- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Yurisdiksi ICJ (INTERNATIONAL COURT JUSTICE) Dalam Penyelesaian Pelanggaran Ham (Genosida) Terhadap Suku Rohingya Di Myanmar -Karyahukum

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak lahiriah yang diperoleh setiap individu sejak lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Perlindungan dan Pengak…

Kekuatan Alat Bukti Elektronik Dalam Sistem Pembuktian Perkara Perdata-karyahukum

 


Perkembangan penggunaan media elektronik dengan menggunakan internet telah mempengaruhi aspek kebutuhan dan perilaku manusia. Kehadiran internet yang tidak mengenal batas dan tanpa sekat (border less) telah meluluhlantakkan batas- batas wilayah secara geografis, baik dalam skala nasional dan internasional. Aspek pergaulan manusia secara global memungkinkan terjadinya beragam transaksi yang terjadi setiap hari. Munculnya transaksi perdagangan elektronik (e-commerce) yang melahirkan transkrip elektronik sebagai bukti pegangan kepada para pihak jika terjadi sengketa dikemudian hari.

Proses pembuktian dalam perkara perdata yang hanya mengenal alat bukti secara terbatas dan limitatif seperti dalam pasal 164 HIR/284 RBg, serta pasal 1866 KUH Perdata membawa problem tersendiri dalam proses pembuktian di pengadilan. Penegasan mengenai jenis alat bukti yang diakui dalam hukum acara perdata, membawa implikasi bahwa selain dari alat bukti yang disebutkan secara tegas dalam praktik hukum acara, tidak dapat diakui/tidak sah sebagai alat bukti. Hal ini disatu sisi, tentu akan membawa permasalahan yang cukup serius karena tidak jarang praktek dalam lalu lintas hubungan keperdataan kini telah banyak dilakukan melalui media elektronik (internet) seperti jual beli dan hubungan kontrak.

Permasalahan mengenai adanya alat bukti selain yang disebutkan secara terbatas dalam praktik hukum acara perdata, serta munculnya alat bukti baru (elektronik) karena pola hubungan keperdataan manusia yang semakin berkembang akan membawa kepada suasana yang penuh dengan ketidakpastian hukum. Ketidakpastian hukum yang penulis maksud disini adalah aspek pengaturan mengenai alat bukti elektronik yang belum dapat diterima secara utuh dalam proses pembuktian perkara perdata. Dalam praktik perkara di persidangan, aspek kepastian hukum merupakan unsur penting dalam proses penegakan hukum, sehingga dengan adanya kepastian hukum tersebut hak sesorang akan terlindungi serta, bertujuan untuk mencegah tindakan main hakim sendiri (eigenrichting).

Pengakuan terhadap kedudukan alat bukti elektronik selain yang diatur secara terbatas dan limitatif ditinjau dari aspek kepastian hukum, akan tercapai apabila telah ada aturan hukum secara tertulis yang telah diakui untuk mengatur hal tersebut. Kehadiran dari sebuah aturan sebagai sebuah pranata akan membawa konsekuensi kepada pelaksanaan aturan yang telah menjadi pranata tersebut, sehingga bagi siapa saja yang melanggar akan mendapat sanksi atas perbuatan tersebut.

Permasalahan yang muncul dalam proses pembuktian dalam perkara perdata seperti diatur dalam HIR dan RBg sebagai warisan kolonial Belanda, belum mengakomodir mengenai penggunaan dan kedudukan alat bukti elektronik dalam proses pemeriksaan perkara perdata di pengadilan. Hal ini merupakan suatu kewajaran karena, kedudukan HIR dan RBg yang lahir serta, diberlakukan beberapa abad yang lalu belum menggunakan media elektronik dalam lalu lintas hubungan keperdataan. Hubungan keperdataan yang berlaku ketika HIR dan RBg diterapkan dalam praktek hukum acara perdata pada zaman kolonial Belanda hanya terbatas kepada hubungan keperdataan yang bersifat konvensional.

Keberlakuan HIR dan RBg pasca kemerdekaan Republik Indonesia sebagai pedoman praktik pemeriksaan perkara di pengadilan yang meliputi perkara pidana dan perdata, diakui keberlakuannya oleh pemerintah berdasarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1951. Pembuktian dalam praktik perkara perdata yang berlangsung hingga saat ini, sepenuhnya masih bersandar kepada prinsip yang dianut oleh HIR dan RBg. Persoalan kodifikasi hukum acara perdata yang baru, menurut Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata menyatakan hingga saat ini hukum acara perdata nasional belum diatur dalam undang-undang meskipun rancangan undang- undang tentang hukum acara perdata dalam lingkungan peradilan umum telah disahkan oleh sidang pleno BP LHPN ke XIII tanggal 12 Juni 1967.[1]

Meningkatnya laju dan perkembangan pergaulan dalam kehidupan manusia turut mempengaruhi aspek perkembangan hukum disatu sisi. Kehadiran HIR dan RBg sebagai produk hukum beberapa abad yang lalu, secara otomatis tidak dapat menampung aspek perkembangan hukum yang terjadi, ketika didasarkan kepada perkembangan pergaulan dalam kehidupan sehari-hari, mengenai peristiwa hukum dalam lalu lintas hubungan keperdataan.

Permasalahan mengenai penggunaan dan kedudukan alat bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara perdata di pengadilan, tidak dapat dikatakan telah tuntas meskipun terdapat ketentuan undang-undang yang mengatur kedudukan alat bukti elektronik secara sah dikategorikan sebagai alat bukti. Proses pembuktian di pengadilan baik pidana dan perdata, merupakan sebuah tahapan/rangkaian yang sangat penting karena, pada tahapan pembuktian seorang terdakwa akan dinyatakan bersalah, atau seorang tergugat dinyatakan kalah oleh majelis hakim. Adanya pengakuan terhadap kedudukan alat bukti elektronik, masih menyisakan sebuah pertanyaan penting, yakni bagaimanakah kekuatan pembuktian dari alat bukti elektronik tersebut.

Analisis kekuatan pembuktian dari suatu alat bukti elektronik, sebagaimana tercantum dalam pasal 5 ayat (4) menyebutkan bahwa alat bukti elektronik tidak dapat berlaku untuk hal-hal tertentu seperti:

1.   Surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis.

2. Surat beserta dokumennya yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau akta yang dibuat oleh pejabat pembuat akta.

Pemahaman yang dapat disimpulkan dari redaksi pasal di atas, bahwa suatu alat bukti elektronik tertentu yang dinyatakan tidak berlaku oleh undang-undang, harus dibuat secara tertulis atau harus dibuat dalam bentuk akta notaris atau pejabat pembuat akta. Pengecualian mengenai kedudukan serta kekuatan alat bukti elektronik selain yang disebutkan pada pasal di atas, dinyatakan sah dan dapat diterima dalam proses pembuktian di pengadilan. Mengenai, kekuatan pembuktian yang melekat pada suatu alat bukti elektronik, secara otomatis masih perlu untuk dikaji karena, hal ini tentu akan mengundang perbedaan pendapat di antara kalangan, sehingga secara normatif-positif kekuatan alat bukti elektronik dapat ditentukan.

Rumusan redaksi pasal 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi Elektronik (ITE) dapat menjadi adanya peneguhan suatu hak atau perisitwa yang menjadi dasar adanya suatu persengketaan sebagaimana redaksi bunyi pasal 163 HIR/283 RBg. Rumusan pasal 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Setiap orang yang menyatakan hak, memperkuat hak yang telah ada, atau menolak hak orang lain berdasarkan adanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik harus memastikan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang ada padanya berasal dari Sistem Elektronik yang memenuhi syarat berdasarkan Peraturan Perundang-undangan”.

Kedudukan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat menjadi dasar adanya suatu persengketaan seperti rumusan pasal 7 di atas, menurut hemat penulis merupakan perluasan mengenai dasar gugatan/sengketa yang tercantum dalam hukum acara perdata pasal 163 HIR/283 RBg/1865 KUH Perdata. Rumusan pasal 7 yang mengakui informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai titik pangkal adanya suatu persengketaan, merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh negara melalui undang-undang bagi pihak yang melakukan transaksi hubungan keperdataan di era globalisasi.

Ketentuan mengenai peraturan perundang-undangan yang secara sah dan tegas mengakui informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik sebagai dasar adanya suatu persengketaan, maka menurut hemat penulis, kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti elektronik harus ditentukan. Permasalahan mengenai kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti elektronik selanjutnya dapat dilihat dalam penjelasan umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Penjelasan umum undang-undang tersebut menyatakan bahwa “Dalam kegiatan e-commerce antara lain dikenal adanya dokumen elektronik yang kedudukannya disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas”

Kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti elektronik, oleh Undang- undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang menyatakan bahwa dokumen elektronik disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Hal ini, berarti bahwa kekuatan pembuktian dokumen elektronik dalam praktik perkara perdata dipersamakan dengan kekuatan alat bukti tulisan (surat). Penyetaraan kedudukan dokumen elektronik yang disetarakan dengan dokumen yang di buat di atas kertas, dapat memunculkan sebuah pertanyaan, yakni apakah salinan dokumen elektronik mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan dokumen asli, mengingat prinsip suatu dokumen elektronik tidak dapat dibedakan dengan dokumen yang asli, sebagaimana halnya foto copy sebagai sebuah salinan tentu dapat dibedakan dengan dokumen yang asli.

Kedudukan salinan suatu dokumen elektronik menurut penjelasan umum pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menyatakan prinsip penggandaan sistem elektronik mengakibatkan informasi yang asli tidak dapat dibedakan dengan salinannya, sehingga hal tersebut tidak relevan lagi untuk dibedakan. Mengenai hal tersebut, dapat dilihat penjelasan pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Kesimpulan yang dapat ditarik berdasarkan penjelasan pasal 6 di atas menurut penulis, bahwa dokumen elektronik tidak memerlukan adanya suatu dokumen asli dalam proses pembuktian, sepanjang dokumen elektronik tersebut dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, serta dapat dipertanggung jawabkan untuk dapat menerangkan suatu keadaan, sebagaimana redaksi rumusan pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Kekuatan pembuktian dokumen elektronik yang disetarakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas, menurut penjelasan umum Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), menurut penulis dipandang perlu untuk memahami kekuatan pembuktian alat bukti tertulis (surat) sebagaimana yang tercantum dalam KUH Perdata. Kekuatan pembuktian dokumen elektronik yang secara tegas diakui, dan disetarakan dengan dokumen yang dibuat diatas kertas, sangat memungkinkan untuk dilakukan, mengingat sifat dari informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang dapat dialihkan kedalam beberapa bentuk atau dicetak dalam bentuk print out sehingga, dipersamakan dengan dokumen yang dibuat di atas kertas. Dokumen yang dibuat di atas kertas, dalam praktik hukum acara perdata, dikategorikan sebagai alat bukti tertulis (surat). Kedudukan alat bukti tertulis dalam praktik perkara perdata adalah termasuk kedalam alat bukti yang paling utama. Sudikno Mertokusumo membagi alat bukti tertulis (surat) ke dalam 2 (dua) kategori bentuk yakni, surat yang merupakan akta dan surat-surat lainnya yang bukan akta.[2]

Ketentuan peraturan perundang-undangan tentang pembuktian perdata, yang menyatakan bahwa akta autentik adalah akta yang bentuknya telah ditentukan oleh undang-undang, serta dibuat oleh dan/atau dihadapan pejabat umum yang berwenang. Kekuatan pembuktian yang melekat pada suatu akta autentik merupakan bukti sempurna dan mengikat bagi kedua belah pihak. Terhadap adanya cacat formil yang terkandung dalam sebuah akta autentik, maka kekuatan pembuktian yang melekat tersebut, hanya mempunyai kekuatan pembuktian sebagaimana akta bawah tangan. Kekuatan pembuktian yang melekat pada akta autentik meskipun bersifat sempurna, dan mengikat bagi kedua belah pihak tetap dimungkinkan untuk dilumpuhkan dengan adanya bukti lawan.

Kedudukan informasi elektronik dan/atau Dokumen elektronik yang bersifat dapat dialihkan ke dalam beberapa bentuk media lainnya atau dapat di print out sehingga dapat berbentuk dokumen tertulis, jika dipersfektikan dalam ranah hukum acara perdata, tetap membuka peluang kemungkinan adanya bukti lawan (tegenbewijs). Penulis berpendapat bahwa hasil print out dari dokumen elektronik seperti, transaksi jual beli on line misalnya, kedudukan transkrip pembayaran elektronik yang dapat dipergunakan sebagai alat bukti adanya sengketa jual beli, tetap membuka kemungkinan adanya upaya untuk mengingkari keabsahan suatu alat bukti, dalam hal ini pihak yang mengingkari alat bukti transkrip tersebut dibebani kewajiban untuk membuktikan bahwa hasil print out transkrip elektronik tersebut tidak benar.

Hemat penulis, alat bukti elektronik merupakan alat bukti sebagai perluasan jenis alat bukti yang telah ditentukan secara limitatif dan bersifat terbatas baik yang tercantum dalam pasal 184 KUHAP, maupun dalam pasal 1866 KUH Perdata. Mengenai kekuatan pembuktian yang melekat dalam suatu alat bukti elektronik tertentu, penulis berpendapat bahwa alat bukti elektronik tetap memungkinkan untuk dilumpuhkan dengan adanya bukti lawan (tegenbewijs). Hal ini tidak berarti, bahwa alat bukti elektronik, mempunyai kekuatan pembuktian yang bersifat final yang tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti apapun.

Kesimpulan

Nilai kekuatan pembuktian yang melekat dalam suatu alat bukti elektronik secara yuridis-normatif dipersamakan dengan dokumen yang tertuang di atas kertas. Penegasan ini bermakna, bahwa kekuatan pembuktian yang melekat pada alat bukti elektronik dalam perkara perdata dapat dipersamakan dengan kekuatan pembuktian alat bukti tertulis (surat). Kekuatan pembuktian elektronik memiliki nilai pembuktian yang sama dengan alat bukti yang diakui di pengadilan, masing-masing alat bukti memiliki kekuatan pembuktian tersendiri.



[1] Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Op. Cit, hal 5.

[2] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indoensia edisi revisi, Cet. V, Cahaya Atma Pustaka Yogyakarta, 2013 hal 158.

 Daftar Bacaan

Achmad Ali dan Wiwie Heryani, 2013, Asas-asas Hukum Pembuktian Perdata, Cet. II, Kencana, Jakarta.

Alimuddin, 2014, Pembuktian anak dalam Acara Peradilan Agama, Cet. I, Nuansa Aulia, Bandung.

 

D. Y. Witanto, 2013, Hukum Acara Perdata tentang Ketidakhadiran Para Pihak dalam Proses Berperkara (Gugur dan Verstek), Cet.I, Mandar Maju, Bandung.

 

Hari Sasangka dan Ahmad Rifai, 2005, Perbandingan HIR dengan RBG: Disertai dengan Yurisprudensi MARI dan Kompilasi Peraturan Hukum Acara Perdata, Cet. I, Mandar Maju, Bandung.

 

Hilman Hadikusuma, 2010, Bahasa Hukum Indonesia, Cet. IV, Alumni, Bandung.

 

M. Natsir Asnawi, 2013, Hukum Pembuktian Perkara Perdata di Pengadilan: Kajian Kontekstual mengenai Sistem, Asas, Prinsip, Pembebanan, dan Standar Pembuktian, Cet. I, UII Press, Yogyakarta.

 

M. Yahya Harahap, 2012, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan,Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Cet. XII, Sinar Grafika, Jakarta.

 

Munir Fuady, 2012, Teori Hukum Pembuktian Pidana dan Perdata Cet. I, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Posting Komentar

Posting Komentar