- -->
Mudharabah dan Wadi’ah adalah
jenis dari kontrak atau akad muamalah dalam bisnis perbankan syariah yang
merupakan bagian dari ajaran Islam di bidang ekonomi. Meskipun Mudharabah dan
Wadi’ah berasal dari ajaran Hukum Islam, tetapi pengaturannya sudah ada dalam
peraturan perundang-undangan tentang perbankan syariah. Seyogyanya
pihak bank menerapkan bagi hasil yang kompetitif, jelas dan adil untuk menjamin
ketentraman nasabah, karena penerapan
bagi hasil mempengaruhi keputusan
nasabah untuk menabung. Pihak bank syariah juga sebisa mungkin untuk menegaskan
batas yang jelas untuk membedakan bagi hasil dengan mekanisme bunga pada bank
konvensional (Sari et.al, 2017).
Hal paling mendasar dalam sistem
lembaga keuangan syari’ah adalah adanya pelarangan riba dan pengembangan
transaksi syari’ah. Dalam hal ini instrumen bunga yang dikembangkan dalam
ekonomi konvensional dan sebagai satu-satunya parameter dalam sistem
keuangannya merupakan hal yang bertolak belakang sama sekali dengan sistem
ekonomi Islam. Hal ini bukan saja karena secara normatif adanya pelarangan yang
tegas dalam Al-Qur’an, tetapi sistem bunga dalam realitasnya adalah riba yang
mengandung aspek kezaliman berupa adanya eksploitasi satu pihak terhadap pihak
lain. Istilah riba berasal dari kata r-bw, yang digunakan dalam Al-Qur’an
sebanyak 20 kali. Di dalam Al-Qur’an
kata riba dapat dipahami dalam tujuh macam arti, yaitu : pertumbuhan (growing),
peningkatan (increasing), bertambah (swelling), meningkat (rising), menjadi
besar (being big), besar (great), dan juga digunakan dalam pengertian bukit kecil
(hillock).
Riba adalah tambahan yang diberikan
oleh debitur kepada kreditur atas pinjaman pokoknya, sebagai imbalan atas tempo
pembayaran yang jelas dipersyaratkan. Maka riba mengandung tiga unsur :
1. Kelebihan dari pokok pinjaman
2. Kelebihan pembayaran sebagai
imbalan tempo pembayaran
3. Jumlah tambahan yang diisyaratkan
di dalam transaksi.
Salah satu fungsi vital perbankan
adalah sebagai lembaga yang berperan menerima simpanan dari nasabah lain yang
membutuhkan dana. Bagi bank konvensional, selisih (spread) antara besarnya
bunga yang dikenakan kepada para peminjam dana dengan imbalan bunga yang
diberikan kepada nasabah penyimpan dana itulah sumber keuntungan terbesar.
Sedangkan sistem perbankan Islam berbeda dengan sistem perbankan konvensional,
karena sistem keuangan dan perbankan Islam adalah merupakan subsistem dari
suatu sistem ekonomi Islam yang cakupannya lebih luas.
Oleh karena itu, perbankan Islam tidak hanya dituntut untuk menghasilkan profit secara komersial, namun dituntut secara sungguh-sungguh menampilkan realisasi nilai-nilai syari’ah. Pada perbankan konvensional terdapat kegiatan-kegiatan yang dilarang oleh syariat Islam, seperti menerima dan membayar bunga (riba), membiayai kegiatan produksi dan perdagangan barang-barang yang diharamkan seperti minuman keras (haram), kegiatan yang sangat dekat dengan gambling (maisir) untuk transaksi-transaksi tertentu, serta unsur gharar dalam investment banking. Sedangkan prinsip utama yang dianut oleh Bank Islam adalah : larangan riba (bunga) dalam berbagai bentuk transaksi, menjalankan bisnis dan aktivitas perdagangan yang berbasis pada memperoleh keuntungan yang sah menurut syari’ah
Perbedaan mendasar dalam konsep pelaksanaan pada bank konvensional dan bank syari’ah yaitu perbedaan antara konsep bunga dan bagi hasil. Hukum bunga bank sejak dahulu sudah menjadi perdebatan di kalangan ulama dan cendikiawan muslim. Dalam perdebatan tersebut muncul tiga pendapat yang saling berbeda satu sama lain. Ada yang memandang haram, syubhat dan mubah. Perbedaan tersebut muncul disebabkan oleh perbedaan metode dan analogi hukum yang digunakan. Bank, dalam mekanisme kerjanya memberikan bunga (tambahan) kepada orang yang menyimpan uangnya, sebaliknya bank juga memungut bunga terhadap nasabahnya. Maksud dari pemberian dan pemungutan bunga tersebut adalah sebagai imbalan atas beroperasinya uang yang diambil atau disimpan itu. Besarnya bunga tersebut biasanya sekitar 1-2,5 % dari modal pokok setiap bulannya, karena ada tambahan tersebut, maka sebagian ulama menganalogikan bunga bank dengan riba.
Hukumnya Pelaksaan lelang obyek jaminan aset tidak bergerak perbankan syariah.
Pasal 55 UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah. menyebutkan :
(1)
Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh pengadilan dalam
lingkungan Peradilan Agama.
(2)
Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian sengketa selain
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.
(3) Penyelesaian
sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak boleh bertentangan dengan
Prinsip Syariah.
Pasal
55 ayat (1) dan ayat (2)-nya dinilai kontradiktif karena ayat (1) secara tegas
mengatur jika terjadi sengketa dalam praktik perbankan syariah harus merupakan kewenangan
pengadilan agama. Sementara dalam ayat (2)-nya membuka ruang para pihak yang
terikat akad untuk memilih peradilan manapun jika terjadi sengketa praktik
perbankan syariah.
Pasal 55 ayat (2) tidak ada kepastian hukum yang
bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945,” ketentuan Pasal 55 ayat (3) UU Perbankan
Syariah tidak perlu ada apabila tidak ada ayat (2)-nya. Karena itu, agar
mencerminkan adanya kepastian hukum, maka seharusnya Pasal 55 ayat (2) harus
dinyatakan bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan harus dinyatakan
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Setelah keluarnya putusan Mahkamah Konstitusi
No.93/PUU-X/2012 yang menjelaskan bahwa penjelasan pasal 55 ayat (2)
Undang-undang No.21 tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dinyatakan
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, maka
para pihak baik bank syariah dan nasabah tidak lagi harus mengikuti penjelasan
pasal 55 ayat (2) dalam memilih penyelesaian sengketa secara non-litigasi,
walaupun demikian musyawarah masih tetap menjadi pilihan alternatif utama
penyelesaian sengketa perbankan syariah sebelum membawa sengketa ke tingkat
selanjutnya.
Musyawarah menjadi opsi awal bagi penyelesaian
sengketa perbankan syariah dikarenakan musyawarah merupakan komunikasi dua arah
yang dirancang untuk mencapai kesepakatan pada saat kedua belah pihak memiliki
berbagai kepentingan yang sama maupun yang berbeda. Musyawarah merupakan sarana
bagi pihak-pihak yang bersengketa untuk mendiskusikan penyelesaiannya tanpa keterlibatan
pihak ketiga sebagai penengah baik yang tidak berwenang mengambil keputusan
maupun yang berwenang mengambil keputusan.Selain musyawarah, selanjutnya ada
forum penyelesaian alternatif secara mediasi perbankan.
Dasar hukum mediasi perbankan adalah PBI No.
10/1/PBI/2008 tanggal 30 Januari 2008 tentang perubahan PBI No. 8/5/PBI/2006
tentang mediasi perbankan. Dalam melaksanakan fungsi mediasi perbankan, Bank
Indonesia tidak memberikan keputusan dan atau rekomendasi penyelesaian sengketa
kepada nasabah dan bank. Dalam hal ini, pelaksanaan mediasi perbankan dilakukan
oleh lembaga mediasi perbankan independen yang dibentuk oleh asosiasi
perbankan.Proses mediasi dapat dilakukan di kantor Bank Indonesia yang terdekat
dengan domisili nasabah. Pelaksanaan fungsi mediasi perbankan dilaksanakan oleh
Bank Indonesia untuk sementara waktu sampai saat pembentukan lembaga mediasi
perbankan independen oleh asosiasi perbankan. Putusan MK No.93/PUU-X/2012 tidak
mempengaruhi kekuatan dari mediasi perbankan. Mediasi perbankan masih menjadi
suatu pilihan alternatif jika para pihak bersepakat untuk tidak membawa
sengketa ke pengadilan agama namun harus mencantumkannya secara jelas dalam
akad (perjanjian). Begitupun mengenai eksistensi Basyarnas sebagai salah satu
forum penyelesaian sengketa perbankan syariah secara alternatif, putusan MK
No.93/PUU-X/2012 tidak ada menyinggung atau mengecilkan kewenangan basyarnas,
namun hanya kembali mempertegas jika para pihak sepakat ingin membawa sengketa
perbankan syariah ke forum penyelesaian basyarnas maka harus secara jelas
mencantumkannya pada akad pembiayaan syariah yang dibuat dihadapan Notaris.
Namun kewenangan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum (Pengadilan Negeri) telah secara tegas diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan No.93/PUU-X/2012 yang menjelaskan bahwa pengadilan dalam lingkungan peradilan umum wajib menolak untuk menangani perkara perbankan syariah, karena bertentangan dengan Pasal 25 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Secara kompetensi Pengadilan Negeri sama sekali tidak berwenang memeriksa bahkan mengadili sengketa ekonomi syariah.
Sebagai salah satu syarat lelang menurut perubahan ketentuan lelang yang diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 27/PMK.06/2016 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sebagaiman telah diubah Peraturan Menteri Keuangan Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 106/PMK.06/2013, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku,” bunyi pasal 99 PMK 27/PMK.06/2016 sebagai ketentuan penutup. Sesuai yang tertera dalam diktum, PMK baru ini disusun dalam rangka meningkatkan pelayanan lelang, serta mewujudkan pelaksanaan lelang yang lebih efisien, efektif, transparan, akuntabel, adil, dan menjamin kepastian hukum.
Posting Komentar