- -->
Hubungan Kerja (PHK) Menurut KBBI adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan perusahaan/majikan. Hal ini dapat terjadi karena pengunduran diri, pemberhentian oleh perusahaan atau habis kontrak.[1] Adapun menurut UU Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan sebagaimana diubah dalam UU Ciptas Kerja, pengertian pemutusan hubungan kerja adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja / buruh dan pengusaha.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) mengakibatkan perjanjian antara karyawan dan perusahaan batal demi hukum. karyawan atau pekerja tidak lagi memiliki kewajiban terhadap perusahaan dan pihak perusahaan tidak lagi memberikan haknya kepada karyawan kecuali hak yang berkaitan dengan kompensasi karena sebab-sebab keluar yang diatur oleh peraturan yang berlaku.[2] Pemutusan hubungan kerja dapat diklasifikasikan dalam 3 tipe, yaitu:[3]
1. Hubungan kerja yang putus demi hukum, berarti hubungan kerja putus dengan sendirinya kedua belah pihak (perusahaan/pengusaha dan karyawan) bersifat pasif.
2. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pihak buruh berarti buruh aktif untuk diputuskan hubungan kerjanya
3. Hubungan kerja yang diputuskan oleh pengadilan berarti masing-masing pihak (perusahaan / pengusaha dan karyawan) meminta kepada pengadilan negeri agar hubungan kerjanya diputuskan berdasarkan alasan tertentu
Kemudian apabila dilihat jumlah pihak (pekerja)
yang diberhentikan, dapat diklasifikasi dalam 3 jenis, yaitu:[4]
1. PHK
individu, yaitu pemutusan hubungan kerja yang sifatnya individu, pribadi atau
orang per orang dengan batas waktu tertentu.
2. PHK
kelompok, yaitu pemutusan hubungan kerja kepada sekelompok karyawan.
3. PHK
massal, yaitu pemutusan yang dilakukan terhadap sejumlah karyawan dengan
berbagai sebab misalnya karena ketidakmampuan perusahaan sehingga terjadi
pengurangan karyawan seperti penutupan unit atau cabang atau pabrik tertentu
sehingga terjadi pengurangan karyawan (rasionalisasi).
Apabila dilihat dari segi jangka waktu
berlakunya PHK dapat dibedakan atas PHK yang bersifat sementara dan PHK yang
bersifat permanen.[5]
1. PHK
Sementara Menurut Sjafri, PHK sementara diklasifikasikan dalam dua bentuk :
a) Sementara
Tidak Bekerja
Dalam
kondisi tertentu karyawan dapat mengajukan cuti dengan berbagai alasan, antara
lain: motif kesehatan, keluarga, melanjutkan pendidikan, rekreasi, dan
sebagainya. Dalam situasi tersebut perusahaan mengizinkan karyawan untuk
meninggalkan pekerjaannya tanpa kehilangan status, misalnya dalam bentuk cuti
pendek atau panjang. Namun para karyawan terikat pada persetujuan perusahaan.
Berbeda dengan kondisi tersebut, kasus PHK di masa pandemi covid-19 lebih
disebabkan karena kondisi darurat, dengan alasan utama menjaga kesehatan dan
mencegah serta menjauhkan diri dari paparan virus covid -19.
b) Pemberhentian
Sementara
PHK yang bersifat sementara dapat dicontohkan berkurangnya produksi yang dihasilkan atau menumpuknya barang di gudang sulit dipasarkan dan sebagainya. Selama di”PHK” pekerja dapat mencari penghasilan lain. Pemberhentian hubungan kerja sementara ini sering disebut dengan pengrumahan.
2. PHK
Permanen
PHK
yang bersifat permanen sering disebut dengan pemberhentian yaitu terputusnya
ikatan kerja antara karyawan dan perusahaan dengan pemberhentian ini karyawan
yang bersangkutan akan kehilangan pekerjaan. Sejak pemberhentian tersebut yang
bersangkutan tidak lagi mempunyai mata pencaharian sebagai sumber penghasilan
pada perusahaan bersangkutan. Terdapat beberapa bentuk PHK permanen,
diantaranya:
a) Atrisi
Atrisi
atau pemberhentian tetap merupakan perpisahan seseorang dari perusahaan secara
tetap karena alasan pengunduran diri, pensiun atau meninggal. Bentuk khusus
dari atrisi di mana Departemen SDM dapat secara aktif mengendalikan adalah
pensiun dini.
b) Terminasi
Terminasi
merupakan istilah luas yang mencakup perpisahan permanen karyawan dari
perusahaan karena alasan tertentu. Istilah ini mengandung arti orang yang
dipecat dari perusahaan karena faktor kedisiplinan.
c) Kematian
PHK dapat dilaksanakan oleh perusahaan dengan
ketentuan berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003, yang
meliputi:
a) bila
karyawan/pekerja telah melakukan kesalahan berat
b) bila
karyawan/pekerja melanggar ketentuan perjanjian kerja bersama
c) bila
karyawan/pekerja terjerat tindak pidana ataupun ditahan oleh pihak berwajib
d) bila
perusahaan beralih status kepemilikan (penggabungan/peleburan)
e) bila
perusahaan tutup akibat merugi secara terus menerus selama 2 tahun
f) bila
perusahaan harus melakukan efisiensi
g) bila
perusahaan pailit/bangkrut
h) bila
karyawan/pekerja meninggal dunia
i) bila
karyawan/pekerja memasuki usia pensiun
j) bila
karyawan/pekerja mangkir selama 5 hari kerja tanpa pemberitahuan
Kerugian
yang disebabkan dari adanya penyebaran pandemi covid-19 membuat para pengusaha
untuk mencari upaya lain guna kurangi kerugian dari keadaan tersebut. Sehingga,
upaya yang dilakukan oleh perusahaan salah satunya yaitu melaksanakan PHK
kepada pekerjanya. Perusahaan melakukan PHK pada keadaan pandemi covid-19 pada
umumnya dilakukan oleh perusahaan karena alasan force majeure atau untuk efisiensi. Force majeure ialah suatu peristiwa yang terjadi dan tidak dapat
dihindari karena berada di luar jangkauan manusia.
Force majeure
menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) dalam Pasal 1244 dijelaskan
bahwa “Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian, dan bunga bila ia
tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakan perikatan itu atau tidak
tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang
tak terduga, yang tak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, walaupun tidak ada
iktikad buruk padanya.” Kemudian dalam Pasal 1245 KUHPerdata “Tidak ada
penggantian biaya, kerugian, dan bunga, bila karena keadaan memaksa atau karena
hal yang terjadi kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat
sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan sesuatu perbuatan yang terlarang
olehnya. Dari ketentuan Pasal 1244 jo. 1245 B.W., dapat diketahui adanya unsur
force majeur, yaitu:
a) Adanya
kejadian yang tak terduga
b) Adanya
halanga yang meneybabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan
c) Ketidakmampuan
tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur
d) Ketidakmampuan
itu tidak dapat dibebankan resiko kepada debitur.
Force
majeure juga diatur oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan
pada Pasal 164 ayat (1) yaitu:
“Pengusaha dapat
melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan
tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama
2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeure)”. Berdasarkan ketentuan
tersebut, perusahaan yang melakukan PHK karena alasan force majeure wajib
diiringi oleh tutupnya perusahaan dengan membuktikan audit dari akuntan publik
mengenai laporan keuangan selama 2 (dua) tahun terakhir sebagaimana ketentuan
Pasal 164 ayat (2) UndangUndang Ketenagakerjaan.
Selain alasan force majeure, perusahaan
menjadikan efsisiensi sebagai alasan untuk melaksanakan PHK pada kondisi
pandemi covid-19. Pada dasarnya efisiensi tidak dijelaskan dalam Undang-Undang
Ketenagakerjaan. Efisiensi dalam konteks perusahaan yaitu perihal mengenai
upaya perusahaan dalam menjalankan usaha agar kelangsungan usahanya terjaga
dengan setidak-tidaknya mengurangi atau tidak membuang biaya, tenaga, dan
waktu. Sehingga efisiensi dalam kaitannya dengan pekerja merupakan suatu cara
yang dilakukan untuk mengurangi jumlah pekerja karena alasan ekonomi
perusahaan.
Menurut R Subekti, suatu keadaan dikatakan force majeure yaitu; keadaan itu sendiri
di luar kekuasaan perusahaan dan memaksa, dan keadaan tersebut harus keadaan
yang tidak dapat diketahui pada waktu perjanjian ini dibuat, setidaknya
resikonya tidak dipikul oleh para pekerja yang di PHK.[6]
Riduan Syahrani menjelaskan overmacht sering juga disebut force majeur yang
lazimnya diterjemahkan dengan keadaan memaksa dan ada pula yang menyebut dengan
“sebab kahar”. Berdasarkan teori, force majeure dapat dibedakan menjadi dua
jenis yaitu force majeure absolut dan force majeure relatif. Force majeure/overmacht absolut terjadi
apabila pemenuhan prestasi itu tidak mungkin (ada unsur imposibilitas)
dilaksanakan oleh siapapun juga. Sedangkan force majeure relatif terjadi ketika
suatu perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan namun dengan pengorbanan atau
biaya yang sangat besar dari pihak debitur.[7]
Pandemi Covid-19 merupakan hal yang tidak terduga, tidak ada pihak yang mampu memprediksi apakah atau kapan Covid-19 dapat terjadi. Pemutusan hubungan kerja karena kondisi penyebaran Covid- 19 jika dihubungkan dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan, maka dapat dikaitkan dengan alasan force majure sebagaimana diatur Pasal 164 Undang-Undang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa :
a) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 (dua) tahun, atau keadaan memaksa (force majeur), dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
b) Kerugian perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibuktikan dengan laporan keuangan 2 (dua) tahun terakhir yang telah diaudit oleh akuntan publik.
c) Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturutturut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).
Dari ketentuan tersebut di atas dapat diartikan bahwa pemutusan hubungan kerja dapat dilakukan apabila perusahaan tutup dikarenakan keadaan memaksa yang disebabkan penyebaran Covid-19. Sehingga untuk dilakukan PHK sesuai ketentuan Pasal 164 Undang-Undang Ketenagakerjaan dipersyaratkan haruslah perusahaan tutup dan/atau melalukan efisiensi dengan terlebih dahulu melakukan langkah-langkah sebagaimana Surat Edaran Menteri Nomor SE907/MEN/PHI-PPHI/X/2004 tertanggal 28 Oktober 2004, yaitu :
“Namun apabila dalam suatu perusahaan mengalami kesulitan yang dapat membawa pengaruh terhadap ketenagakerjaan, maka pemutusan hubungan kerja haruslah merupakan upaya terakhir setelah dilakukan upaya sebagai berikut:
1) Mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas misalnya tingkat manager dan direktur;
2) Membatasi/menghapuskan kerja lembur;
3) Mengurangi Jam Kerja;
4) Mengurangi Hari Kerja;
5) Meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
6) Tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
7) Memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
Berdasarkan Pasal 61 huruf d Undang-Undang Ketenagakerjaan, yang dimaksud dengan keadaan memaksa adalah kejadian tertentu seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan. Saat keadaan memaksa, pemenuhan prestasi tidak akan memungkinkan atau terhalang. Sementara itu, saat terjadi perubahan keadaan, dapat menimbulkan keberatan untuk memenuhi perjanjian, jika dipenuhi, salah satu pihak akan menderita kerugian. Apabila dilihat dari segi jangka waktu berlakunya keadaan yang menyebabkan terjadinya force majeure, maka force majeure dapat dibedakan atas:[8]
1) Force majeure permanen adalah suatu force majeure dikatakan bersifat permanen jika sama sekali sampai kapan pun suatu prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin dilakukan lagi.
2) Force majeure temporer adalah suatu force majeure dikatakan bersifat temporer bilamana terhadap pemenuhan prestasi dari kontrak tersebut tidak mungkin dilakukan untuk sementara waktu.
Menurut Subekti, force majeure adalah suatu
alasan untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Kemudian, dalam KUH
Perdata tidak ditemukan istilah force majeure dengan tidak menjelaskan keadaan
memaksa yang seperti apa yang dapat menjelaskan istilah force majeure. Namun
memang ada beberapa istilahistilah yang dalam KUH Perdata yang mengatur tentang
ganti rugi, resiko untuk kontrak sepihak kemudian diambil untuk istilah force
majeure (Suadi). Dengan adanya force majeure tidak serta merta dapat dijadikan
alasan perusahaan untuk berlindung dari alasan keadaan memaksa karena hanya
ingin lari dari tanggung jawabnya, maka harus ada beberapa syarat supaya tidak
terjadi hal demikian.[9]
Menurut R Subekti, suatu keadaan dikatakan
force majeure yaitu; keadaan itu sendiri di luar kekuasaan perusahaan dan
memaksa, dan keadaan tersebut harus keadaan yang tidak dapat diketahui pada waktu
perjanjian ini dibuat, setidaknya resikonya tidak dipikul oleh para pekerja
yang di PHK. Dengan adanya beberapa syarat, maka seseorang tidak dapat semaunya
sendiri mengatakan dirinya mengalami force majeure. Dalam Pasal 47 ayat (1)
huruf j UU 2/2017 tentang Jasa Konstruksi menjelaskan terkait force majeure.
Menurut ketentuan pasal tersebut, maka force majeure dapat diartikan sebagai
kejadian yang timbul diluar kemauan dan kemmapuan para pihak yang menimbulkan
kerugian bagi salah satu pihak.[10]
Keadaan memaksa tersebut meliputi:[11]
1) Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya.
2) Keadaan memaksa yang bersifat mutlak (relatif) yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan melaksanakan hak dan kewajibannya.
Presiden Joko Widodo telah menetapkan pandemi Covid-19 sebagai status bencana nasional dengan menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 12 Tahun 2020 tentang Penetapan Bencana Nasional Non-Alam Penyebaran Covid-19 pada 13 April 2020. Dengan adanya penetapan status bencana nasional menjadi alasan kuat bagi debitur yang tidak mampu memenuhi kewajibannya karena disebabkan keadaan diluar prediksi serta tidak mampu dihindarkan. Dalam dunia hukum, istilah ini disebut dengan force majeure atau kondisi terpaksa (overmacht). Isi atau dalil dari Keppres No. 12 Tahun 2020 sama sekali tidak menghalangi perusahaan atau debitur untuk memenuhi kewajibannya dalam suatu perjanjian karena tidak ada pembatasan dan penghalang untuk masyarakat maupun pekerja dan pelaku usaha dalam melakukan aktifitas bisnis.[12] Unsur-unsur yang mampu dianggap menjadi force majeure yaitu:[13]
a) Peristiwa diakibatkan oleh alam.
b) Peristiwa diluar rencana yang telah diatur.
c) Peristiwa yang tidak bisa untuk menjalankan kewajiban pada kontrak dengan menyeluruh atau pada periode tertentu.
Dalam hal wabah covid-19 ini, bisa dikatakan
sebagai suatu peristiwa yang tidak terduga pada saat perjanjian atau kebijakan
itu dibuat. Artinya jika ada perjanjian yang dibuat pada saat wabah sedang
menjalar dan menjangkit pemutusan hubungan kerja tidak dapat dijadikan alasan
sebagai force majeure.
Pengusaha dimungkinkan menggunakan pandemi corona sebagai alasan kahar atau force majeure untuk melakukan pemutusan hubungan kerja mengingat pengaruhnya yang besar pada kegiatan operasional perusahaan. Terkendalanya kegiatan operasional berdampak terhadap pemasukan perusahaan, akibatnya perusahaan kesulitan dalam membayar upah pekerja yang merupakan kewajibannya. Disamping itu, pandemi corona dapat dikategorikan kedalam peristiwa yang sifatnya tidak terduga karena timbul diluar kekuasaan para pihak sehingga tidak memiliki kemampuan untuk mencegahnya. Bila dilihat dari segi jangka waktu berlakunya keadaan, pandemi corona termasuk kedalam force majeure yang bersifat temporer mengingat ketidaksanggupan pengusaha dalam melaksanakan kewajibannya hanya bersifat sementara sampai keadaan kembali normal.
Dalam
hukum ketenagakerjaan, perusahaan dan para pekerja memiliki hak dan kewajiban
yang harus diberikan dan dilindungi. Suatu perusahaan memiliki tanggung jawab
dan kewajiban untuk menjamin kesehatan, keselamatan, upah dan perlakuan yang
adil terhadap para pekerja. Karena para pekerja/buruh merupakan salah satu asset
terpenting dalam pengaruh kesuksesan suatu perusahaan.[14]
Suatu
perusahaan harus melindungi dan menjamin kebutuhan para pekerja/buruh. Dalam
ketenagakerjaan di Indonesia, hubungan kerja tidak serta merta berjalan dengan
optimal atau dapat dikatakan mengalami permasalahan yang bisa disebabkan oleh
si pekerja atau pun perusahaan. Sehingga memungkinkan terjadinya perselisihan
antara pekerja/serikat kerja dan pengusaha. Terutama dalam hal Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi pada masa pandemi Covid-19 yang telah
menyebar keseluruh dunia termasuk Indonesia. Sehingga, beberapa perusahaan
mengeluarkan kebijakan untuk memutus hubungan kerja dengan beberapa pekerja
yang dirasa mengakibatkan menambah kerugian perusahaan.
Pada
dasarnya pemutusan hubungan kerja dapat disebabkan oleh kondisi yang terjadi
diluar kemempuan pengusaha ataupun perusahaan sebagaimana tersebut dalam
Undangundang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kategori dalam
keadaan pandemi Covid-19 termasuk pemutusan hubungan kerja dalam keadaan
memaksa yang diperbolehkan. Prosedur pemutusan hubungan kerja akibat covid-19
yaitu:[15]
a) Berdasarkan
Undang-Undang Ketenagakerjaan, pemutusan hubungan kerja pada dasarnya hanya
dapat dilakukan ketika ada penutupan bisnis yaitu termasuk penutupan sebagian
atau pengurangan keseluruhan kegiatan bisnis, baik yang didahului dengan atau
tanpa kerugian selama dua tahun berturut-turut hal ini relevan untuk menentukan
hak pemutusan hubungan kerja.
b) Alasan
force majeure akan menjadi alasan yang dapat diterima untuk pemutusan hubungan
kerja karyawan dengan pembayaran pesangon yang di batas minimal.
c) Jika
bisnis tidak ditutup, pemutusan hubungan kerja karyawan masih dapat dilakukan
tetapi hanya dengan persetujuan tertulis dari karyawan melalui perjanjian
pengakhiran bersama.
d) Jika
tanpa perjanjian, pemutusan yang diusulkan akan dianggap sebagai sengketa dan
hanya dapat diselesaikan melalui pengadilan tenaga kerja, suatu proses yang
dapat memakan waktu enam bulan atau lebih, di mana gaji karyawan tetap harus
dibayar.
Apabila Pandemi Covid-19 dikaitkan dengan Pasal
164 ayat (1) Undang-undang Ketenagakerjaan, mengenai alasan PHK karena force
majeure, maka dapat dikatakan bahwa Covid-19 dapat digolongkan menjadi PHK
dengan alasan force majeure karena peristiwa tersebut timbul di luar kemampuan
pengusaha. Namun, kondisi tersebut tidak dapat secara langsung menjadi alasan
oleh pengusaha untuk mem-PHK pekerjanya dengan alasan force majeure secara
sepihak dan sewenang-wenang. Ketentuan PHK dengan alasan perusahaan mengalami
force majeure sesuai yang tertera dalam Pasal 164 ayat (1) adalah pengusaha
bisa mem-PHK apabila perusahaan tutup karena force majeure. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa apabila perusahaan masih melakukan aktivitas secara
normal serta perusahaan tersebut tidak ditutup permanen, maka pengusaha tidak
dapat serta merta menggunakan alasan force majeure untuk mem-PHK para
pekerjanya.[16] Alasan
force majeure dapat digunakan pengusaha apabila Covid-19 menyebabkan perusahaan
mengalami kerugian yang mengakibatkan produksi tidak lagi dapat berjalan atau
dengan kata lain tutup.
Dari penjelasan diatas maka pandemi Covid-19 bisa dikategorikan menjadi peristiwa force majeure. Apabila dalam kondisi ini pengusaha tidak memungkinkan untuk mem-PHK pekerja dengan alasan merugi atau force majeure, maka pengusaha dapat menggunakan alasan efisiensi sesuai ketentuan di dalam Undang-undang Ketenagakerjaan Pasal 164 ayat (3).
[1] Moh.Muslim, PHK Pada Masa Pandemi Covid-19, Jurnal Manajemen Bisnis, Vol.23 No.3, 2020, Hlm 357-370.
[6] Khanti Rahayu, Tinjauan Yuridis Pemutusan Hubungan Kerja Pada Masa Pembatasan Sosial Berskala Besar Akibat Covid-19, National Law Journal, Vo.4 No.1, 2021, Hlm 381-398.
[9] Imas Novita Juaningsih, Analisis Kebijakan PHK Bagi Para Pekerja Pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia, Adalah : Buletin Hukum dan Keadilan, Vol.4 No.1, 2020, Hlm 189-196.
[12] Khalda Fadilah, Andriyanto Adhi Nugroho, Pemutusan Hubungan Kerja Pada Saat Pandemi Covid-19 Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif Hukum Ketenagakerjaan, Justitia : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, Vol.8 No.1, 2021, Hlm 334-349.
[14] Imas Novita Juaningsih, Analisis Kebijakan PHK Bagi Para Pekerja
Pada Masa Pandemi Covid-19 di Indonesia, Adalah : Buletin Hukum dan
Keadilan, Vol.4 No.1, 2020, Hlm 189-196.
[15] Khanti Rahayu, Tinjauan Yuridis Pemutusan Hubungan Kerja
Pada Masa Pembatasan Sosial Berskala Besar Akibat Covid-19, National Law
Journal, Vo.4 No.1, 2021, Hlm 381-398.
[16] Ismi
Hasanah, Dwi Aryanti Ramadhani, Pemenuhan
Hak Pekerja Setelah Pemutusan Hubungan Kerja Di Masa Sebelum dan Pada Saat
Pandemi Civid-19, Gorontalo Law Review, Vol 4 No.1, 2021, Hlm 20-32.
[17] Khanti
Rahayu, Tinjauan Yuridis Pemutusan
Hubungan Kerja Pada Masa Pembatasan Sosial Berskala Besar Akibat Covid-19, National
Law Journal, Vo.4 No.1, 2021, Hlm 381-398.
[18] Khalda
Fadilah, Andriyanto Adhi Nugroho, Pemutusan
Hubungan Kerja Pada Saat Pandemi Covid-19 Di Indonesia Ditinjau Dari Perspektif
Hukum Ketenagakerjaan, Justitia : Jurnal Ilmu Hukum dan Humaniora, Vol.8
No.1, 2021, Hlm 334-349
Posting Komentar