk
pembelajaran. Dan dalam aspek kemanfaatan, bagaimanapun, adanya
Permendikbudristek ini jauh lebih baik dalam rangka mendorong penghapusan
kekerasan seksual yang dilaporkan marak terjadi, ketimbang tidak memiliki
aturan sama sekali. Beberapa kasus yang terjadi belakangan menunjukkan betapa
korban justru menanggung beban ganda akibat ketiadaan pelindungan hukum yang
jelas.
Berdasarkan argumentasi
tersebut, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menyatakan bahwa
ketentuan dalam Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 sudah tepat dalam upaya
melindungi setiap orang dari tindakan kekerasan seksual yang terjadi di
lingkungan perguruan tinggi. Pengaturan serupa perlu dibentuk dan diterapkan di
berbagai sektor lain, seperti ketenagakerjaan dan kepegawaian. Di tengah
miskinnya keberpihakan negara pada korban kekerasan seksual, Permendikbudristek
Nomor 30 Tahun 2021 menunjukkan arah politik hukum pemerintah yang penting,
terutama mengingat pembahasan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual hingga kini
belum rampung dan substansinya terus mengalami reduksi keberpihakan pada
korban.
Pengaturan penanganan kekerasan seksual dikampus dalam
Permendikbud No. 30 Tahun 2021
Pasal 1 Ayat
(1) Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Penanganan Kekerasan Seksual menyebutkan
bahwa kekerasan seksual adalah setiap
perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau
fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender,
yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk
yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan
melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.[4]
Selain definisi sebagaimana telah diuraikan diatas, dalam permendikbud tersebut juga terdapat jenis-jenis pelecehan seksual antara lain diatur dalam Pasal 5 Ayat (1) dan (2) yang pada pointnya juga menyebutkan bahwa kekerasan seksual suatu tindakan terhadap pribadi korban tanpa kehendak atau persetujuan korban. Hal tersebut menimbulkan polemik karena mendapatkan respons dari berbagai pihak sebagaimana Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta pemerintah mencabut atau merevisi Permendikbud tersebut karena keberatan dengan frasa terkait persetujuan korban atau yang juga dikenal dengan istilah consent. Selain Politisi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera juga menyatakan melalui akun Twitter-nya, bahwa frasa "tanpa persetujuan korban" dia maknai sebagai "pelegalan kebebasan seks". Kemudian pendapat serupa juga disampaikan oleh salah satu organisasi Islam terbesar di Indonesia, Muhammadiyah yang menyatakan bahwa peraturan ini "mengandung unsur legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan".[7] Sebenarnya dalam Permendikbud tersebut telah dijelaskan maksud dari frasa persetujuan yaitu dalam Pasal 5 Ayat (3) yang menyebutkan bahwa persetujuan korban sebagaimana dimaksud pada Pasal 5 ayat (2) huruf b, huruf f, huruf g, huruf h, huruf l, dan huruf m, dianggap tidak sah dalam hal Korban:
1)
Memiliki usia belum
dewasa sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
2)
Mengalami situasi dimana
pelaku mengancam, memaksa, dan/atau menyalahgunakan kedudukannya;
3)
Mengalami kondisi di
bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, dan/atau narkoba;
4)
Mengalami sakit, tidak
sadar, atau tertidur;
5)
Memiliki kondisi fisik
dan/atau psikologis yang rentan;
6)
Mengalami kelumpuhan
sementara (tonic immobility);
dan/atau
7)
Mengalami kondisi
terguncang.
Berdasarkan polemik sebagaimana telah diuraikan diatas Perihal pasal
yang mengundang penolakan terhadap Permendikbudristek ini, yaitu Pasal 5 ayat
(2) huruf l dan m yang mencantumkan syarat “consent” atau “persetujuan korban”;
syarat itu adalah unsur yang memang digunakan dalam konstruksi tindakan
kekerasan. Itu kembali ditegaskan dengan sangat jelas dalam Pasal 5 ayat (3)
yang menyebutkan bahwa unsur-unsur “persetujuan korban” mencakup “tidak dalam
tekanan, sadar, dan tidak rentan”. Dalam hukum, adanya aspek persetujuan ini
berkaitan dengan kecakapan dan kedewasaan peserta didik. Oleh hukum, seorang
dewasa bisa menilai akibat hukum dari tiap-tiap pilihan perbuatan hukumnya.
Akan tetapi, pengakuan atas otonomi itu tidak berarti mengesampingkan
berlakunya nilai-nilai lain yang juga hidup di masyarakat, seperti moralitas,
kesusilaan, adat setempat, serta agama.
Adanya unsur “persetujuan korban” juga bukan berarti Pasal 5 ayat (2)
huruf l dan m melegalkan perbuatan zina. Fokus dari ketentuan Pasal 5 tersebut
adalah merumuskan ruang lingkup dari tindakan kekerasan seksual. Dan secara logika
formal, adalah sebuah sesat pikir apabila negasi dari rumusan aturan tersebut
dimaknai sebagai membenarkan perzinaan sepanjang ada persetujuan. Jika
dicermati, tidak ada pasal dalam Permendikbudristek ini yang secara tertulis
menunjukkan kebolehan terhadap perbuatan zina.
Justru, melalui Permendikbudristek ini, peluang untuk memasukkan pendidikan seksual, termasuk dari perspektif adat dan agama, dapat lebih terbuka dengan adanya kewajiban bagi perguruan tinggi untuk melakukan pencegahan, salah satunya dalam bentuk pembelajaran. Dan dalam aspek kemanfaatan, bagaimanapun, adanya Permendikbudristek ini jauh lebih baik dalam rangka mendorong penghapusan kekerasan seksual yang dilaporkan marak terjadi, ketimbang tidak memiliki aturan sama sekali. Beberapa kasus yang terjadi belakangan menunjukkan betapa korban justru menanggung beban ganda akibat ketiadaan pelindungan hukum yang jelas.
[1] Shopia Siti, https://m.hukumonline.com, Persoalan Kemanusiaan, 2013.
[6] Pasal 1 Ayat (1) Permendikbud No. 30 Tahun 2021 tentang Penanganan Kekerasan Seksual
Posting Komentar