- -->
Hukum modern pada dasarnya
adalah suatu peralihan dari hukum tradisional untuk mencari tatanan yang lebih
baik.[1] Hukum modern lahir sebagai
akibat dari adanya negara modern (sejak abad XIX). Pengertian hukum di sini
haruslah modern. Salah satu model penyelenggaraan hukum modern adalah dengan
diterapkannya model seperti rule of law atau rechtstaat.
Negara modern melahirkan suatu
kehidupan dan tatanan dengan suatu struktur yang rigid, belum dikenal
sebelumnya dalam sejarah perkembangan manusia. Kehadiran negara modern ini
dikaitkan dengan pertumbuhan hukum modern karena keduanya merupakan salah satu
bagian dari studi sosiologi hukum. Gianfanco Poggi sebagai seorang profesor
sosiologi hukum, telah membagi pertumbuhan negara modern menjadi negara
feodalisme, steandestaat, absolutisme, masyarakat sipil, dan negara
konstitusional.[2]
Hukum modern pertumbuhannya
dipengaruhi oleh kehadiran negara modern. Hukum tersebut memberikan bentuknya
sendiri dalam masyarakat. Hal ini telah dijelaskan oleh Philippe Nonet dan
Philip Selznick tahun 1970-an. Negara sedang berkembang memiliki karakteristik
persoalannya sendiri. Oleh karena itu, tidak dapat dipaksakan untuk mengikuti
cara-cara penyelenggaraan hukum yang telah mapan seperti di negara-negara
Barat. Philippe Nonet dan Philip Selznick merupakan contoh dari arus pemikiran
mengenai penyelenggaraan hukum di negara yang sedang berkembang. Keduanya
mengakui pada suatu waktu suatu bangsa masih harus menghadapi masalah dasar
(misalnya membangun bangsa atau tatanan politik baru), dapat dimengerti adanya
kemiskinan sumber daya di pihak elit penguasa. Akibatnya para pemimpin jatuh
pada penggunaan kekuasaan.[3]
Inti sari pemikiran mengenai
tatanan hukum yang diperkenalkan oleh Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam
tulisannya Law & Society in Transition: Toward Responsive Law 1978
adalah teori modernisasi, yang mengatakan bahwa negara berkembang akan mencapai
suatu tingkat perkembangan hukum seperti yang dinikmati negara-negara
maju/modern asal mau mengikuti jalan yang telah ditempuh oleh negara-negara
maju tersebut. Tulisan Philippe Nonet dan Philip Selznick tahun 2003
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Hukum Resposif: Pilihan
di Masa Transisi. Inti dari pemikiran Philippe Nonet dan Philip Selznick mengemukakan
tiga tipe tatanan Hukum, yang dalam tingkat tertentu menunjukkan suatu
perkembangan tatanan hukum dalam masyarakat yang memiliki organisasi politik
dalam suatu bentuk negara. Tiga tipe tatanan Hukum itu oleh Nonet-Selznick
adalah: Tatanan Hukum Represif, Tatanan Hukum Otonomius, dan Tatanan Hukum yang
Responsif.[4]
Tatanan Hukum Represif merupakan
tatanan hukum yang bertugas menyelesaikan masalah yang sangat
mendasar/fundamental dalam mendirikan tatanan politik. Menjadi prasarat bagi
sistem hukum dan sistem politik mencapai sasaran yang lebih maju (baik dan
modern). Tatanan Hukum Otonomius diulas kemudian, dengan menunjukkan suatu
proses menuju ke arah yang lebih baik dari tatanan hukum yang sebelumnya,
dibangun di atas hasil-hasil yang telah dicapai oleh tatanan hukum represif.
Tatanan Hukum Responsif merupakan tatanan hukum tahap terakhir dari uraian
bukunya dan merupakan suatu perkembangan menuju rule of law (lebih
tinggi) dari yang dihasilkan oleh tatanan hukum otonomius. Philippe Nonet dan
Philip Selznick juga memberi perhatian khusus dari ketiga tahap perkembangan
tatanan hukum itu, yaitu pada sekumpulan variabel yang berkaitan dengan hukum.
Bagaimana kekerasan dalam hukum, hubungan timbal balik antara hukum dan
politik, hubungan hukum dengan negara dan dengan tatanan moral, tempat dari
peraturan-peraturan, diskresi, tujuan dalam putusan-putusan hukum dan
partisipasi masyarakat. Legitimasi kondisi kepatuhan tiap-tiap variabel itu
berbeda serta mencolok bilamana konteksnya diubah. Di antara variabel terdapat
hubungan-hubungan yang menentukan dan sistematis. Misalnya arti pentingnya suatu
peraturan. Hal ini, berhubungan langsung dengan struktur kekuasaan dalam tata
hukum yang bersangkutan. Sekelompok aturan membatasi diskresi lapisan bawah
dari birokrasi hukum sehingga mengkonsentrasikan kekuasaan di tingkat atas. Hal
ini menimbulkan monopoli kekuasaan pemerintah. Dalam kenyataannya, tata hukum
membentuk suatu sistem dengan suatu konstelasi atribut-atribut yang mempunyai
kohesi internal.
Sistem yang berbeda dalam
konsep seperti di atas menunjukkan adanya percampuran variabel-variabel dasar yang
berkaitan dengan hukum. Tiap-tiap variabel dasar ini mengandung suatu nilai
yang sesuai, sebagai sistem yang luas. Teori yang diajukan oleh Philippe Nonet
dan Philip Selznick bertujuan untuk menjelaskan hubungan-hubungan sistematis
dan mengidentifikasikan konfigurasi spesifik yang terjadi. Seluruhnya
dijelaskan sekaligus dalam perkembangan ketiga tatanan hukum yang menjadi pusat
perhatian bukunya.
Sejalan dengan perkembangan
negara modern ini, sudah lama dirasakan bahwa pembentukan hukum, peradilan, penyelenggaraan
keamanan dan peraturan sangat mudah dipisahkan dari realitas sosial dan dari
prinsip keadilan itu sendiri. Sesuai dengan apa yang dikatakan oleh Satjipto
Rahardjo, waktu sekarang hukum modern berada dalam persimpangan jalan. Selain
memburu keadilan yang sifatnya formal namun juga harus memburu keadilan yang
substansial. Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick kebangkitan ini
merefleksikan dorongan akademik, bahwa perspektif dan metode studi ilmu sosial
berlaku pula untuk menganalisis institusi hukum dan membangun semangat pembaharuan.
Telah tiba waktunya bagi kajian yang berkelanjutan untuk dapat membuahkan hasil
yang bermanfaat bagi penyelenggaraan keadilan.[5]
Di tengah-tengah hukum modern
ini, banyak kritik yang dilontarkan terhadap sistem peradilan pidana yang adil
dan layak. Salah satunya dapat dilihat adanya kecenderungan pemeriksaan perkara
pidana di pengadilan, yang banyak memihak kepada pelayanan status yang lebih
tinggi. Sesuai dengan model pemeriksaan yang layak dan adil ini, biasanya
terdakwa yang statusnya lebih rendah atau masyarakat miskin, tidak mendapat
pemeriksaan yang selayaknya. Tuduhan ini dilontarkan terhadap banyak pengadilan
yang disebabkan karena adanya anggapan bahwa pengadilan terlalu represif yang
bawah, pengadilan selalu mendahulukan peraturan dalam bentuk formal daripada
substansial.
Diakui adanya suasana
berkurangnya kepercayaan kepada pengadilan nampak jelas dalam sejumlah karya
tulis yang secara tajam mengkritik lembaga peradilan. Menurut Philippe Nonet
dan Philip Selznick, kritik atas hukum selalu ditujukan kepada tidak memadainya
hukum sebagai alat perubahan dan hukum yang baik harus berkompeten dan juga
adil, hukum semacam itu seharusnya mampu mengenali keinginan publik dan
mempunyai komitmen bagi tercapainya keadilan substantif.[6]
1. HUKUM
REPRESIF
Gagasan awal dari hukum
represif adalah tatanan hukum tertentu dapat berupa ketidakadilan yang tegas.
Keberadaan hukum tidak menjamin keadilan, apalagi keadilan substantif. Contoh
dalam hal ini adalah memandang penggunaan paksaan tanpa memikirkan kepentingan
yang ada di dalam masyarakat. Menurut Philippe Nonet dan Philip Selznick
kekuasaan pemerintah bersifat represif, jika kekuasaan tersebut tidak
memperhatikan kepentingan orang-orang yang diperintah, yaitu ketika kekuasaan
dilaksanakan tidak untuk kepentingan mereka, atau dengan mengingkari legitimasi
masyarakat. Represif tidak harus melibatkan penindasan yang mencolok, represif
terjadi pula ketika kekuasaan bersifat lunak namun hanya sedikit memberi
perhatian dan tidak secara efektif dikendalikan oleh kepentingan-kepentingan
penguasa. Bentuk represi yang paling jelas dalam hal ini adalah menggunakan
kekerasan yang tidak terkontrol untuk menegakkan perintah, menekan pihak yang
tidak patuh atau menghentikan demonstrasi. Represif juga dapat berarti dengan mendorong
persetujuan pasif.[7]
2. HUKUM
OTONOM
Dalam hukum represif, hukum
adalah kekuasaan (hukum mengabdi terhadap kekuasaan, baik secara lunak maupun
secara keras). Dalam hukum otonom orientasi ditujukan kepada pengawasan
kekuasaan represif. Dengan munculnya hukum otonom, tertib hukum menjadi sumber
daya untuk menjalankan hukum represif tersebut.
Hukum
otonom pada prinsipnya berpusat kepada hakim dan terikat pada peraturan.
Hakimlah yang menjadi sumber tatanan hukum, bukan polisi atau legislator. Di sini
hakim memasukkan nilai-nilai otonomi hukum, kewajaran, serta retribusi dengan
demikian menjadi penting secara simbolis. Hakim adalah juru bicara bagi hukum
sebagai keadilan, dan bukan hukum sebagai keinginan politik. Peraturan yang
dijalankan oleh hakim tersebut diartikan sebagai sebuah norma dengan cakupan
dan aplikasi yang sudah tertentu sifatnya.[8]
3. HUKUM
RESPONSIF
Philippe
Nonet dan Philip Selznick sampai kepada pencarian hukum yang resposif.
Pencarian hukum responsif telah menjadi kegiatan teori hukum modern yang
terus-menerus dilakukan. Tujuan utama penganut legal realism (realisme
hukum) adalah untuk membuat hukum menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan
sosial.[9]
Ketiga tatanan hukum tersebut di atas merupakan bentuk
hukum modern, yang tidak lepas dari adanya pengaruh dari negara modern. Selain
itu, ketiga tatanan tersebut termasuk kajian kepada sosiologi hukum.
Berdasarkan uraian di atas, tatanan hukum otonom sangat menonjol dalam praktek
hukum yang tengah terjadi sekarang ini. Keotonomian hukum ini, bukan menjadi
harga mati atau penilaian yang final. Hal ini diperkuat dengan gagasan bahwa
prosedur merupakan jantung dari hukum dan menempati etos penting dalam hukum
otonom. Hukum otonom dimulai dengan komitmen untuk memerintah berdasarkan
peraturan. Hukum otonom ini menganggap bahwa prosedur merupakan jaminan paling
nyata dari suatu penerapan peraturan secara adil. Hukum otonom mengendalikan
siifatnya yang represif dengan due process. Dalam penyelesaian
pertikaian antar penduduk dan dalam penilaian klaim-klaim oleh atau melawan
negara, sistem hukum menawarkan produknya yang paling nyata dan tegas (keadilan
prosedural). Dalam praktek -misalnya- di pengadilan, kedekatan antara hukum
dengan prosedural sangat nyata. Keduanya tidak mempunyai jarak. Bagi siapa yang
berurusan dengan pengadilan harus melewati prosedur-prosedur yang telah
ditetapkan. Dalam tatanan hukum otonom ini, pengadilan diberi kekuasaan untuk
menentukan prosedurnya sendiri yaitu mengatur syarat-syrat untuk mendapat akses
dalam proses hukum dan cara-cara berpartisipasi di dalam proses hukum tersebut.
Dengan adanya kekuasaan ini, pengadilan dapat menuntut bahwa siapapun yang
dapat menggugat otoritas hukum, harus melakukan dengan cara yang konsisten
dengan keteraturan hukum.
Akibat
dari penggunaan prosedur tersebut, pengadilan hanya menghasilkan keadilan yang
sifatnya formal. Padahal tidak dapat dipungkiri bahwa keadilan yang bersifat
formal, secara konsisten melayani pola-pola hak istimewa dan kekuasaan yang
ada. Makna keadilan dirusak ketika sebuah sistem bangga akan adanya sistem
peradilan yang sempurna dan tidak memihak. Tidak mampu menjustifikasi gugatan
akan ketidakadilan substantif. Keadilan yang ditawarkan oleh due process dalam
tatanan hukum otonom ini terasa menyesatkan dan sewenang-wenang, ketika
menghalangi terwujudnya harapan akan keaadilan. Ia dilindungi oleh
prosedur-prosedur yang penuh keberpihakan, dengan cara-cara itu seolah-olah
pengadilan tengah melayani status.
Dari
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa hukum represif, otonom dan responsif
dapat dipahami sebagai 3 (tiga) dilema yang ada antara integritas dan
keterbukaan. Hukum yang represif ditandai dengan adaptasi yang pasif dan
oportunistis dari institusi-institusi hukum terhadap lingkungan sosial dan
politik. Hukum otonom merupakan suatu reaksi yang menentang keterbukaan yang
serampangan. Perhatian utamanya adalah bagaimana menjaga intergritas
institusional. Untuk mencapai tujuan tersebut, hakim mengisolasi dirinya,
mempersempit tanggung jawabnya dan menerima formalisme yang buta demi mencapai
sebuah integritas.[10]
Tipe
hukum responsif berusaha untuk mengatasi ketegangan yang demikian tersebut.
Ciri khas hukum responsif adalah mencari nilai-nilai yang tersirat yang
terdapat dalam peraturan dan kebijakan. Dalam tatanan hukum responsif, due
process dipahami sebagaimana untuk serangkaian peraturan yang dipaparkan
secara historis, yang melindungi hak-hak atas right of notice atau
pemberitahuan untuk didengar dalam persidangan dengan sistem juri. Makna due
process ini bertentangan dengan interpretasi yang lebih fleksibel, yang
menganggap bahwa aturan terkait pada masalah-masalah konteks yang khusus dan
berusaha untuk mengidentifikasikan nilai-nilai yang dipertaruhkan dalam
perlindungan melalui prosedur. Ketika nilai-nilai itu diartikulasikan, nilai
tersebut menawarkan kriteria otoritatif untuk mengkritisi peraturan-peraturan
yang ada, mendorong pembentukan baru, dan menuntut perluasan sistem due
processke situasi kelembagaan baru.[11]
Akhirnya
tuntutan terhadap due process ini adalah, perlunya tatanan nilai-nilai
yang lebih mengarah kepada pembentukan hukum responsif. Alasannya adalah karena
peraturan perlu bergantung kepada atau disesuaikan dengan kondisi-kondisi
historis yang tepat, sehingga ia dapat relevan dan mempunyai daya hidup. Ketika
lingkungan berubah, peraturan-peraturan harus ditata ulang, bukan hanya untuk
memenuhi kebutuhan kebijakan, namun juga untuk melindungi otoritas peraturan
itu sendiri dan integritasnya ketika diaplikasikan.
Dalam masa transisi dari otonom ke responsif, langkah yang menentukan adalah menggeneralisasi tujuan hukum. Aturan- aturan kebijakan dan prosedur tertentu dianggap sebagai alat dan bisa dikorbankan. Bisa saja hal itu dihargai sebagai pengalaman, tetapi tidak lagi menentukan atau memberikan batasan-batasan terhadap komitmen tatanan hukum. Sebagai gantinya, tekanannya bergeser pada tujuan-tujuan yang lebih umum, yang mengandung premis-premis kebijakan dan mengungkapkan urusan yang sebenarnya kita hadapi. Oleh karena itu, ciri hukum yang responsif adalah pencarian nilai-nilai implisit yang ada di dalam aturan-aturan dan kebijakan. Sebagai contoh yang tidak asing adalah hukum kelayakan proses/proses hukum yang layak (law of due process). Sebagai suatu doktrin konstitusional due Process dapat saja di anggap sebagai sekedar sebagai nama bagi sekumpulan aturan yang ditentukan secara historis, yang melindungi hak atas pemberitahuan, hearing, pemeriksaan oleh juri dan sejenisnya.
Due Process yang sudah tertentu ini berlawanan dengan interpretasi (penafsiran) yang lebih fleksibel, yang menganggap aturan terikat pada masalah-masalah dalam konteks yang khusus dan berusaha mengidentifikasi nilai-nilai yang dipertaruhkan dalam perlindungan melalui prosedur. Ketika nilai-nilai ini dikemukakan, mereka menawarkan kriteria kuat untuk mengkritik aturan yang ada, membuat aturan baru dan membimbing perluasan cakupan due process ke situasi kelembagaan baru merupakan sumber utama. Demikian pula, generalisasi tujuan dari fleksibilitas dalam, organisasi modern. Misalnya, dalam penyelesaian kasus KDRT, penegak hukum mengambil langkah menuju sifat responsif ketika itu menyadari perlunya membedakan apakah kejahatan dalam persoalan KDRT sama dengan kejahatan sejenis yang terjadi antar pelaku dan korban yang tidak lembaga perkawinan (di luar ranah rumah tangga)
[1] Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar
Sosiologi Hukum, Jakarta: Grasindo, 2008, hlm. 155.
[2] Abintoro Prakoso, Sosiologi Hukum,
Surabaya: Laksbang Pressindo, 2017, hlm. 171.
[3] Op.Cit., Yesmil Anwar dan Adang,
hlm. 156.
[4] Op.Cit., Abintoro
Prakoso, hlm. 172-173.
[5] Philippe Nonet dan Philip Selznick, Hukum
Responsif, Bandung: Nusa Media, 2008, hlm. 2.
[6] Ibid., hlm. 84.
[7] Ibid., hlm. 35.
[8] Op.Cit., Yesmil Anwar dan Adang,
hlm. 161.
[9] Ibid.
[10] Op.Cit., Philippe Nonet dan
Philip Selznick, hlm. 87.
[11] Ibid., hlm. 90.
Posting Komentar