- -->
Perkembangan penggunaan
media elektronik dengan menggunakan internet telah mempengaruhi aspek kebutuhan
dan perilaku manusia. Kehadiran internet yang tidak mengenal batas dan tanpa
sekat (border less) telah meluluhlantakkan batas- batas wilayah secara
geografis, baik dalam skala nasional dan internasional. Aspek pergaulan manusia
secara global memungkinkan terjadinya beragam transaksi yang terjadi setiap
hari. Munculnya transaksi perdagangan elektronik (e-commerce) yang
melahirkan transkrip elektronik sebagai bukti pegangan kepada para pihak jika
terjadi sengketa dikemudian hari.
Proses pembuktian dalam
perkara perdata yang hanya mengenal alat bukti secara terbatas dan limitatif
seperti dalam pasal 164 HIR/284 RBg, serta pasal 1866 KUH Perdata membawa
problem tersendiri dalam proses pembuktian di pengadilan. Penegasan mengenai
jenis alat bukti yang diakui dalam hukum acara perdata, membawa implikasi bahwa
selain dari alat bukti yang disebutkan secara tegas dalam praktik hukum acara,
tidak dapat diakui/tidak sah sebagai alat bukti. Hal ini disatu sisi, tentu
akan membawa permasalahan yang cukup serius karena tidak jarang praktek dalam
lalu lintas hubungan keperdataan kini telah banyak dilakukan melalui media
elektronik (internet) seperti jual beli dan hubungan kontrak.
Permasalahan mengenai
adanya alat bukti selain yang disebutkan secara terbatas dalam praktik hukum
acara perdata, serta munculnya alat bukti baru (elektronik) karena pola
hubungan keperdataan manusia yang semakin berkembang akan membawa kepada
suasana yang penuh dengan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum yang
penulis maksud disini adalah aspek pengaturan mengenai alat bukti elektronik
yang belum dapat diterima secara utuh dalam proses pembuktian perkara perdata.
Dalam praktik perkara di persidangan, aspek kepastian hukum merupakan unsur
penting dalam proses penegakan hukum, sehingga dengan adanya kepastian hukum
tersebut hak sesorang akan terlindungi serta, bertujuan untuk mencegah tindakan
main hakim sendiri (eigenrichting).
Pengakuan terhadap
kedudukan alat bukti elektronik selain yang diatur secara terbatas dan
limitatif ditinjau dari aspek kepastian hukum, akan tercapai apabila telah ada
aturan hukum secara tertulis yang telah diakui untuk mengatur hal tersebut.
Kehadiran dari sebuah aturan sebagai sebuah pranata akan membawa konsekuensi
kepada pelaksanaan aturan yang telah menjadi pranata tersebut, sehingga bagi
siapa saja yang melanggar akan mendapat sanksi atas perbuatan tersebut.
Permasalahan yang muncul
dalam proses pembuktian dalam perkara perdata seperti diatur dalam HIR dan RBg
sebagai warisan kolonial Belanda, belum mengakomodir mengenai penggunaan dan
kedudukan alat bukti elektronik dalam proses pemeriksaan perkara perdata di
pengadilan. Hal ini merupakan suatu kewajaran karena, kedudukan HIR dan RBg
yang lahir serta, diberlakukan beberapa abad yang lalu belum menggunakan media
elektronik dalam lalu lintas hubungan keperdataan. Hubungan keperdataan yang
berlaku ketika HIR dan RBg diterapkan dalam praktek hukum acara perdata pada
zaman kolonial Belanda hanya terbatas kepada hubungan keperdataan yang bersifat
konvensional.
Keberlakuan HIR dan RBg
pasca kemerdekaan Republik Indonesia sebagai pedoman praktik pemeriksaan
perkara di pengadilan yang meliputi perkara pidana dan perdata, diakui
keberlakuannya oleh pemerintah berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951.
Pembuktian dalam praktik perkara perdata yang berlangsung hingga saat ini,
sepenuhnya masih bersandar kepada prinsip yang dianut oleh HIR dan RBg.
Persoalan kodifikasi hukum acara perdata yang baru, menurut Retnowulan Sutantio
dan Iskandar Oeripkartawinata menyatakan hingga saat ini hukum acara perdata
nasional belum diatur dalam undang-undang meskipun rancangan undang- undang
tentang hukum acara perdata dalam lingkungan peradilan umum telah disahkan oleh
sidang pleno BP LHPN ke XIII tanggal 12 Juni 1967.[1]
Meningkatnya laju dan
perkembangan pergaulan dalam kehidupan manusia turut mempengaruhi aspek
perkembangan hukum disatu sisi. Kehadiran HIR dan RBg sebagai produk hukum
beberapa abad yang lalu, secara otomatis tidak dapat menampung aspek
perkembangan hukum yang terjadi, ketika didasarkan kepada perkembangan
pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, mengenai peristiwa hukum dalam lalu
lintas hubungan keperdataan.
Permasalahan mengenai
penggunaan dan kedudukan alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara
perdata di pengadilan, tidak dapat dikatakan telah tuntas meskipun terdapat
ketentuan undang-undang yang mengatur kedudukan alat bukti elektronik secara
sah dikategorikan sebagai alat bukti. Proses pembuktian di pengadilan baik
pidana dan perdata, merupakan sebuah tahapan/rangkaian yang sangat penting
karena, pada tahapan pembuktian seorang terdakwa akan dinyatakan bersalah, atau
seorang tergugat dinyatakan kalah oleh majelis hakim. Adanya pengakuan terhadap
kedudukan alat bukti elektronik, masih menyisakan sebuah pertanyaan penting,
yakni bagaimanakah kekuatan pembuktian dari alat bukti elektronik tersebut.
Analisis kekuatan
pembuktian dari suatu alat bukti elektronik, sebagaimana tercantum dalam pasal
5 ayat (4) menyebutkan bahwa alat bukti elektronik tidak dapat berlaku untuk
hal-hal tertentu seperti:
1. Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam
bentuk tertulis.
2. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang
harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat
pembuat akta.
Pemahaman yang dapat disimpulkan dari redaksi pasal di atas, bahwa
suatu alat bukti elektronik tertentu yang dinyatakan tidak berlaku oleh
undang-undang, harus dibuat secara tertulis atau harus dibuat dalam bentuk akta
notaris atau pejabat pembuat akta. Pengecualian mengenai kedudukan serta
kekuatan alat bukti elektronik selain yang disebutkan pada pasal di atas,
dinyatakan sah dan dapat diterima dalam proses pembuktian di pengadilan.
Mengenai, kekuatan pembuktian yang melekat pada suatu alat bukti elektronik,
secara otomatis masih perlu untuk dikaji karena, hal ini tentu akan mengundang
perbedaan pendapat di antara kalangan, sehingga secara normatif-positif
kekuatan alat bukti elektronik dapat ditentukan.
Rumusan redaksi pasal 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang
Informasi dan transaksi Elektronik (ITE) dapat menjadi adanya peneguhan suatu
hak atau perisitwa yang menjadi dasar adanya suatu persengketaan sebagaimana
redaksi bunyi pasal 163 HIR/283 RBg. Rumusan pasal 7 Undang-undang Nomor 11
Tahun 2008 selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang yang menyatakan
hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain berdasarkan
adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa
Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari
Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan”.
Kedudukan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat
menjadi dasar adanya suatu persengketaan seperti rumusan pasal 7 di atas,
menurut hemat penulis merupakan perluasan mengenai dasar gugatan/sengketa yang
tercantum dalam hukum acara perdata pasal 163 HIR/283 RBg/1865 KUH Perdata.
Rumusan pasal 7 yang mengakui informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik
sebagai titik pangkal adanya suatu persengketaan, merupakan bentuk perlindungan
hukum yang diberikan oleh negara melalui undang-undang bagi pihak yang
melakukan transaksi hubungan keperdataan di era globalisasi.
Ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan yang secara sah dan
tegas mengakui informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai dasar
adanya suatu persengketaan, maka menurut hemat penulis, kekuatan pembuktian
yang melekat pada alat bukti elektronik harus ditentukan. Permasalahan mengenai
kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti elektronik selanjutnya dapat dilihat
dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik (ITE). Penjelasan umum undang-undang tersebut menyatakan
bahwa “Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen
elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas
kertas”
Kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti elektronik, oleh
Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE) yang menyatakan bahwa dokumen elektronik disetarakan dengan dokumen yang
dibuat di atas kertas. Hal ini, berarti bahwa kekuatan pembuktian dokumen
elektronik dalam praktik perkara perdata dipersamakan dengan kekuatan alat
bukti tulisan (surat). Penyetaraan kedudukan dokumen elektronik yang
disetarakan dengan dokumen yang di buat di atas kertas, dapat memunculkan
sebuah pertanyaan, yakni apakah salinan dokumen elektronik mempunyai kekuatan
pembuktian yang sama dengan dokumen asli, mengingat prinsip suatu dokumen
elektronik tidak dapat dibedakan dengan dokumen yang asli, sebagaimana halnya foto
copy sebagai sebuah salinan tentu dapat dibedakan dengan dokumen yang asli.
Kedudukan salinan suatu dokumen elektronik menurut penjelasan umum
pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) menyatakan prinsip penggandaan sistem elektronik mengakibatkan
informasi yang asli tidak dapat dibedakan dengan salinannya, sehingga hal
tersebut tidak relevan lagi untuk dibedakan. Mengenai hal tersebut, dapat
dilihat penjelasan pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi
dan Transaksi Elektronik (ITE).
Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan penjelasan pasal 6 di atas
menurut penulis, bahwa dokumen elektronik tidak memerlukan adanya suatu dokumen
asli dalam proses pembuktian, sepanjang dokumen elektronik tersebut dapat
diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, serta dapat dipertanggung jawabkan
untuk dapat menerangkan suatu keadaan, sebagaimana redaksi rumusan pasal 6
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Kekuatan pembuktian dokumen elektronik yang disetarakan dengan dokumen
yang dibuat di atas kertas, menurut penjelasan umum Undang-undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), menurut penulis
dipandang perlu untuk memahami kekuatan pembuktian alat bukti tertulis (surat)
sebagaimana yang tercantum dalam KUH Perdata. Kekuatan pembuktian dokumen
elektronik yang secara tegas diakui, dan disetarakan dengan dokumen yang dibuat
diatas kertas, sangat memungkinkan untuk dilakukan, mengingat sifat dari
informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat dialihkan kedalam
beberapa bentuk atau dicetak dalam bentuk print out sehingga,
dipersamakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Dokumen yang dibuat di
atas kertas, dalam praktik hukum acara perdata, dikategorikan sebagai alat
bukti tertulis (surat). Kedudukan alat bukti tertulis dalam praktik perkara
perdata adalah termasuk kedalam alat bukti yang paling utama. Sudikno Mertokusumo
membagi alat bukti tertulis (surat) ke dalam 2 (dua) kategori bentuk yakni,
surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta.[2]
Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pembuktian perdata, yang
menyatakan bahwa akta autentik adalah akta yang bentuknya telah ditentukan oleh
undang-undang, serta dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat umum yang
berwenang. Kekuatan pembuktian yang melekat pada suatu akta autentik merupakan
bukti sempurna dan mengikat bagi kedua belah pihak. Terhadap adanya cacat
formil yang terkandung dalam sebuah akta autentik, maka kekuatan pembuktian
yang melekat tersebut, hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana akta
bawah tangan. Kekuatan pembuktian yang melekat pada akta autentik meskipun
bersifat sempurna, dan mengikat bagi kedua belah pihak tetap dimungkinkan untuk
dilumpuhkan dengan adanya bukti lawan.
Kedudukan informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang
bersifat dapat dialihkan ke dalam beberapa bentuk media lainnya atau dapat di print
out sehingga dapat berbentuk dokumen tertulis, jika dipersfektikan dalam
ranah hukum acara perdata, tetap membuka peluang kemungkinan adanya bukti lawan
(tegenbewijs). Penulis berpendapat bahwa hasil print out dari
dokumen elektronik seperti, transaksi jual beli on line misalnya,
kedudukan transkrip pembayaran elektronik yang dapat dipergunakan sebagai alat
bukti adanya sengketa jual beli, tetap membuka kemungkinan adanya upaya untuk
mengingkari keabsahan suatu alat bukti, dalam hal ini pihak yang mengingkari
alat bukti transkrip tersebut dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa hasil print
out transkrip elektronik tersebut tidak benar.
Hemat penulis, alat bukti elektronik merupakan alat bukti sebagai
perluasan jenis alat bukti yang telah ditentukan secara limitatif dan bersifat
terbatas baik yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP, maupun dalam pasal 1866 KUH
Perdata. Mengenai kekuatan pembuktian yang melekat dalam suatu alat bukti
elektronik tertentu, penulis berpendapat bahwa alat bukti elektronik tetap memungkinkan
untuk dilumpuhkan dengan adanya bukti lawan (tegenbewijs). Hal ini tidak
berarti, bahwa alat bukti elektronik, mempunyai kekuatan pembuktian yang
bersifat final yang tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti apapun.
Kesimpulan
Nilai kekuatan pembuktian
yang melekat dalam suatu alat bukti elektronik secara yuridis-normatif
dipersamakan dengan dokumen yang tertuang di atas kertas. Penegasan ini
bermakna, bahwa kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti elektronik
dalam perkara perdata dapat dipersamakan dengan kekuatan pembuktian alat bukti
tertulis (surat). Kekuatan pembuktian elektronik memiliki nilai pembuktian yang
sama dengan alat bukti yang diakui di pengadilan, masing-masing alat bukti
memiliki kekuatan pembuktian tersendiri.
[1] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op. Cit, hal 5.
[2] Sudikno
Mertokusumo, Hukum Acara Perdata
Indoensia edisi revisi, Cet. V, Cahaya Atma Pustaka Yogyakarta, 2013 hal
158.
Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2013, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Cet. II, Kencana, Jakarta.
Alimuddin, 2014, Pembuktian anak
dalam Acara Peradilan Agama, Cet. I, Nuansa Aulia, Bandung.
D. Y. Witanto, 2013, Hukum Acara Perdata
tentang Ketidakhadiran Para Pihak dalam Proses Berperkara (Gugur dan Verstek),
Cet.I, Mandar Maju, Bandung.
Hari Sasangka dan Ahmad Rifai, 2005, Perbandingan
HIR dengan RBG: Disertai dengan Yurisprudensi MARI dan Kompilasi Peraturan
Hukum Acara Perdata, Cet. I, Mandar Maju, Bandung.
Hilman Hadikusuma, 2010, Bahasa
Hukum Indonesia, Cet. IV, Alumni, Bandung.
M. Natsir Asnawi, 2013, Hukum
Pembuktian Perkara Perdata di Pengadilan: Kajian Kontekstual mengenai Sistem,
Asas, Prinsip, Pembebanan, dan Standar Pembuktian, Cet. I, UII Press,
Yogyakarta.
M. Yahya Harahap, 2012, Hukum
Acara Perdata tentang Gugatan,Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan
Pengadilan, Cet. XII, Sinar Grafika, Jakarta.
Munir Fuady, 2012, Teori Hukum
Pembuktian Pidana dan Perdata Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Posting Komentar