- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Yurisdiksi ICJ (INTERNATIONAL COURT JUSTICE) Dalam Penyelesaian Pelanggaran Ham (Genosida) Terhadap Suku Rohingya Di Myanmar -Karyahukum

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak lahiriah yang diperoleh setiap individu sejak lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Perlindungan dan Pengak…

Kebijakan Pelepasan Narapidana Di Masa Pandemi Berdasarkan Teori Fungsi Negara OLeh W. Friedmann-karyahukum


Dikutip dari website Nasionalkompas.com bahwa Sekitar 30.000 narapidana dewasa dan anak akan keluar penjara lebih cepat dari waktu yang seharusnya akibat penyebaran virus Corona atau penyakit Covid-19. Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly memutuskan akan mengeluarkan sebagian narapidana dari penjara untuk mencegah penyebaran Covid-19 di dalam penjara. Ketentuan itu diatur dalam Keputusan Menteri Hukum dan HAM bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan Penanggulangan Penyebaran Covid-19. Dalam kepmen tersebut dijelaskan, salah satu pertimbangan dalam membebaskan para tahanan itu adalah tingginya tingkat hunian di lembaga pemasyarakatan, lembaga pembinaan khusus anak, dan rumah tahanan negara sehingga rentan terhadap penyebaran virus Corona. "Pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi dan integrasi adalah upaya pencegahan dan penyelamatan narapidana dan Anak yang berada di Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah Tahanan Negara dari penyebaran Covid-19," bunyi diktum pertama Keputusan Menkumham tersebut. Syarat yang harus dipenuhi bagi narapidana dan anak untuk dapat keluar melalui asimilasi adalah telah menjalani 2/3 masa pidana pada 31 Desember 2020 mendatang bagi narapidana dan telah menjalani 1/2 masa pidana pada 31 Desember 2020 mendatang bagi anak.[2]

Kebijakan berupa Permenkumham 10/2020 ini dimaksudkan sebagai langkah antisipasi pemerintah untuk mencegah penularan virus Covid-19 dilingkungan penjara dengan cara memberikan pelepasan bersyarat. Sebenarnya kebijakan ini merupakan suatu hal yang lazim, karena menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, pada hakikatnya narapidana memiliki beberapa hak, dan 2 (dua) diantaranya merupakan hak untuk memperoleh asimilasi dan integrasi yang diatur lebih lanjut dalam Permenkumham No. M.HH-02.PK.05.06 Tahun 2010 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Namun untuk mendapatkan hak pembebasan bersyarat tersebut, tentu saja terdapat beberapa syarat (substantif dan administratif) yang harus dipenuhi oleh narapidana. Serta regulasi atau kebijakan yang dikeluakan juga harus mencerminkan fungsi negara dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan rasa keadilan di masyarakat.

Analisis Kebijakan Pelepasan Narapidana Oleh Pemerintah Berdasarkan Fungsi Negara Menurut W. Friedmann

Berkaca dari kasus sebagaimana telah diuraiakan pada sub pembahasan pertama, seharusnya pemerintah dalam mengeluarkan peraturan atau kebijakan, pemerintah perlu menyesuaikan dengan perkembangan dan kebutuhan hukum dalam masyarakat. Penyebaran virus Covid-19 terjadi melalui kontak langsung dari pasien positif kepada orang lainnya, selama didalam kelompok orang tidak ada yang terinfeksi virus lebih dahulu maka tidak perlu dikhawatirkan penularan virus dapat terjadi. Saat ini kondisi narapidana didalam lapas dapat dikatakan terisolasi dari dunia luar, maka pada dasarnya sudah tepat jika narapidana tetap didalam lapas. Baik untuk menyelesaikan masa hukumannya juga untuk menghindari kontak langsung penyebaran virus Covid-19 dimasyarakat.

Jika melihat tujuan dibentuknya Kepmenkumham 19/2020 yaitu untuk menjamin narapidana terhindar dari paparan Covid-19 akibat kondisi lapas yang over crowded. Menurut penulis, jika hal tersebut diterapkan justru akan berakibat sebaliknya. Narapidana yang telah di lepaskan dari penjara akan sangat mudah terpapar virus Covid-19 dilingkungan barunya. Pada dasarnya sangat kecil kemungkinan terjadi penyebaran Covid-19 jika narapidana tetap berada di lapas, sebab mereka tidak mendapati kontak langsung dengan orang luar. Yang perlu dipersiapkan adalah upaya pendukung lain yang dapat dilakukan yaitu seperti menerapkan sistem restorative justice, mensterilkan wilayah sekitar lapas, membatasi jadwal besuk dan pemeriksaan ketat terhadap kondisi para narapidana.

Dampak negatif lain yang dapat terjadi dengan dibebaskannya ribuan narapidana dari penjara di masa pandemi Covid-19 adalah peningkatan angka kriminalitas. Sejauh ini total narapidana yang telah dibebaskan karena program asimilasi dan hak integrasi lebih dari 36.000 orang. Di dalam pembahasannya sebelumnya dijelaskan bahwa pada dasarnya dengan kondisi narapidana yang berada didalam penjara itu sudah dapat dikategorikan sebagai bentuk isolasi. Yang menjadi penting adalah cukup dibuat protokol kesehatan dan berkunjung selama berada di penjara untuk mencegah terjadinya penularan di lingkungan penjara. Dengan narapidana dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi ini, menurut Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret Drajat Tri Kartono terdapat kemungkinan mereka kembali berulah karena:[3]

             1.     Tidak adanya efek jera

Ini bersumber dari hukuman pidana yang diberikan kepada narapidana tidak membuat mereka jera. Di dalam penjara mereka dapat bergaul dengan baik sehingga mereka merasa betah dan tidak merasa hukuman yang dijalaninya memberikan efek jera. Masa hukuman yang tidak dijalani secara penuh mengakibatkan tujuan dari pemidanaan tersebut, yaitu rehabilitasi dan efek jera, tidak terimplementasi secara penuh pula. Hal tersebut berpotensi mengakibatkan narapidana tersebut belum siap untuk berintegrasi dan berasimilasi kembali ke masyarakat. Ketidaksiapan tersebut bisa menjadi pemicu eks narapidana tersebut untuk kembali melakukan tindak pidana demi kelangsungan hidupnya. Melihat hal tersebut tentu saja kebijakan ini sangat berdampak sosio-yuridis terhadap Narapidana dan juga masyarakat.

             2.     Minimnya persiapan

Setelah keluar dari penjara, para narapidana tidak memiliki persiapan yang cukup untuk kembali melanjutkan hidup mereka diluar tahanan. Pada dasarnya lembaga pemasyarakatan punya proses untuk me-mediasi para narapidana sebelum mereka dibebaskan, yang bertujuan untuk mempersiapkan mereka kembali kemasyarakat dan mematuhi norma-norma yang ada. Mengingat di masa pandemic Covid-19 mereka dikeluarkan atas dasar kemanusiaan, sangat dimungkinkan proses mediasi yang dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan di penjara belum selesai atau bahkan tidak diadakan.

             3.     Tidak memiliki pekerjaan dan tabungan

Kejahatan dapat timbul dalam keadaan terpaksa, dalam hal ini narapidana yang telah ditahan cukup lama saat keluar bisa tidak memiliki pekerjaan atau bahkan tidak memiliki tabungan sama sekali, berbeda halnya dengan narapidana yang memang kaya. Dari kondisi ini sangat dimungkinkan kejahatan kembali dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

             4.     Bawaan atau sifat yang telah melekat pada diri narapidana

Melalui pendekatan kriminologi dapat diketahui pula bahwa faktor terdapat sifat bawaan baik yang dimiliki secara sosial dan individu dari pelaku kejahatan. Sifat ini melekat dan sulit hilang, sehingga saat ia telah menjadi narapidana pun terdapat kemungkinan kembali melakukan kejahatan.

     Berdasarkan uraian diatas dapat diketahui bahwa terdapat banyak dampak negatif dikeluarkanya kebijakan pembebasan narapidana. Hal tersebut tentu saja tidak sesuai dengan fungsi negara sebagaimana pendapat W. Friedmann yang mengemukakan bahwa terdapat empat fungsi negara, yaitu:[4]

             1.     Fungsi negara sebagai provider (penjamin).

Fungsi ini berkenaan dengan negara kesejahteraan (welfare state) yaitu negara bertanggungjawab dan menjamin suatu standar minimum kehidupan secara keseluruhan serta bentuk-bentuk jaminan sosial lainnya. yang seharusnya dapat memberikan kebijakan yang bersifat solutif bagi permasalahan yang dialami masyarakat apalagi dimasa pandemi covid-19 yang berdampak pada seluruh masyarakat Indonesia.

             2.     Fungsi negara sebagai regulator (pengatur).

Kekuasaan negara untuk mengatur merupakan wujud dari fungsi sebagai regulator. Bentuknya bermacam-macam, ada yang berupa peraturan perundang-undangan, tetapi juga bersifat peraturan kebijaksanaan. Secara sektoral misalnya pengaturan tentang investasi di sektor industri pertambangan, ekspor-impor, pengawasan dan lain-lain.

           3.     Fungsi negara selaku entrepereneur (melakukan usaha ekonomi).

Fungsi ini sangat penting dan perkembangannya sangat dinamis. Negara dalam kedudukan demikian, menjalankan sektor tertentu dalam bidang ekonomi melalui badan usaha milik negara (state owned corporations). Sifat dinamis tersebut berkaitan dengan usaha yang terus menerus dilakukan untuk menciptakan keseimbangan dan hidup berdampingan (co-existence) antara peran sektor swasta dan sektor publik.

             4.     Fungsi negara sebagai umpire (wasit, pengawas).

Dalam kedudukan demikian, negara dituntut untuk merumuskan standar-standar yang adil mengenai kinerja sektor-sektor yang berbeda dalam bidang ekonomi, di antaranya mengenai perusahaan negara. Fungsi terakhir ini diakui sangat sulit, karena di satu pihak negara melalui perusahaan negara selaku pengusaha, tetapi di lain pihak ditentukan untuk menilai secara adil kinerjanya sendiri di banding dengan sektor swasta yang lainnya.

Berdasarkan keempat fungsi tersebut, negara melalui pemerintahnya seharusnya dapat mengeluarkan kebijakan yang mewakili kepentingan masyarakat. Namun faktanya fungsi negara sebagaimana diuraikan diatas sama sekali tidak tercerminkan khususnya melalui kebijakan pelepasan narapidana ditengah pandemi covid-19. Contohnya dalam hal fungsi negara sebagai provider dan regulator, negara dalm hal ini seharusnya dapat memberikan kebijakan yang bersifat solutif bagi permasalahan yang dialami masyarakat apalagi dimasa pandemi covid-19 yang berdampak pada seluruh masyarakat Indonesia namun dalam penerapanya pembuatan kebijakan pembebasan narapidana ini seperti sebuah solusi tambal sulam dimana program asimilasi tersebut tidak dibarengi dengan sistem kontrol para narapidana, hanya sekedar pembebasan untuk melepas tanggung jawab membiayai kebutuhan warga binaan.[5] Hal ini menyebabkan tidak ada hal yang memberikan batasan bagi para narapidana yang telah bebas untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Sehingga, masyarakat tidak hanya dirisaukan dengan penyebaran Covid-19, masyarakat juga harus berhati-hati dan waspada dari adanya aksi kriminalitas. Hal tersebut dikarenakan kondisi perekonomian yang tidak stabil di tengah pandemi Covid-19, pengangguran yang banyak, hidup susah sehingga menjadikan potensi kriminologinya besar sekali. Maka tak heran sejumlah narapidana nekat berulah kembali, karena setelah keluar dari penjara mereka belum tentu mendapatkan pekerjaan yang sesuai di masa pandemi Covid-19.

    Lebih lanjut terkait dengan fungsi negara sebagai entrepereneur (yang menjalankan usaha) dan pengawas harusnya lebih fokus pada pemulihan ekonomi akibat adanya Pembatasan Sosisal Berskala Besar (PSBB) yang menyebabkan hampir sebagian pekerja di Indonesia di PHK, sebagaimana Jobstreet Indonesia melakukan survei terhadap tenaga kerja yang terkena dampak dari pandemi covid-19. Hasilnya sebanyak 35% pekerja terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) dan 19% pekerja dirumahkan sementara.[6] Dengan kondisi tersebut melihat fungsi negara yang harusnya menjalankan sektor tertentu dalam bidang ekonomi melalui badan usaha milik negara (state owned corporations) untuk menciptakan keseimbangan justru membuat gejolak berupa kekhawatiran dalam masyarakat dengan kebijakan pelepasan narapidana yang jika dilihat dari tujuanya yaitu untuk menjamin narapidana terhindar dari paparan Covid-19 akibat kondisi lapas yang over crowded. Padahal narapidana yang telah di lepaskan dari penjara akan sangat mudah terpapar virus Covid-19 dilingkungan barunya. Pada dasarnya sangat kecil kemungkinan terjadi penyebaran Covid-19 jika narapidana tetap berada di lapas, sebab mereka tidak mendapati kontak langsung dengan orang luar. Yang perlu dipersiapkan adalah upaya pendukung lain yang dapat dilakukan yaitu seperti menerapkan sistem restorative justice, mensterilkan wilayah sekitar lapas, membatasi jadwal besuk dan pemeriksaan ketat terhadap kondisi para narapidana


                [1] Fernando Tantaru, Elsa Rina Maya Toule dan Erwin Ubwarin, Kajian Sosio-Yuridis Pembebasan Bersyarat dan Pemberian Asimilasi Bagi Narapidana pada Masa Pandemi Covid-19 Ditinjau Dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, Volume 1 Nomor 1, April 2021, Hlm. 37

                [3] Arfie Rachman Widiatama, Pro Kontra Kebijakan Pelepasan Narapidana Oleh Pemerintah di Masa Pandemi Covid-19, Volume 4 No. 3, Mei 2021, Hlm. 899.

                [4] Marilang, Ideologi Welfare State Konstitusi: Hak Menguasai Negara Atas Barang Tambang, Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni 2012, Hlm. 278.

                [5] Mohamad Anwar, ‘Asimilasi dan Peningkatan Kriminalitas Di Tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar Pandemi Corona’ (2020) 4 Jurnal Adalah, Hlm. 105

                [6] https://www.cnbcindonesia.com/news/20201007145144-4-192535/survei-karena-covid-19-35-pekerja-di-indonesia-kena-phk, Diakses pada tanggal 4 Desember 2021.


2 komentar

2 komentar

  • Anonim
    Anonim
    6 Juni 2023 pukul 18.23
    keren ka
    • Anonim
      karya hukum indonesia
      6 Juni 2023 pukul 22.36
      Terimakasih kk
    Reply