- -->
A.Definisi Sewa Menyewa
Sewa-menyewa merupakan salah satu
perjanjian timbal balik dimana terdapat beberapa definisi mengenai sewa-menyewa
antara lain definisi sewa meyewa menurut ahli yaitu Subekti, dimana ia
mengartikan bahwa sewa-menyewa adalah pihak yang satu menyanggupi akan
menyerahkan suatu benda untuk dipakai selama suatu jangka waktu tertentu
sedangkan pihak yang lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah
ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan.[1]
Selain Subekti, ahli lain yaitu Menurut M. Yahya Harahap mengartikan bahwa
sewa-menyewa adalah persetujuan antara pihak yang menyewakan dengan pihak
penyewa. Pihak yang menyewakan menyerahkan barang yang hendak disewa kepada
pihak penyewa untuk dinikmati sepenuhnya.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sewa
menyewa adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri
untuk memberikan kenikmatan suatu barang kepada pihak yang lain selama waktu
tertentu, dengan Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata, Buku III, Pasal 1313 pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh
pihak tersebut terakhir itu. Orang dapat menyewakan berbagai jenis barang, baik
yang tetap maupun yang bergerak. Perjanjian sewa menyewa bangunan haruslah
memenuhi syarat-syarat sebagaimana diminta oleh Pasal 1320 KUHPerdata,
misalnya:
1. Adanya
kesepakatan dalam pembuatan perjanjian tersebut;
2. Para
pihak mempunyai kecakapan dan kewenangan untuk membuat perjanjian, cakap saja
dalam perjanjian sewa menyewa belum cukup tetapi juga harus mempunyai
kewenangan;
3. Perjanjian
tersebut berisi tentang sesuatu hal yang khusus;
4. Objek
dari perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan hukum, misalnya masih dalam
sengketa dan lain sebagainya.
Selain dari syarat sah perjanjian
yang diatur oleh pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata terdapat pula
asas penting yang perlu diterapkan dalam perjanjian sewa menyewa. Berdasarkan
Pasal 1338 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata ditentukan bahwa:
“Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad
baik.” Sebuah asas hukum perjanjian, termuat dalam Pasal 1338 ayat (3), yang
mengatakan, bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.[2]
Bahwa yang dimaksud dengan itikad baik dalam pasal 1338 ayat (3) tidak lain
adalah, bahwa perjanjian harus dilaksanakan secara pantas dan patut.12 Itikad
baik ini harus diterapkan oleh kedua belah pihak ketika mengadakan perjanjian
sehingga hak dan kewajiban masing-masing tidak terlanggar.
B. Korelasi
Sewa Menyewa dengan Akta Autentik
Akta adalah surat sebagai alat bukti yang
diberi tandatangan yang memuat peristiwa yang menjadi dasar suatu hak
atauperikatan, yang dibuat sejak semula dengan sengaja untuk pembuktian.
Pembuktian merupakan salah satu langkah dalam proses perkara perdata.
Pembuktian diperlukan karena adanya bantahan atau penyangkalan dari pihak lawan
atau untuk membenarkan sesuatu hak yang menjadi sengketa.
Bahwa bukti tulisan dalam perkara perdata
adalah merupakan bukti yang utama, karena dalam lalu lintas keperdataan sering
kali orang dengan sengaja menyediakan suatu bukti yang dapat dipakai kalau
timbul suatu perselisihan, dan bukti tadi lajimnya atau biasanya berupa
tulisan.[3]
Sesuai dengan rumusan Pasal 1868 Kitab
Undang Undang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUH Perdata), akta
autentik merupaan akta yang didalam bentuk yang ditentukan oleh undang undang,
dibuat oleh atau dihadapan pegawai pegawai umum yang berkuasa untuk itu di
tempat dimana akta itu dibuat. Akta autentik merupakan suatu bukti yang
mengikat dalam arti apa yang tertulis dalam akta haruslah dianggap benar dan
dipercaya oleh hakim. Akta otentik juga memberikan suatu bukti yang sempurna
karena tidak memerlukan suatu penambahan alat bukti lainnya, sebagaimana halnya
dengan saksi. Dengan kata lain, akta otentik memiliki kekuatan pembuktian
secara lahiriah, formal dan materiil, dan membedakannya dengan akta dibawah
tangan. Suatu akta otentik dapat membuktikan secara sah dan kuat adanya
hubungan hukum diantara para pihak yang membuatnya sehingga terciptalah
kepastian hukum selama tidak ada yang membantahnya.
Akta autentik adalah akta yang dibuat oleh
notaris maupun PPAT ( Pejabat Pembuat Akta Tanah. Notaris membuat akta sesuai
keinginan para pihak, sedanglan PPAT hanya membuat beberapa akta, diantaranya
adalah :
1. Akta
Jual Beli (AJB) Dalam hal membuat akta jual beli, PPAT membuat akta jual beli
dengan objek benda tidak bergerak yaitu, tanah, rumahh dan benda tak bergerak
lainnya
2. Akta
Tukar Menukar
3. Akta
Hibah Akta hibah dibuat oleh PPAT dengan objek barang yang tentunya tidak
bergerak diantaranya tanah, rumah, dan lain sebagainya.
4. Akta
Pemasukan Kedalam Perusahaan (Inbreng).
5. Akta
Pembagian Hak Bersama (APHB).
6. Akta
Pemberian Hak Guna Bangunan/Hak Pakai di atas Tanah Hak Milik
7. Akta
Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
8. Akta
Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT)
Apabila dilihat dari akta-akta yang
dibuat oleh PPAT, akta sewa menyewa dibuat oleh notaris, namun hal tersebut
tergantung dengan objek dari akta tersebut, apabila objeknya merupakan benda
tidak bergerak maka hal tersebut merupakan kewenangan dari PPAT, namun apabila
objeknya menyangkut benda bergerak maka notarislah yang berwenang membuat akta
autentiknya.
Terhadap akta-akta yang dibuat oleh
notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) telah ditentukan dalam Undang-Undang
No 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris bahwa :
1. Setiap
akta notaris terdiri atas:
a. Awal
akta atau kepala akta;
b. Badan
akta, dan;
c. Akhir
atau penutup akta.
2. Awal
akta atau kepala akta memuat:
a. Judul
akta;
b. Nomor
akta;
c. Jam,
hari,tanggal, bulan, dan tahun
d. Nama
lengkap dan tempat kedudukan notaris
3. Badan
akta memuat:
a. Nama
lengkap, tempat dan tanggal lahir, kewarganegaraan, pekerjaan, jabatan,
kedudukan, tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili;
b. Keterangan
mengenai kedudukan bertindak menghadap;
c. Isi
akta yang merupakan kehendak dan keinginan dari para pihak yang berkepentingan
dan;
d. Nama
lengkap, tempat tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan dan tempat tingga
dari saksi-saksi pengenal .
1. Akhir
atau penutup akta memuat:
a. Uraian
tentang pembacaan akta sebagaimana dimaksud dalam pasal 16 ayat (1) hururf l
atau pasal 16 ayat (7);
b. Uraian
tentang penanda tanganan dan tempat penanda tanganan atau penerjermhan akat
bila ada;
c. Nama
lengkap, tempat kedudukan dan tanggal lahir, pekerjaan, jabatan, kedudukan, dan
tempat tinggal dari tiaptiap saksi akta; dan d. Uraian tentang tidak adanya
perubahan yang telah terjadi dalam pembuatan akta atau uraian tentang adanya
perubahan yang dapat berupa penambahan, pencoretan, atau penggantian.[4]
Berdasarkan uraian di atas mengenai
definisi sewa menyewa dan akta autentik, dapat ditarik kesimpulan mengenai
korelasi sewa menyewa dengan akta autentik adalah perjanjian tersebut lebih
memiliki kekuatan hukum yang sempurna, kuat dan penuh.
Pembuktian yang sempurna di sini
bermakna bahwa tidak dapat disangkal keberadaannya. Hal ini dikarenakan
perjanjian sewa menyewa yang dibuat dalam bentuk akta autentik tidak dapat
disangkal isinya, hal ini dikarenakan pejabat pembuat akta telah memastikan
bahwa isi para pihak dalam perjanjian memahami isi dari perjanjian dengan cara
membacakannya di hadapan para pihak dan memastikan bahwa tanda tangan tersebut
sesuai dengan aslinya.
Dengan demikian, apabila suatu
Perjanjian Notariil diajukan sebagai alat bukti di pengadilan, maka perjanjian
tersebut menjadi alat bukti yang tidak dapat disangkal oleh para pihak.
Hakim pun harus mempercayai alat bukti tersebut sah. Pengecualian dalam hal ini
adalah, apabila pihak lawan atau terdapat bukti lain yang menyatakan
sebaliknya.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa
perjanjian sewa menyewa yang dibuat dengan bentuk akta autentik memiliki
manfaat bagi para pihak. Yang meliputi:
1. Menentukan
secara jelas mengenai hak dan kewajiban para pihak
2. Menjamin
kepastian hukum
3. Terhindar
dari terjadinya sengketa
4. Alat
bukti yang tertulis, terkuat, dan terpenuh selama tidak dapat dibuktikan lain
5. Pada
hakikatnya memuat kebenaran formal. Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh
para pihak terhadap notaris/PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah). [5]
Jika dilihat dalam proses menyewakan sebuah properti, seperti
rumah, apartemen, ruko, gudang dan properti lainnya maupun sewa
kendaraan/otomotif, maka pemilik ataupun penyewa seringkali merasa cukup dengan
adanya perjanjian bawah tangan yang mereka buat sendiri atau surat yang
dibuatkan oleh jasa pemasaran properti. Hal tersebut biasanya terjadi untuk menghindari adanya biaya
notaris/PPAT yang harus dibayarkan juga dengan urusan administrasi atau data
yang harus dikumpulkan jika hendak menggunakan jasa notaris/PPAT.
Namun, kebiasaan atau asumsi masyarakat mengenai hal ini
tidak sepenuhnya benar karena ada tujuan dan manfaat positif untuk pemilik
properti ataupun penyewa jika transaksi sewa menyewa mereka perjanjiannya
disahkan di hadapan notaris. Salah satu contoh kasus yang sering
terjadi dalam hal sewa menyewa adalah pada saat masa sewa berakhir, penyewa
tidak juga mengosongkan properti. Pemilik bisa melakukan pengosongan paksa yang
secara hukum harus didampingi oleh pihak berwajib, pada umumnya pihak berwajib
akan bertindak jika ada akta sewa menyewa secara Notariil bukan hanya bawah
tangan. Sebaliknya, pihak penyewa harus memeriksa keabsahan dokumen properti sebelum
menyewa. Pastikan properti tersebut terbukti milik pemilik yang sedang
bertransaksi dengan penyewa, belum dijual ke pihak lain atau jika sedang
dijaminkan mendapatkan ijin sewa juga dari pihak yang memberi jaminan.
Agar lebih aman, pemeriksaan ini akan dilakukan oleh pejabat
pembuat akta yang sudah berpengalaman di bidangnya dan di tengah-tengah masa
sewa pun apabila pemilik tiba-tiba hendak menjual atau menjaminkan properti
akan dibuatkan pasal-pasal keamanan untuk menjamin penyewa tidak diusir dari
property tersebut selama masa sewa.
[1] Subekti, Aneka
Perjanjian, Alumni, Bandung, 2014, hlm. 48.
[2] J. Satrio, Hukum
Perikatan Perikatan Yang Lahir Dari Perjanjian Buku II, PT. Citra Aditya
Bakti, Bandung, 2001, hlm. 165
[3] Ellise T. Sulastini dan
Aditya Wahyu, Pertanggungjawaban Notaris Terhadap Akta yang Berindikasi
Pidana, Refika Aditama, Bandung, 2011, hlm 19.
[4] Habib Adjie, Sanksi
Perdata dan Administratif Terhadap Notaris Sebagai Pejabat Publik, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm. 49-50
[5] Salim, H.S, Teknik Pembuatan Akta Satu ( Konsep Teoritis,
Kewenangan Notaris, Bentuk dan Minuta Akta ), PT Raja Grafindo Persada, Depok,
2015, hlm 27.
Posting Komentar