- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Yurisdiksi ICJ (INTERNATIONAL COURT JUSTICE) Dalam Penyelesaian Pelanggaran Ham (Genosida) Terhadap Suku Rohingya Di Myanmar -Karyahukum

Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak lahiriah yang diperoleh setiap individu sejak lahir dan merupakan pemberian dari Tuhan. Perlindungan dan Pengak…

Perkembangan Hukum di Indonesia-karyahukum

 

Hukum modern pada dasarnya adalah suatu peralihan dari hukum tradisional untuk mencari tatanan yang lebih baik.[1] Hukum modern lahir sebagai akibat dari adanya negara modern (sejak abad XIX). Pengertian hukum di sini haruslah modern. Salah satu model penyelenggaraan hukum modern adalah dengan diterapkannya model seperti rule of law atau rechtstaat.

Negara modern melahirkan suatu kehidupan dan tatanan dengan suatu struktur yang rigid, belum dikenal sebelumnya dalam sejarah perkembangan manusia. Kehadiran negara modern ini dikaitkan dengan pertumbuhan hukum modern karena keduanya merupakan salah satu bagian dari studi sosiologi hukum. Gianfanco Poggi sebagai seorang profesor sosiologi hukum, telah membagi pertumbuhan negara modern menjadi negara feodalisme, steandestaat, absolutisme, masyarakat sipil, dan negara konstitusional.[2]

Hukum modern pertumbuhannya dipengaruhi oleh kehadiran negara modern. Hukum tersebut memberikan bentuknya sendiri dalam masyarakat. Hal ini telah dijelaskan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick tahun 1970-an. Negara sedang berkembang memiliki karakteristik persoalannya sendiri. Oleh karena itu, tidak dapat dipaksakan untuk mengikuti cara-cara penyelenggaraan hukum yang telah mapan seperti di negara-negara Barat. Philippe Nonet dan Philip Selznick merupakan contoh dari arus pemikiran mengenai penyelenggaraan hukum di negara yang sedang berkembang. Keduanya mengakui pada suatu waktu suatu bangsa masih harus menghadapi masalah dasar (misalnya membangun bangsa atau tatanan politik baru), dapat dimengerti adanya kemiskinan sumber daya di pihak elit penguasa. Akibatnya para pemimpin jatuh pada penggunaan kekuasaan.[3]

Inti sari pemikiran mengenai tatanan hukum yang diperkenalkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam tulisannya Law & Society in Transition: Toward Responsive Law 1978 adalah teori modernisasi, yang mengatakan bahwa negara berkembang akan mencapai suatu tingkat perkembangan hukum seperti yang dinikmati negara-negara maju/modern asal mau mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh negara-negara maju tersebut. Tulisan Philippe Nonet dan Philip Selznick tahun 2003 diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Hukum Resposif: Pilihan di Masa Transisi. Inti dari pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan tiga tipe tatanan Hukum, yang dalam tingkat tertentu menunjukkan suatu perkembangan tatanan hukum dalam masyarakat yang memiliki organisasi politik dalam suatu bentuk negara. Tiga tipe tatanan Hukum itu oleh Nonet-Selznick adalah: Tatanan Hukum Represif, Tatanan Hukum Otonomius, dan Tatanan Hukum yang Responsif.[4]

Tatanan Hukum Represif merupakan tatanan hukum yang bertugas menyelesaikan masalah yang sangat mendasar/fundamental dalam mendirikan tatanan politik. Menjadi prasarat bagi sistem hukum dan sistem politik mencapai sasaran yang lebih maju (baik dan modern). Tatanan Hukum Otonomius diulas kemudian, dengan menunjukkan suatu proses menuju ke arah yang lebih baik dari tatanan hukum yang sebelumnya, dibangun di atas hasil-hasil yang telah dicapai oleh tatanan hukum represif. Tatanan Hukum Responsif merupakan tatanan hukum tahap terakhir dari uraian bukunya dan merupakan suatu perkembangan menuju rule of law (lebih tinggi) dari yang dihasilkan oleh tatanan hukum otonomius. Philippe Nonet dan Philip Selznick juga memberi perhatian khusus dari ketiga tahap perkembangan tatanan hukum itu, yaitu pada sekumpulan variabel yang berkaitan dengan hukum. Bagaimana kekerasan dalam hukum, hubungan timbal balik antara hukum dan politik, hubungan hukum dengan negara dan dengan tatanan moral, tempat dari peraturan-peraturan, diskresi, tujuan dalam putusan-putusan hukum dan partisipasi masyarakat. Legitimasi kondisi kepatuhan tiap-tiap variabel itu berbeda serta mencolok bilamana konteksnya diubah. Di antara variabel terdapat hubungan-hubungan yang menentukan dan sistematis. Misalnya arti pentingnya suatu peraturan. Hal ini, berhubungan langsung dengan struktur kekuasaan dalam tata hukum yang bersangkutan. Sekelompok aturan membatasi diskresi lapisan bawah dari birokrasi hukum sehingga mengkonsentrasikan kekuasaan di tingkat atas. Hal ini menimbulkan monopoli kekuasaan pemerintah. Dalam kenyataannya, tata hukum membentuk suatu sistem dengan suatu konstelasi atribut-atribut yang mempunyai kohesi internal.

Sistem yang berbeda dalam konsep seperti di atas menunjukkan adanya percampuran variabel-variabel dasar yang berkaitan dengan hukum. Tiap-tiap variabel dasar ini mengandung suatu nilai yang sesuai, sebagai sistem yang luas. Teori yang diajukan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sistematis dan mengidentifikasikan konfigurasi spesifik yang terjadi. Seluruhnya dijelaskan sekaligus dalam perkembangan ketiga tatanan hukum yang menjadi pusat perhatian bukunya.

Sejalan dengan perkembangan negara modern ini, sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan keamanan dan peraturan sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari prinsip keadilan itu sendiri. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto Rahardjo, waktu sekarang hukum modern berada dalam persimpangan jalan. Selain memburu keadilan yang sifatnya formal namun juga harus memburu keadilan yang substansial. Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick kebangkitan ini merefleksikan dorongan akademik, bahwa perspektif dan metode studi ilmu sosial berlaku pula untuk menganalisis institusi hukum dan membangun semangat pembaharuan. Telah tiba waktunya bagi kajian yang berkelanjutan untuk dapat membuahkan hasil yang bermanfaat bagi penyelenggaraan keadilan.[5]

Di tengah-tengah hukum modern ini, banyak kritik yang dilontarkan terhadap sistem peradilan pidana yang adil dan layak. Salah satunya dapat dilihat adanya kecenderungan pemeriksaan perkara pidana di pengadilan, yang banyak memihak kepada pelayanan status yang lebih tinggi. Sesuai dengan model pemeriksaan yang layak dan adil ini, biasanya terdakwa yang statusnya lebih rendah atau masyarakat miskin, tidak mendapat pemeriksaan yang selayaknya. Tuduhan ini dilontarkan terhadap banyak pengadilan yang disebabkan karena adanya anggapan bahwa pengadilan terlalu represif yang bawah, pengadilan selalu mendahulukan peraturan dalam bentuk formal daripada substansial.

Diakui adanya suasana berkurangnya kepercayaan kepada pengadilan nampak jelas dalam sejumlah karya tulis yang secara tajam mengkritik lembaga peradilan. Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick, kritik atas hukum selalu ditujukan kepada tidak memadainya hukum sebagai alat perubahan dan hukum yang baik harus berkompeten dan juga adil, hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan mempunyai komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.[6]

1.    HUKUM REPRESIF

Gagasan awal dari hukum represif adalah tatanan hukum tertentu dapat berupa ketidakadilan yang tegas. Keberadaan hukum tidak menjamin keadilan, apalagi keadilan substantif. Contoh dalam hal ini adalah memandang penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick kekuasaan pemerintah bersifat represif, jika kekuasaan tersebut tidak memperhatikan kepentingan orang-orang yang diperintah, yaitu ketika kekuasaan dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka, atau dengan mengingkari legitimasi masyarakat. Represif tidak harus melibatkan penindasan yang mencolok, represif terjadi pula ketika kekuasaan bersifat lunak namun hanya sedikit memberi perhatian dan tidak secara efektif dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan penguasa. Bentuk represi yang paling jelas dalam hal ini adalah menggunakan kekerasan yang tidak terkontrol untuk menegakkan perintah, menekan pihak yang tidak patuh atau menghentikan demonstrasi. Represif juga dapat berarti dengan mendorong persetujuan pasif.[7]

2.    HUKUM OTONOM

Dalam hukum represif, hukum adalah kekuasaan (hukum mengabdi terhadap kekuasaan, baik secara lunak maupun secara keras). Dalam hukum otonom orientasi ditujukan kepada pengawasan kekuasaan represif. Dengan munculnya hukum otonom, tertib hukum menjadi sumber daya untuk menjalankan hukum represif tersebut.

Hukum otonom pada prinsipnya berpusat kepada hakim dan terikat pada peraturan. Hakimlah yang menjadi sumber tatanan hukum, bukan polisi atau legislator. Di sini hakim memasukkan nilai-nilai otonomi hukum, kewajaran, serta retribusi dengan demikian menjadi penting secara simbolis. Hakim adalah juru bicara bagi hukum sebagai keadilan, dan bukan hukum sebagai keinginan politik. Peraturan yang dijalankan oleh hakim tersebut diartikan sebagai sebuah norma dengan cakupan dan aplikasi yang sudah tertentu sifatnya.[8]

3.    HUKUM RESPONSIF

Philippe Nonet dan Philip Selznick sampai kepada pencarian hukum yang resposif. Pencarian hukum responsif telah menjadi kegiatan teori hukum modern yang terus-menerus dilakukan. Tujuan utama penganut legal realism (realisme hukum) adalah untuk membuat hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan sosial.[9]

Ketiga tatanan hukum tersebut di atas merupakan bentuk hukum modern, yang tidak lepas dari adanya pengaruh dari negara modern. Selain itu, ketiga tatanan tersebut termasuk kajian kepada sosiologi hukum. Berdasarkan uraian di atas, tatanan hukum otonom sangat menonjol dalam praktek hukum yang tengah terjadi sekarang ini. Keotonomian hukum ini, bukan menjadi harga mati atau penilaian yang final. Hal ini diperkuat dengan gagasan bahwa prosedur merupakan jantung dari hukum dan menempati etos penting dalam hukum otonom. Hukum otonom dimulai dengan komitmen untuk memerintah berdasarkan peraturan. Hukum otonom ini menganggap bahwa prosedur merupakan jaminan paling nyata dari suatu penerapan peraturan secara adil. Hukum otonom mengendalikan siifatnya yang represif dengan due process. Dalam penyelesaian pertikaian antar penduduk dan dalam penilaian klaim-klaim oleh atau melawan negara, sistem hukum menawarkan produknya yang paling nyata dan tegas (keadilan prosedural). Dalam praktek -misalnya- di pengadilan, kedekatan antara hukum dengan prosedural sangat nyata. Keduanya tidak mempunyai jarak. Bagi siapa yang berurusan dengan pengadilan harus melewati prosedur-prosedur yang telah ditetapkan. Dalam tatanan hukum otonom ini, pengadilan diberi kekuasaan untuk menentukan prosedurnya sendiri yaitu mengatur syarat-syrat untuk mendapat akses dalam proses hukum dan cara-cara berpartisipasi di dalam proses hukum tersebut. Dengan adanya kekuasaan ini, pengadilan dapat menuntut bahwa siapapun yang dapat menggugat otoritas hukum, harus melakukan dengan cara yang konsisten dengan keteraturan hukum.

Akibat dari penggunaan prosedur tersebut, pengadilan hanya menghasilkan keadilan yang sifatnya formal. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa keadilan yang bersifat formal, secara konsisten melayani pola-pola hak istimewa dan kekuasaan yang ada. Makna keadilan dirusak ketika sebuah sistem bangga akan adanya sistem peradilan yang sempurna dan tidak memihak. Tidak mampu menjustifikasi gugatan akan ketidakadilan substantif. Keadilan yang ditawarkan oleh due process dalam tatanan hukum otonom ini terasa menyesatkan dan sewenang-wenang, ketika menghalangi terwujudnya harapan akan keaadilan. Ia dilindungi oleh prosedur-prosedur yang penuh keberpihakan, dengan cara-cara itu seolah-olah pengadilan tengah melayani status.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum represif, otonom dan responsif dapat dipahami sebagai 3 (tiga) dilema yang ada antara integritas dan keterbukaan. Hukum yang represif ditandai dengan adaptasi yang pasif dan oportunistis dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan politik. Hukum otonom merupakan suatu reaksi yang menentang keterbukaan yang serampangan. Perhatian utamanya adalah bagaimana menjaga intergritas institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut, hakim mengisolasi dirinya, mempersempit tanggung jawabnya dan menerima formalisme yang buta demi mencapai sebuah integritas.[10]

Tipe hukum responsif berusaha untuk mengatasi ketegangan yang demikian tersebut. Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai yang tersirat yang terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam tatanan hukum responsif, due process dipahami sebagaimana untuk serangkaian peraturan yang dipaparkan secara historis, yang melindungi hak-hak atas right of notice atau pemberitahuan untuk didengar dalam persidangan dengan sistem juri. Makna due process ini bertentangan dengan interpretasi yang lebih fleksibel, yang menganggap bahwa aturan terkait pada masalah-masalah konteks yang khusus dan berusaha untuk mengidentifikasikan nilai-nilai yang dipertaruhkan dalam perlindungan melalui prosedur. Ketika nilai-nilai itu diartikulasikan, nilai tersebut menawarkan kriteria otoritatif untuk mengkritisi peraturan-peraturan yang ada, mendorong pembentukan baru, dan menuntut perluasan sistem due processke situasi kelembagaan baru.[11]

Akhirnya tuntutan terhadap due process ini adalah, perlunya tatanan nilai-nilai yang lebih mengarah kepada pembentukan hukum responsif. Alasannya adalah karena peraturan perlu bergantung kepada atau disesuaikan dengan kondisi-kondisi historis yang tepat, sehingga ia dapat relevan dan mempunyai daya hidup. Ketika lingkungan berubah, peraturan-peraturan harus ditata ulang, bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan kebijakan, namun juga untuk melindungi otoritas peraturan itu sendiri dan integritasnya ketika diaplikasikan.

Dalam masa transisi dari otonom ke responsif, langkah yang menentukan adalah menggeneralisasi tujuan hukum. Aturan- aturan kebijakan dan prosedur tertentu dianggap sebagai alat dan bisa dikorbankan. Bisa saja hal itu dihargai sebagai pengalaman, tetapi tidak lagi menentukan atau memberikan batasan-batasan terhadap komitmen tatanan hukum. Sebagai gantinya, tekanannya bergeser pada tujuan-tujuan yang lebih umum, yang mengandung premis-premis kebijakan dan mengungkapkan urusan yang sebenarnya kita hadapi. Oleh karena itu, ciri hukum yang responsif adalah pencarian nilai-nilai implisit yang ada di dalam aturan-aturan dan kebijakan. Sebagai contoh yang tidak asing adalah hukum kelayakan proses/proses hukum yang layak (law of due process). Sebagai suatu doktrin konstitusional due Process dapat saja di anggap sebagai sekedar sebagai nama bagi sekumpulan aturan yang ditentukan secara historis, yang melindungi hak atas pemberitahuan, hearing, pemeriksaan oleh juri dan sejenisnya.

Due Process yang sudah tertentu ini berlawanan dengan interpretasi (penafsiran) yang lebih fleksibel, yang menganggap aturan terikat pada masalah-masalah dalam konteks yang khusus dan berusaha mengidentifikasi nilai-nilai yang dipertaruhkan dalam perlindungan melalui prosedur. Ketika nilai-nilai ini dikemukakan, mereka menawarkan kriteria kuat untuk mengkritik aturan yang ada, membuat aturan baru dan membimbing perluasan cakupan due process ke situasi kelembagaan baru merupakan sumber utama. Demikian pula, generalisasi tujuan dari fleksibilitas dalam, organisasi modern. Misalnya, dalam penyelesaian kasus KDRT, penegak hukum mengambil langkah menuju sifat responsif ketika itu menyadari perlunya membedakan apakah kejahatan dalam persoalan KDRT sama dengan kejahatan sejenis yang terjadi antar pelaku dan korban yang tidak lembaga perkawinan (di luar ranah rumah tangga)


[1] Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Grasindo, 2008, hlm. 155.

[2] Abintoro Prakoso, Sosiologi Hukum, Surabaya: Laksbang Pressindo, 2017, hlm. 171.

[3] Op.Cit., Yesmil Anwar dan Adang, hlm. 156.

[4] Op.Cit., Abintoro Prakoso, hlm. 172-173.

[5] Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum Responsif, Bandung: Nusa Media, 2008, hlm. 2.

[6] Ibid., hlm. 84.

[7] Ibid., hlm. 35.

[8] Op.Cit., Yesmil Anwar dan Adang, hlm. 161. 

[9] Ibid.

[10] Op.Cit., Philippe Nonet dan Philip Selznick, hlm. 87.

[11] Ibid., hlm. 90.

Posting Komentar

Posting Komentar