- -->
A. Issue
Paradigma hukum di Indonesia masih di
dominasi oleh aliran positivisme hukum. Bahwa hukum lebih dipahami dan
diajarkan sebagai hal yang normatif dan identik dengan undang-undang, padahal
supremasi hukum tidak sekedar menurut undang-undang, tapi lebih
mempertimbangkan keadilan pada realitas publik. Artinya bahwa sebenarnya hukum
juga masih mempunyai sisinya yang lain, yakni tampak pada kenyataan sosial,
sebagaimana hukum itu dijalankan sehari-harinya oleh masyarakat. Problematika
paling mendasar dalam penegakan hukum di Indonesia yaitu sering terjadi
manipulasi fungsi hukum oleh pemegang kekuasaan. Selain itu masih terdapat
banyak masalah lainya yang menjadi perhatian di masyarakat masyarakat yaitu:[1]
a)
SDM Penegak hukum yang kurang mumpuni
atau berkualitas. Sedangkan disisi lain sumber daya manusia (SDM) yang baik,
expert serta memiliki nilai-nilai integritas dalam jumlah yang banyak sangat
dibutuhkan untuk mengisi jabatanjabatan strategis;
b) Penegakan hukum tidak mampu
berjalan dengan baik disebabkan karena tidak jarang adanya intervensi oleh
kekuasaan serta materi. Hal ini karena materi menjadi salah satu problem karena
Negara ini belum mampu memberikan kesejahteraan kepada aparatur penegak hukum;
c) Nilai-nilai dari kepercayaan
masyarakat terhadap aparatur penegak hukum yang semakin menurun sehingga banyak
timbul prilaku-prilaku anarkis dari masyarakat untuk mencapai apa yang mereka
anggap sebagai sebuah keadilan;
d) Hukum yang ada dan diterapkan
Indonesia hidup di tengah masyarakat yang tidak berorientasi kepada hukum. Hukum
hanya dilihat seperti representasi dan simbol-simbol negara yang ditakuti.
Keadilan pun hanya berpihak kepada mereka yang memiliki status sosial yang
lebih tinggi dalam masyarakat.
Beberapa tahun belakangan sebagaimana diketahui banyak kasus-kasus besar yang terjadi dan melibatkan aparat penegak hukum. Beberapa diantaranya yaitu, kasus Hakim Pnegadilan Negeri Suragaya yakni Itong Isnaeni yang terbukti menerima suap atas perkara-perkara yang ditanganinya sehingga dijatuhi hukkuman 7 tahun pidana penjara. Kasus lainnya yang juga menyita banyak perhatian masyarakat adalah kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo.
Kedua kasus tersebut cukup mewakili dari sekian banyak kasus yang menjerat para aparat penegak hukum di Indonesia. Kasus – kasus tersebut menunjukkan bahwa masih ada kekurangan dalam penegakan hukum di Indonesia. Secara logika dari nalar masyarakat, bagaimana mungkin hukum yang adil dapat ditegakkan, serta bagaimana masyarakat dapat mempercayai hukum ditegakkan dengan baik, atau bahkan bagaimana masyarakat dapat mempercayai hukum apabila aparat penegak hukum itu sendiri melanggar aturan hukum yang harusnya ia tegakkan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi paradigma berfikir masyarakat mengenai hukum, yang bahayanya dapat berdampak pada ketidakpercayaan bahkan dapat menimbulkan sikap apatis masyarakat terhadap hukum, aparat, serta pemerintah\
B. Regulation/Rule
Perilaku aparat penegak hukum yang melanggar
aturan hukum, bertentangan dengan nilai moral yang ada di masyarakat, serta
melanggar prinsip etika dalam setiap profesi yang diembannya. Hukum tidak ada
artinya jika tidak dibarengi dengan etika, sehingga kualitas hukum sangat ditentukan
oleh kualitas moral. Di sisi lain, moralitas juga membutuhkan hukum karena hukum
dapat meningkatkan dampak moralitas. Meski demikian, moralitas dan hukum tidak
selalu berkaitan karena ada hukum yang berlaku (hukum positif) yang
bertentangan dengan etika sehingga tidak dapat sepenuhnya diterapkan.[2]
Meninggalkan moral dalam berhukum sama saja
dengan hukum yang kehilangan ruhnya. Moral secara umum diartikan sebagai:[3]
1.
Kaidah-kaidah umum kesopanan
dan adat istiadat yang berlaku bagi kelompok tertentu;
2. Ajaran kesusilaaan atau
kesantunan, yaitu ajaran tentang asas-asas dan kaidah-kaidah kesantunan yang
dipelajari secara sistematis dalam sebuah nilai yang disebut etika
Kode etik yaitu norma atau azas yang
diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari
di masyarakat maupun di tempat kerja. Kode Etik Profesi merupakan bagian dari
etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih
umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih
memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna
walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi.
c.
Analysis
Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum
yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum.
Tujuan hukum bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan
hukum. Keadilan adalah keseimbangan antara yang patut diperoleh pihak-pihak,
baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian. Dalam pengertian yang lain,
keadilan berarti memberikan setiap orang apa saja yang menjadi haknya.[4]
Fenomena yang terjadi belakangan ini adalah kebebasan mengekspresikan hak hidup
warga negara yang menyampaikan aspirasi marak dilakukan oleh warga masyarakat.
Hanya saja terkadang hal itu dilakukan tanpa memperhatikan rambu-rambu hukum
dan peraturan yang ada serta terlepas dari kendali moral. Sehingga luapan ekspresi
kebebasan tersebut terkesan anarkis dan merugikan pihak lain.
Permasalahan yang esensial dalam penegakan
hukum di Indonesia bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak
responsif, melainkan juga berasal dari faktor aparat penegak hukumnya. Untuk
meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah penegak hukum
yang mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan dedikasi yang baik.
Karena sepanjang sapu kotor belum dibersihkan, maka setiap pembicaraan tentang
keadilan akan menjadi omong kosong belaka.[5]
Aparat penegak hukum merupakan institusi
penegak hukum yang meliputi polisi, jaksa, dan hakim. Seperti halnya dalam
penyelenggaraan sistem peradilan pidana, diperlukan jajaran aparatur penegak
hukum yang profesional, cakap, jujur, dan bijaksana. Para penegak hukum
memiliki tanggung jawab menegakkan wibawa hukum dan menegakkan keadilan.
Profesionalisme penegak hukum dapat dilihat dari tingkat penguasan ilmu hukum,
keterampilan dan kepribadian para penegak hukum dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya dalam bekerja.[6]
Penegak hukum disebut profesional karena kemampuan berpikir dan bertindak
melampaui hukum tertulis tanpa menciderai nilai keadilan. Fungsi pembentukan
hukum harus ditujukan untuk mencapai terciptanya supremasi hukum. Hukum yang
dibuat tetapi tidak dijalankan tidak akan berarti. Begitu juga sebaliknya tidak
ada hukum yang dapat dijalankan apabila norma hukum tidak ada.[7]
Persoalan penegakan hukum yang demikian
dapat ditinjau pada 3 faktor, yakni Integritas aparat penegak hukum, produk
hukum, dan tidak dilaksanakannya nilai-nilai Pancasila oleh aparat penegak
hukum dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Lawrence Friedman mengemukakan 3
aspek yang menjadi dasar keterpurukan hukum suatu negara yakni:[8]
1. Struktur, yaitu keseluruhan
institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain
kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan
dengan para hakimnya;
2. Substansi, yaitu keseluruhan
aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis, termasuk putusan pengadilan.
3. Kultur hukum yaitu opini-opini,
kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara
berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun warga
masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.4
Menurut Dardji Darmodihardjo untuk
mewujudkan fungsi hukum sebagai alat perlindungan kepentingan manusia, maka
penegakan hukum harus berorientasikan kepada 4 unsur yakni:[9]
1.
Kepastian hukum (rechtssicherkeit)
2.
Kemanfaatan hukum
(zewechmassigkeit)
3.
Keadilan hukum (gerechtigkeit)
4.
Jaminan hukum (doelmatigkeit)
Untuk mewujudkan keempat orientasi
sebagaimana tersebut di atas, sangat diperlukan idealisme yang utuh bagi
seorang aparatur penegak hukum, dan norma hukum yang memuat nilai etis dan
keadilan. Menurut Soerjono Soekamto, penegakan hukum yang ideal hanya mungkin
terwujud apabila didukung oleh empat elemen penting yakni:[10]
a.
Norma hukum yang baik
b.
Aparatur penegakan hukum yang
baik
c.
Masyarakat hukum yang baik
d.
Sarana dan prasarana hukum yang
baik
Dengan demikian, cacatnya aparatur penegakan
hukum menjadi hambatan untuk dapat tercapainya orientasi penegakan hukum yang
ideal. Hal ini kemudian menimbulkan efek berantai terhadap elemen lainnya,
yakni elemen masyarakat. Secara tidak langsung, dengan adanya pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh aparat penegak hukum juga mempengaruhi tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap hukum. Sehingga akan cenderung mengabaikan penegakan hukum
yang dijalankan. Ketidak pedulian akan hukum akan menimbulkan perpecahan serta
pergeseran norma dalam masyarakat. Masyarakat yang apatis terhadap hukum,
dengan perilaku yang tidak didasarkan pada hukum dikhawatirkan akan menimbulkan
rusaknya tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal demikian dapat
terjadi akibat adanya tindakan-tindakan anarkisme dalam menuntut hak warga
negara sebagai dampak dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan
pemerintah. Adapun hak warga negara yang dimaksud adalah nilai keadilan itu
sendiri.
Sehingga dapat kita ketahui bahwa moral
mempunyai peranan yang sangat penting, sebagai sarana kontrol sosial, mencegah
pengawasan atau campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh
masyarakat melalui agen atau pelaksanannya. Agar para penegak hukum yang ada di
Negara kita tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Karena pada dasarnya hukum ada
adalah untuk melindungi hak-hak setiap orang demi tercapainya keadilan. Oleh
karena itu sangat penting untuk menjaga konsistensi paradigma masyarakat dalam
hal kepercayaan terhadap hukum dan penegakan hukum itu sendiri. Hal demikian
dapat tercapai apabla dalam setiap sendi masyarakat serta setiap profesi
penegak hukum menjunjung tinggi nilai moral serta melaksanakan etika profesi
sebagaimana yang seharusnya. Sehingga dapat terwujud keharmonisan dalam
penegakan hukum demi tercapainya keadilan.
Baca artikel serupa. Kontradiksi Penerapan Pidana Mati Dalam Perspektif Sosiologi Hukum
[1] Ria Anggraeni Utami, Zico Junius Fernando, Wiwit Pratiwi, David
Aprizon Putra, Hukum Dan Moral Dalam
Kasus-Kasus Hukum Di Indonesia, Al-Imarah : Jurnal Pemerintahan dan Politik
Islam, Vol. 7, No.2, 2022, Hal 195-208.
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Supriyono, Terciptanya Rasa
Keadlian, Kepastian Dan Kemanfaatan Dalam Kehidupan Masyarakat, Jurnal
Ilmiah Fenomena, Vol. XIV, No. 2, 2016, Hal 1567-1582.
[5] Punasin, MembangunMoralitas
Aparat Penegak Hukum Demi Mewujudkan Keadilan (Law Enforcement), Al-Ahwal,
Vol. 5, No. 1, 2013, Hal 135-144.
[6]Ibid.
[7] Ibid.
[8] Ibid.
[9] Miswardi, Nasfi, Antoni, Etika,
Moralitas dan Penegak Hukum, Menara Ilmu, Vol. XV, No. 02, 2021, Hal
150-162.
[10] Ibid.
Foto Credit by Hukum Online.com
Posting Komentar