- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Yurisdiksi ICJ (INTERNATIONAL COURT JUSTICE) Dalam Penyelesaian Pelanggaran Ham (Genosida) Terhadap Suku Rohingya Di Myanmar -Karyahukum

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak lahiriah yang diperoleh setiap individu sejak lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Perlindungan dan Pengak…

Perubahan Paradigma Hukum Dalam Masyarakat Akibat pelanggaran Hukum Aparat Negara-karyahukum

            


           A. Issue

Paradigma hukum di Indonesia masih di dominasi oleh aliran positivisme hukum. Bahwa hukum lebih dipahami dan diajarkan sebagai hal yang normatif dan identik dengan undang-undang, padahal supremasi hukum tidak sekedar menurut undang-undang, tapi lebih mempertimbangkan keadilan pada realitas publik. Artinya bahwa sebenarnya hukum juga masih mempunyai sisinya yang lain, yakni tampak pada kenyataan sosial, sebagaimana hukum itu dijalankan sehari-harinya oleh masyarakat. Problematika paling mendasar dalam penegakan hukum di Indonesia yaitu sering terjadi manipulasi fungsi hukum oleh pemegang kekuasaan. Selain itu masih terdapat banyak masalah lainya yang menjadi perhatian di masyarakat masyarakat yaitu:[1]

a)      SDM Penegak hukum yang kurang mumpuni atau berkualitas. Sedangkan disisi lain sumber daya manusia (SDM) yang baik, expert serta memiliki nilai-nilai integritas dalam jumlah yang banyak sangat dibutuhkan untuk mengisi jabatanjabatan strategis;

b)  Penegakan hukum tidak mampu berjalan  dengan baik disebabkan  karena tidak jarang adanya intervensi oleh kekuasaan serta materi. Hal ini karena materi menjadi salah satu problem karena Negara ini belum mampu memberikan kesejahteraan kepada aparatur penegak hukum;

c)  Nilai-nilai dari kepercayaan masyarakat terhadap aparatur penegak hukum yang semakin menurun sehingga banyak timbul prilaku-prilaku anarkis dari masyarakat untuk mencapai apa yang mereka anggap sebagai sebuah keadilan;

d)   Hukum yang ada dan diterapkan Indonesia hidup di tengah masyarakat yang tidak berorientasi kepada hukum. Hukum hanya dilihat seperti representasi dan simbol-simbol negara yang ditakuti. Keadilan pun hanya berpihak kepada mereka yang memiliki status sosial yang lebih tinggi dalam masyarakat.

Beberapa tahun belakangan sebagaimana diketahui banyak kasus-kasus besar yang terjadi dan melibatkan aparat penegak hukum. Beberapa diantaranya yaitu, kasus Hakim Pnegadilan Negeri Suragaya yakni Itong Isnaeni yang terbukti menerima suap atas perkara-perkara yang ditanganinya sehingga dijatuhi hukkuman 7 tahun pidana penjara. Kasus lainnya yang juga menyita banyak perhatian masyarakat adalah kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J oleh Irjen Ferdy Sambo. 

Kedua kasus tersebut cukup mewakili dari sekian banyak kasus yang menjerat para aparat penegak hukum di Indonesia. Kasus – kasus tersebut menunjukkan bahwa masih ada kekurangan dalam penegakan hukum di Indonesia. Secara logika dari nalar masyarakat, bagaimana mungkin hukum yang adil dapat ditegakkan, serta bagaimana masyarakat dapat mempercayai hukum ditegakkan dengan baik, atau bahkan bagaimana masyarakat dapat mempercayai hukum apabila aparat penegak hukum itu sendiri melanggar aturan hukum yang harusnya ia tegakkan. Hal ini tentunya akan mempengaruhi paradigma berfikir masyarakat mengenai hukum, yang bahayanya dapat berdampak pada ketidakpercayaan bahkan dapat menimbulkan sikap apatis masyarakat terhadap hukum, aparat, serta pemerintah\

B. Regulation/Rule

Perilaku aparat penegak hukum yang melanggar aturan hukum, bertentangan dengan nilai moral yang ada di masyarakat, serta melanggar prinsip etika dalam setiap profesi yang diembannya. Hukum tidak ada artinya jika tidak dibarengi dengan etika, sehingga kualitas hukum sangat ditentukan oleh kualitas moral. Di sisi lain, moralitas juga membutuhkan hukum karena hukum dapat meningkatkan dampak moralitas. Meski demikian, moralitas dan hukum tidak selalu berkaitan karena ada hukum yang berlaku (hukum positif) yang bertentangan dengan etika sehingga tidak dapat sepenuhnya diterapkan.[2]

Meninggalkan moral dalam berhukum sama saja dengan hukum yang kehilangan ruhnya. Moral secara umum diartikan sebagai:[3]

1.      Kaidah-kaidah umum kesopanan dan adat istiadat yang berlaku bagi kelompok tertentu;

2.  Ajaran kesusilaaan atau kesantunan, yaitu ajaran tentang asas-asas dan kaidah-kaidah kesantunan yang dipelajari secara sistematis dalam sebuah nilai yang disebut etika

Kode etik yaitu norma atau azas yang diterima oleh suatu kelompok tertentu sebagai landasan tingkah laku sehari-hari di masyarakat maupun di tempat kerja. Kode Etik Profesi merupakan bagian dari etika profesi. Kode etik profesi merupakan lanjutan dari norma-norma yang lebih umum yang telah dibahas dan dirumuskan dalam etika profesi. Kode etik ini lebih memperjelas, mempertegas dan merinci norma-norma ke bentuk yang lebih sempurna walaupun sebenarnya norma-norma tersebut sudah tersirat dalam etika profesi.

c.       Analysis

Keadilan merupakan salah satu tujuan hukum yang paling banyak dibicarakan sepanjang perjalanan sejarah filsafat hukum. Tujuan hukum bukan hanya keadilan, tetapi juga kepastian hukum dan kemanfaatan hukum. Keadilan adalah keseimbangan antara yang patut diperoleh pihak-pihak, baik berupa keuntungan maupun berupa kerugian. Dalam pengertian yang lain, keadilan berarti memberikan setiap orang apa saja yang menjadi haknya.[4] Fenomena yang terjadi belakangan ini adalah kebebasan mengekspresikan hak hidup warga negara yang menyampaikan aspirasi marak dilakukan oleh warga masyarakat. Hanya saja terkadang hal itu dilakukan tanpa memperhatikan rambu-rambu hukum dan peraturan yang ada serta terlepas dari kendali moral. Sehingga luapan ekspresi kebebasan tersebut terkesan anarkis dan merugikan pihak lain.

Permasalahan yang esensial dalam penegakan hukum di Indonesia bukan hanya semata-mata terhadap produk hukum yang tidak responsif, melainkan juga berasal dari faktor aparat penegak hukumnya. Untuk meletakkan pondasi penegakan hukum, maka pilar yang utama adalah penegak hukum yang mampu menjalankan tugasnya dengan integritas dan dedikasi yang baik. Karena sepanjang sapu kotor belum dibersihkan, maka setiap pembicaraan tentang keadilan akan menjadi omong kosong belaka.[5]

Aparat penegak hukum merupakan institusi penegak hukum yang meliputi polisi, jaksa, dan hakim. Seperti halnya dalam penyelenggaraan sistem peradilan pidana, diperlukan jajaran aparatur penegak hukum yang profesional, cakap, jujur, dan bijaksana. Para penegak hukum memiliki tanggung jawab menegakkan wibawa hukum dan menegakkan keadilan. Profesionalisme penegak hukum dapat dilihat dari tingkat penguasan ilmu hukum, keterampilan dan kepribadian para penegak hukum dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam bekerja.[6] Penegak hukum disebut profesional karena kemampuan berpikir dan bertindak melampaui hukum tertulis tanpa menciderai nilai keadilan. Fungsi pembentukan hukum harus ditujukan untuk mencapai terciptanya supremasi hukum. Hukum yang dibuat tetapi tidak dijalankan tidak akan berarti. Begitu juga sebaliknya tidak ada hukum yang dapat dijalankan apabila norma hukum tidak ada.[7]

Persoalan penegakan hukum yang demikian dapat ditinjau pada 3 faktor, yakni Integritas aparat penegak hukum, produk hukum, dan tidak dilaksanakannya nilai-nilai Pancasila oleh aparat penegak hukum dalam pelaksanaan tugasnya sehari-hari. Lawrence Friedman mengemukakan 3 aspek yang menjadi dasar keterpurukan hukum suatu negara yakni:[8]

1.  Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakupi antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya, pengadilan dengan para hakimnya;

2.    Substansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis, termasuk putusan pengadilan.

3.   Kultur hukum yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan), kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun warga masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.4

Menurut Dardji Darmodihardjo untuk mewujudkan fungsi hukum sebagai alat perlindungan kepentingan manusia, maka penegakan hukum harus berorientasikan kepada 4 unsur yakni:[9]

1.      Kepastian hukum (rechtssicherkeit)

2.      Kemanfaatan hukum (zewechmassigkeit)

3.      Keadilan hukum (gerechtigkeit)

4.      Jaminan hukum (doelmatigkeit)

Untuk mewujudkan keempat orientasi sebagaimana tersebut di atas, sangat diperlukan idealisme yang utuh bagi seorang aparatur penegak hukum, dan norma hukum yang memuat nilai etis dan keadilan. Menurut Soerjono Soekamto, penegakan hukum yang ideal hanya mungkin terwujud apabila didukung oleh empat elemen penting yakni:[10]

a.       Norma hukum yang baik

b.      Aparatur penegakan hukum yang baik

c.       Masyarakat hukum yang baik

d.      Sarana dan prasarana hukum yang baik

Dengan demikian, cacatnya aparatur penegakan hukum menjadi hambatan untuk dapat tercapainya orientasi penegakan hukum yang ideal. Hal ini kemudian menimbulkan efek berantai terhadap elemen lainnya, yakni elemen masyarakat. Secara tidak langsung, dengan adanya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum juga mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap hukum. Sehingga akan cenderung mengabaikan penegakan hukum yang dijalankan. Ketidak pedulian akan hukum akan menimbulkan perpecahan serta pergeseran norma dalam masyarakat. Masyarakat yang apatis terhadap hukum, dengan perilaku yang tidak didasarkan pada hukum dikhawatirkan akan menimbulkan rusaknya tatanan kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal demikian dapat terjadi akibat adanya tindakan-tindakan anarkisme dalam menuntut hak warga negara sebagai dampak dari ketidakpercayaan masyarakat terhadap hukum dan pemerintah. Adapun hak warga negara yang dimaksud adalah nilai keadilan itu sendiri.

Sehingga dapat kita ketahui bahwa moral mempunyai peranan yang sangat penting, sebagai sarana kontrol sosial, mencegah pengawasan atau campur tangan yang dilakukan oleh pemerintah atau oleh masyarakat melalui agen atau pelaksanannya. Agar para penegak hukum yang ada di Negara kita tidak menyalahgunakan kekuasaannya. Karena pada dasarnya hukum ada adalah untuk melindungi hak-hak setiap orang demi tercapainya keadilan. Oleh karena itu sangat penting untuk menjaga konsistensi paradigma masyarakat dalam hal kepercayaan terhadap hukum dan penegakan hukum itu sendiri. Hal demikian dapat tercapai apabla dalam setiap sendi masyarakat serta setiap profesi penegak hukum menjunjung tinggi nilai moral serta melaksanakan etika profesi sebagaimana yang seharusnya. Sehingga dapat terwujud keharmonisan dalam penegakan hukum demi tercapainya keadilan.

Baca artikel serupa. Kontradiksi Penerapan Pidana Mati Dalam Perspektif Sosiologi Hukum




[1] Ria Anggraeni Utami, Zico Junius Fernando, Wiwit Pratiwi, David Aprizon Putra, Hukum Dan Moral Dalam Kasus-Kasus Hukum Di Indonesia, Al-Imarah : Jurnal Pemerintahan dan Politik Islam, Vol. 7, No.2, 2022, Hal 195-208.

[2] Ibid.

[3] Ibid.

[4] Supriyono, Terciptanya Rasa Keadlian, Kepastian Dan Kemanfaatan Dalam Kehidupan Masyarakat, Jurnal Ilmiah Fenomena, Vol. XIV, No. 2, 2016, Hal 1567-1582.

[5] Punasin, MembangunMoralitas Aparat Penegak Hukum Demi Mewujudkan Keadilan (Law Enforcement), Al-Ahwal, Vol. 5, No. 1, 2013, Hal 135-144.

[6]Ibid.

[7] Ibid.

[8] Ibid.

[9] Miswardi, Nasfi, Antoni, Etika, Moralitas dan Penegak Hukum, Menara Ilmu, Vol. XV, No. 02, 2021, Hal 150-162.

[10] Ibid.

Foto Credit by Hukum Online.com 

Posting Komentar

Posting Komentar