- -->
Dikutip dari website Nasionalkompas.com
bahwa Sekitar 30.000
narapidana dewasa dan anak akan keluar penjara lebih cepat dari waktu
yang seharusnya akibat penyebaran virus Corona atau penyakit Covid-19. Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly memutuskan akan mengeluarkan sebagian
narapidana dari penjara untuk mencegah penyebaran Covid-19 di dalam penjara. Ketentuan itu diatur dalam Keputusan Menteri
Hukum dan HAM bernomor M.HH-19.PK/01.04.04 tentang Pengeluaran dan Pembebasan
Narapidana dan Anak Melalui Asimilasi dan Integrasi dalam Rangka Pencegahan dan
Penanggulangan
Penyebaran Covid-19. Dalam kepmen tersebut
dijelaskan, salah satu pertimbangan dalam membebaskan para tahanan itu adalah
tingginya tingkat hunian di lembaga pemasyarakatan, lembaga pembinaan khusus
anak, dan rumah tahanan negara sehingga rentan terhadap penyebaran virus
Corona. "Pengeluaran dan pembebasan narapidana dan anak melalui asimilasi
dan integrasi adalah upaya pencegahan dan penyelamatan narapidana dan Anak yang
berada di Lembaga Pemasyarakatan, Lembaga Pembinaan Khusus Anak, dan Rumah
Tahanan Negara dari penyebaran Covid-19," bunyi diktum pertama Keputusan
Menkumham tersebut. Syarat yang harus dipenuhi bagi narapidana dan anak untuk
dapat keluar melalui asimilasi adalah telah menjalani 2/3 masa pidana pada 31
Desember 2020 mendatang bagi narapidana dan telah menjalani 1/2 masa pidana
pada 31 Desember 2020 mendatang bagi anak.[2]
Kebijakan berupa Permenkumham 10/2020 ini dimaksudkan sebagai langkah antisipasi pemerintah untuk mencegah penularan virus Covid-19 dilingkungan penjara dengan cara memberikan pelepasan bersyarat. Sebenarnya kebijakan ini merupakan suatu hal yang lazim, karena menurut Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995, pada hakikatnya narapidana memiliki beberapa hak, dan 2 (dua) diantaranya merupakan hak untuk memperoleh asimilasi dan integrasi yang diatur lebih lanjut dalam Permenkumham No. M.HH-02.PK.05.06 Tahun 2010 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Asimilasi, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat. Namun untuk mendapatkan hak pembebasan bersyarat tersebut, tentu saja terdapat beberapa syarat (substantif dan administratif) yang harus dipenuhi oleh narapidana. Serta regulasi atau kebijakan yang dikeluakan juga harus mencerminkan fungsi negara dan tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum dan rasa keadilan di masyarakat.
Analisis Kebijakan Pelepasan Narapidana Oleh Pemerintah Berdasarkan Fungsi Negara Menurut W. Friedmann
Berkaca dari kasus sebagaimana telah diuraiakan pada sub pembahasan
pertama, seharusnya pemerintah dalam mengeluarkan
peraturan atau kebijakan, pemerintah perlu menyesuaikan dengan perkembangan dan
kebutuhan hukum dalam masyarakat. Penyebaran virus Covid-19 terjadi melalui
kontak langsung dari pasien positif kepada orang lainnya, selama didalam
kelompok orang tidak ada yang terinfeksi virus lebih dahulu maka tidak perlu
dikhawatirkan penularan virus dapat terjadi. Saat ini kondisi narapidana
didalam lapas dapat dikatakan terisolasi dari dunia luar, maka pada dasarnya
sudah tepat jika narapidana tetap didalam lapas. Baik untuk menyelesaikan masa
hukumannya juga untuk menghindari kontak langsung penyebaran virus Covid-19
dimasyarakat.
Jika melihat tujuan
dibentuknya Kepmenkumham 19/2020 yaitu untuk menjamin narapidana terhindar dari paparan Covid-19
akibat kondisi lapas yang over crowded. Menurut penulis, jika hal tersebut
diterapkan justru akan berakibat sebaliknya. Narapidana yang telah di lepaskan
dari penjara akan sangat mudah terpapar virus Covid-19 dilingkungan barunya. Pada
dasarnya sangat kecil kemungkinan terjadi penyebaran Covid-19 jika narapidana
tetap berada di lapas, sebab mereka tidak mendapati kontak langsung dengan
orang luar. Yang perlu dipersiapkan adalah upaya pendukung lain yang dapat
dilakukan yaitu seperti menerapkan sistem restorative
justice, mensterilkan wilayah sekitar lapas, membatasi jadwal besuk dan
pemeriksaan ketat terhadap kondisi para narapidana.
Dampak negatif lain yang dapat terjadi dengan
dibebaskannya ribuan narapidana dari penjara di masa pandemi Covid-19 adalah peningkatan angka
kriminalitas. Sejauh ini total narapidana yang telah dibebaskan karena program
asimilasi dan hak integrasi lebih dari 36.000 orang. Di dalam pembahasannya
sebelumnya dijelaskan bahwa pada dasarnya dengan kondisi narapidana yang berada
didalam penjara itu sudah dapat dikategorikan sebagai bentuk isolasi. Yang
menjadi penting adalah cukup dibuat protokol kesehatan dan berkunjung selama
berada di penjara untuk mencegah terjadinya penularan di lingkungan penjara.
Dengan narapidana dibebaskan melalui program asimilasi dan integrasi ini,
menurut Sosiolog dari Universitas Sebelas Maret Drajat Tri Kartono terdapat
kemungkinan mereka kembali berulah karena:[3]
1. Tidak
adanya efek jera
Ini
bersumber dari hukuman pidana yang diberikan kepada narapidana tidak membuat
mereka jera. Di dalam penjara mereka dapat bergaul dengan baik sehingga mereka
merasa betah dan tidak merasa hukuman yang dijalaninya memberikan efek jera. Masa hukuman yang tidak
dijalani secara penuh mengakibatkan tujuan dari pemidanaan tersebut, yaitu
rehabilitasi dan efek jera, tidak terimplementasi secara penuh pula. Hal
tersebut berpotensi mengakibatkan narapidana tersebut belum siap untuk
berintegrasi dan berasimilasi kembali ke masyarakat. Ketidaksiapan tersebut
bisa menjadi pemicu eks narapidana tersebut untuk kembali melakukan tindak
pidana demi kelangsungan hidupnya. Melihat hal tersebut tentu saja kebijakan
ini sangat berdampak sosio-yuridis terhadap Narapidana dan juga masyarakat.
2. Minimnya
persiapan
Setelah
keluar dari penjara, para narapidana tidak memiliki persiapan yang cukup untuk
kembali melanjutkan hidup mereka diluar tahanan. Pada dasarnya lembaga
pemasyarakatan punya proses untuk me-mediasi para narapidana sebelum mereka
dibebaskan, yang bertujuan untuk mempersiapkan mereka kembali kemasyarakat dan
mematuhi norma-norma yang ada. Mengingat di masa pandemic Covid-19 mereka
dikeluarkan atas dasar kemanusiaan, sangat dimungkinkan proses mediasi yang
dilakukan oleh lembaga pemasyarakatan di penjara belum selesai atau bahkan
tidak diadakan.
3. Tidak
memiliki pekerjaan dan tabungan
Kejahatan
dapat timbul dalam keadaan terpaksa, dalam hal ini narapidana yang telah
ditahan cukup lama saat keluar bisa tidak memiliki pekerjaan atau bahkan tidak
memiliki tabungan sama sekali, berbeda halnya dengan narapidana yang memang
kaya. Dari kondisi ini sangat dimungkinkan kejahatan kembali dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan hidupnya.
4. Bawaan
atau sifat yang telah melekat pada diri narapidana
Melalui
pendekatan kriminologi dapat diketahui pula bahwa faktor terdapat sifat bawaan
baik yang dimiliki secara sosial dan individu dari pelaku kejahatan. Sifat ini
melekat dan sulit hilang, sehingga saat ia telah menjadi narapidana pun
terdapat kemungkinan kembali melakukan kejahatan.
Berdasarkan
uraian diatas dapat diketahui bahwa terdapat banyak dampak negatif
dikeluarkanya kebijakan pembebasan narapidana. Hal tersebut tentu saja tidak
sesuai dengan fungsi negara sebagaimana pendapat W.
Friedmann yang mengemukakan
bahwa terdapat empat
fungsi negara, yaitu:[4]
1. Fungsi
negara sebagai provider (penjamin).
Fungsi
ini berkenaan dengan negara kesejahteraan (welfare
state) yaitu negara bertanggungjawab dan menjamin suatu standar minimum
kehidupan secara keseluruhan serta bentuk-bentuk jaminan sosial lainnya. yang seharusnya dapat memberikan kebijakan yang
bersifat solutif bagi permasalahan yang dialami masyarakat apalagi dimasa
pandemi covid-19 yang berdampak pada seluruh masyarakat Indonesia.
2. Fungsi
negara sebagai regulator (pengatur).
Kekuasaan
negara untuk mengatur merupakan wujud dari fungsi sebagai regulator. Bentuknya
bermacam-macam, ada
yang berupa peraturan perundang-undangan, tetapi juga bersifat peraturan
kebijaksanaan. Secara sektoral misalnya pengaturan tentang investasi di sektor
industri pertambangan, ekspor-impor, pengawasan dan lain-lain.
3. Fungsi
negara selaku entrepereneur
(melakukan usaha ekonomi).
Fungsi
ini sangat penting dan perkembangannya sangat dinamis. Negara dalam kedudukan
demikian, menjalankan sektor tertentu dalam bidang ekonomi melalui badan usaha
milik negara (state owned corporations).
Sifat dinamis tersebut berkaitan dengan usaha yang terus menerus dilakukan
untuk menciptakan keseimbangan dan hidup berdampingan (co-existence) antara peran sektor swasta dan sektor publik.
4. Fungsi
negara sebagai umpire (wasit,
pengawas).
Dalam
kedudukan demikian, negara dituntut untuk merumuskan standar-standar yang adil
mengenai kinerja sektor-sektor yang berbeda dalam bidang ekonomi, di antaranya
mengenai perusahaan negara. Fungsi terakhir ini diakui sangat sulit, karena di
satu pihak negara melalui perusahaan negara selaku pengusaha, tetapi di lain
pihak ditentukan untuk menilai secara adil kinerjanya sendiri di banding dengan
sektor swasta yang lainnya.
Berdasarkan keempat fungsi tersebut, negara melalui
pemerintahnya seharusnya dapat mengeluarkan kebijakan yang mewakili kepentingan
masyarakat. Namun faktanya fungsi negara sebagaimana diuraikan diatas sama
sekali tidak tercerminkan khususnya melalui kebijakan pelepasan narapidana
ditengah pandemi covid-19. Contohnya dalam hal fungsi negara sebagai provider dan regulator, negara dalm hal ini seharusnya dapat memberikan
kebijakan yang bersifat solutif bagi permasalahan yang dialami masyarakat
apalagi dimasa pandemi covid-19 yang berdampak pada seluruh masyarakat
Indonesia namun dalam penerapanya pembuatan kebijakan
pembebasan narapidana ini seperti sebuah solusi tambal sulam dimana program
asimilasi tersebut tidak dibarengi dengan sistem kontrol para narapidana, hanya
sekedar pembebasan untuk melepas tanggung jawab membiayai kebutuhan warga
binaan.[5]
Hal ini menyebabkan tidak ada hal yang memberikan batasan bagi para narapidana
yang telah bebas untuk tidak melakukan tindak pidana lagi. Sehingga, masyarakat
tidak
hanya dirisaukan dengan penyebaran Covid-19, masyarakat juga harus berhati-hati
dan waspada dari adanya aksi kriminalitas. Hal tersebut dikarenakan kondisi
perekonomian yang tidak stabil di tengah pandemi Covid-19, pengangguran yang
banyak, hidup susah sehingga menjadikan potensi kriminologinya besar sekali.
Maka tak heran sejumlah narapidana nekat berulah kembali, karena setelah keluar
dari penjara mereka belum tentu mendapatkan pekerjaan yang sesuai di masa pandemi
Covid-19.
[1] Fernando Tantaru, Elsa
Rina Maya Toule dan
Erwin Ubwarin, Kajian Sosio-Yuridis
Pembebasan Bersyarat dan Pemberian Asimilasi Bagi Narapidana pada Masa Pandemi
Covid-19 Ditinjau Dari Perspektif Tujuan Pemidanaan, Volume 1 Nomor 1, April
2021, Hlm. 37
[2] https://nasional.kompas.com/read/2020/04/01/09314561/pembebasan-30000-narapidana-akibat-wabah-virus-corona?page=all,
diakses pada tanggal 4 Desember 2021.
[3] Arfie Rachman Widiatama,
Pro Kontra Kebijakan Pelepasan Narapidana Oleh
Pemerintah di Masa Pandemi Covid-19, Volume 4 No. 3, Mei 2021,
Hlm. 899.
[4] Marilang,
Ideologi Welfare State Konstitusi: Hak Menguasai
Negara Atas Barang Tambang,
Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 2, Juni
2012, Hlm. 278.
[5] Mohamad Anwar, ‘Asimilasi dan Peningkatan Kriminalitas Di
Tengah Pembatasan Sosial Berskala Besar Pandemi Corona’ (2020) 4 Jurnal
Adalah, Hlm. 105
[6] https://www.cnbcindonesia.com/news/20201007145144-4-192535/survei-karena-covid-19-35-pekerja-di-indonesia-kena-phk,
Diakses pada tanggal 4 Desember 2021.
2 komentar