- -->
A. Penerapan
Pidana Mati Dipandang Dari Aspek Sosiologis di Indonesia
Dalam prespektif
sosiologis, hukuman mempunyai arti sosial yang tertentu oleh karena kekuatan
suatu sanksi tergantung pada persepsi manusia mengenai sanksi/hukuman tersebut.
Durkheim, mengkaitkan jenis sanksi dengan jenis solidaritas sosial masyarakat.
Pada solidaritas mekanis yang didasarkan pada kesamaan dan loyalitas yang total
dari individu, maka sanksi yang diterapkan bersifat represif. Penjatuhan sanksi
bertujuan untuk menghukum kejahatan atau menghukum perbuatan yang melanggar
ketentuan sosial yang dianut. Sehingga sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai
alat untuk memuaskan kesadaran bersama. Pada masyarakat dengan solidaritas
organis yang didasarkan pada deferensiasi antara individu, maka
sanksi/hukumannya bersifat restitutif. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah
hukuman yang bersifat akomodatif, sifatnya adalah menjaga perbedaan-perbedaan
itu agar tidak menjadi disintegratif. Selain dari persepsi orang terhadap
sanksi, manusia juga mempunyai taraf toleransi yang berbeda-beda terhadap
penderitaan sebagai akibat pelanggaran. Kedudukan sosio – ekonomi juga
berpengaruh pada penjatuhan hukuman mati bagi seseorang. Seperti yang
diungkapkan dalam kajian di Amerika, disebutkan bahwa hukuman mati akan
mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap warga masyarakat yang miskin dan
minoritas, apabila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari golongan kulit
putih. Hal ini terkait dengan bantuan hukum bagi terdakwa. Mereka juga lebih
banyak dihukum mati jika dibantu oleh pengacara yang diitunjuk pengadilan
dibandingkan dengan jika didampingi oleh pengacara pribadi.[1]
Hukuman mati di Indonesia
sudah lama berlangsung, yaitu sejak bangsa Indonesia dijajah Belanda, hingga
sampai sekarang masih tetap diberlakukan walaupun di Negara Belanda telah
menghapuskan pidana mati mulai tahun 1987. KUHP (Wetboek Van Strafrecht)
disahkan pada tanggal 1 Januari 1981. Menurut ahli-ahli pidana pada saat itu,
dipertahankannya pidana mati karena keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya
penjahat-penjahat yang terbesar bisa dilawan dengan pidana mati. Dengan wilayah
yang begitu luas dengan penduduk yang heterogen, alat Kepolisian Negara tidak
bisa menjamin keamanan.[2] Perbuatan-perbuatan
atau tindak pidana yang diancam dengan pidana mati oleh KUHP, antara lain:
Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3), Pasal 140 ayat (3), Pasal
340, Pasal 365 ayat (4), Pasal 368 , Pasal 444 KUHP, Pasal 479 K ayat (2) dan
Pasal 479 o ayat (2). Di samping itu hukuman mati di Indonesia juga dijelaskan
dalam perundangan di luar KUHP yaitu:[3]
a) Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 59 ayat (2);
b) Pasal
36 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;
c) Pasal
2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas
UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi;
d) Pasal
6 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Terorisme;
e) Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika: Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2),
Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 144 ayat (2).
Perbedaan pendapat
tentang hukuman mati juga terjadi di lingkungan anggota Komisi Nasional Hak
Asasi Manusia (KOMNASHAM). Sikap mereka terhadap hukuman mati ini juga terbagi
dua, ada yang pro dan ada juga yang kontra. Hukuman mati di Indonesia harus
dipertahankan atau dihapuskan. Bagi yang pro, hukuman terberat yang dijatuhkan
oleh Majelis Hakim terpidana masih diperlukan terutama tindak pidana kejam.
Bagi yang kontra, hukuman mati dianggap inskonstitusional atau bertentangan
dengan konstitusi atau UndangUndang Dasar 1945, khususnya hak hidup bagi setiap
warga negara.[6]
Bagi yang setuju,
berargumen bahwa inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah
terjawab dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada permohonan pengujian materil
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang
Dasar 1945. Judicial review tersebut diajukan oleh 4 (empat) terpidana mati
kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas
pidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang
Narkotika. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas
dinyatakan bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997
tentang Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa secara analogi, pidana mati bukanlah suatu tindakan
inkonstituional.[7]
Di samping itu, pendukung
hukuman mati lainnya juga membangun argumentasi bahwa secara yuridis hukuman
mati di Indonesia adalah sah. Di antara bangunan argumentasi tersebut yaitu
sebagai berikut :[8]
Pertama, dengan
menggunakan pendekatan secara harfiah (literal approach), dapat disimpulkan
bahwa pelarangan adanya hukuman mati tidak dinyatakan dimanapun dalam UUD 1945.
Oleh karenanya, kalimat “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”
berdasarkan Pasal 28 I ayat (1), tidak dapat langsung diinterpretasikan sebagai
pelarangan adanya hukuman mati. Perbandingan dengan Konstitusi Jerman dan
Vietnam akan menunjukan bahwa pelarangan hukuman mati didukung secara tertulis
dan terekspresikan secara harfiah dari pasal-pasal konstitusinya. Dengan tidak
adanya ketentuan demikian dalam konstitusi Indonesia, hukuman mati sejalan
dengan apa yang termuat di dalam UUD 1945.
Kedua, dengan menggunakan
pendekatan teleologi (teleological approach), dapat ditemukan melalui pembukaan
UUD 1945 bahwa tujuan daripada negara yaitu“melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Bahkan sebagaimana laporan terakhir yang
dilansir dari berbagai media, dinyatakan bahwa Indonesia memiliki 3,2 juta
pemakai narkotika dengan angka kematian sekitar 15.000 jiwa per tahun atau
secara rata-rata mengakibatkan 41 kematian setiap harinya, dikarenakan
overdosis ataupun penggunaan narkotika yang terkait dengan infeksi AIDS. Negara
mempunya kewajiban konstitusional untuk mencegah terjadinya kematian massal ini
dan mencegah kemungkinan hilangnya generasi (lost generation) masa depan.
Dengan demikian, perlindungan warga negara oleh Negara merupakan hal yang
terpenting dan bahkan dapat dikatakan menjadi kewajiban yang lebih tinggi
dibandingkan dengan tugas-tugas lainnya.
Ketiga, dengan
menggunakan metode interpretasi sistematikal (systematical interpretation),
maka akan jelas terlihat bahwa Pasal 28J ditempatkan dalam satu bab dengan
artikel 28I, yang merupakan hasil amandemen mengenai Bab tentang Hak Asasi
Manusia. Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa Pasal 28J tersebut disusun dalam
hubungan dan kaitannya dengan Pasal 28I. Hal tersebut tidak mempertimbangkan
bahwa akan tepat bila diinterpretasikan bahwa restriksi terhadap
pengimplementasian hak asasi manusia berdasarkan Pasal 28J terkait dengan
lingkup hak-hak selain daripada Pasal 28I.[9]
Dukungan serupa terhadap
pelaksanaan hukuman mati bagi tindak pidana berat juga didasarkan kepada
beberapa alasan, yaitu:[10]
a) Hukuman
mati merupakan tindakkan pembalasan dan pembentukan keadilan;
b) Hukuman
mati merupakan upaya efek jera dan preventif terhadap terjadinya tindak pidana;
c) Hukuman
mati juga ditujukan untuk menghilangkan ancaman terhadap keselamatan dan
kepentingan umum.
Kontoversi tentang
hukuman mati di Indonesia, seperti dijelaskan diatas, dapat dimengerti terlebih
lagi dalam realitasnya hukuman mati tidak dihapuskan namun mengharuskan
persyaratan yang cukup rumit dan implementasinya kurang jelas. Hal tersebut
dapat dilihat dari beberapa kasus eksekusi mati yang tidak memiliki titik terang
dalam pelaksanaannya. Sebagi contoh, sampai akhir tahun 2012, terdapat 133
terpidana mati yang belum dieksekusi di mana 19 tindak pidana narkoba menempati
urutan tertinggi, yaitu 71 orang atau 53,38 %. Sedangkan tindak pidana
pembunuhan menempati urutan kedua yaitu sebanyak 60 orang atau 45,12 %, dan
pada urutan ketiga ialah tindak pidana teorisme sebanyak 2 orang atau 1,50 %.
Sebanyak 113 terpidana mati tersebut, Peninjauan Kembali (PK) dan permohonan
grasinya kepada Presiden Repubpik Indonesia sudah ditolak, namun sampai kini
belum dilakukan eksekusi.
Faktor terpenting dari
hukuman mati adalah faktor kematian itu sendiri. Dari aspek medis, kematian
diindikasikan dengan kematian fisik, namun kematian yang mungkin terjadi
sesungguhnya tidak hanya kematian fisik, tetapi juga kematian sosial. Dari
sudut pandang sosiologis, seseorang bisa disebut masih hidup secara fisik,
tetapi sekaligus mengalami kematian sosial. Hal tersebut terjadi di saat
seseorang berada dalam kondisi sosial sedemikian rupa, sehingga kebebasannya
untuk melakukan aktifitas social dirampas habis. Kematian sosial bisa menjadi
suatu alternatif penting dalam bentuk sanksi pidana untuk menggantikan pidana
mati. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang yang dijatuhi hukuman dua kali
seumur hidup tanpa kemungkinan keringanan, secara fisik ia hidup tetapi mungkin
penderitaan yang dialaminya adalah lebih berat dan panjang, terutama dari segi
penderitaan sosial. Terpidana ini terisolasi dari rutinitas kehidupan sosialnya
dan hal ini merupakan pukulan yang sangat berat, terlebih harus dipisahkan dari
keluarga dekatnya selama ini.[11]
Menurut Satjipto Rahardjo,
dalam hukum sesungguhnya telah dikenal istilah “kematian perdata”. Konon
kematian seperti ini pernah menimpa sejumlah orang pada masa pemerintahan orde
baru lalu. Karena dianggap membahayakan penguasa, maka tanpa melalui proses
peradilan, mereka dimatikan secara perdata. Orang yang terkena kematian perdata
itu masih hidup segar bugar, tetapi jaringan kehidupan sosialnya banyak
dimatikan, misalnya ia tidak dapat lagi melakukan usaha bisnisnya seperti biasa
dan demikian juga dengan pembatasan terhadap berbagai aktifitas sosialnya.
Pidana kematian sosial ini pada dasarnya dapat memberikan efek jera yang luar
biasa sekaligus menjadi suatu evaluasi tepat terhadap suatu vonis hukuman,
apakah vonis hukuman yang dijatuhkan pengadilan itu memang benar atau justru
keliru dan berbanding terbalik dengan fakta kebenaran yang ada. Bagi orang yang
telah dijatuhi pidana mati dan eksekusi sudah dilaksanakan, maka tidak ada
sesuatu apapun yang dapat diperbaiki.[12]
Apabila ternyata
dibelakang hari terjadi kekeliruan terpidana tetap akan mati, sekalipun
ternyata bukan dia yang melakukan perbuatan yang didakwakan. Ia tidak dapat
lagi dihidupkan, meskipun nama baiknya dapat dipulihkan. Pada solidaritas
mekanis yang didasarkan pada kesamaan dan loyalitas yang total dari individu,
maka sanksi yang diterapkan bersifat represif. Penjatuhan sanksi bertujuan
untuk menghukum kejahatan atau menghukum perbuatan yang melanggar ketentuan sosial
yang dianut. Sehingga sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai alat untuk
memuaskan kesadaran bersama.
Kecenderungan para ahli
yang setuju pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya, umumnya didasarkan
pada alasan konvensional yaitu pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan
orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa
tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana mati
lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia
dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah
eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan hakim.[13]
Menurut The Indonesian
Human Rights Watch terdapat tiga alasan utama mengapa penjatuhan hukuman mati
seringkali digunakan oleh pengadilan, antara lain:[14]
1) Hasil
penerapan ancaman pidana mati digunakan oleh rezim kolonial Belanda, kemudian
dalam prakteknya terus digunakan sampai rezim otoritarian Orde Baru untuk
memberikan rasa takut bahkan menghabiskan lawan politik. Hal ini dapat dilihat
pada penerapan kejahatan politik Pasal 104 KUHP;
2) Upaya
menerbitkan beberapa ketentuan hukum baru yang mencantumkan ancaman pidana mati
sebagai langkah konpensasi politik akibat ketidakmampuan membenahi sistem hukum
yang korup. Padahal ancaman pidana mati tidak pernah bisa membuktikan
efektifitasnya mengurangi angka kejahatan termasuk narkoba
3) Meningkatnya
angka kejahatan dilihat semata sebagai tanggung jawab individu pelaku.
Pro dan Kontra penerapan pidana
mati di Indonesia tidak hanya terjadi di tingkat kalangan ahli hukum saja,
perdebatan seputar pidana mati ini pun timbul hingga ke level masyarakat dan
berlanjut sampai ke tahap Mahkamah Konstitusi, beberapa terpidana mati kasus
Narkoba misalnya melalui kuasa hukumnya mengajukan Permohonan Pengujian materil
Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap UndangUndang Dasar
1945 yang berkenaan dengan inkonstitusionalitas pidana mati sebagaimana
termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika. Namun
Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa
ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika
tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditarik sebuah
kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.[15]
Beberapa kalangan
masyarakat yang pro terhadap pidana mati ini beranggapan bahwa untuk kejahatan
seperti Narkoba yang dikategorikan sebagai kejahatan Extraordinary Crime (kejahatan
Luar biasa) sudah sepantasnya apabila pelakunya dikenai sanksi pidana yang
berat hingga pemberian pidana mati mengingat kejahatan jenis ini mampu merusak
seluruh lapisan generasi bangsa yang memandang bahwa ancaman dan pelaksanaan
pidana mati sebagai suatu social defence.[16] Pidana mati
adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana
dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi yang akan
menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan
mengganggui ketertiban serta keamanan rakyat umum, dalam pergaulan manusia
bermasyarakat dan bergama. Adanya bahaya-bahaya dan kejahatan-kejahatan besar
yang menimpa dan mengancam kehidupan masyarakat, memberikan hak pada masyarakat
sebagai kesatuan untuk menghindarkan dan pembelaan terhadap kejahatan dengan
memakai senjata, salah satunya adalah pidana mati. Bila pidana mati mendapat
dukungan dari berbagai kalangan yang ingin tetap mempertahankannya, maka ia
juga mendapat penentang yang semakin hari semakin banyak jumlahnya.
Lain lagi halnya apabila
penerapan pidana mati ini ditinjau dari tujuan pemidananaan, tujuan pidana
bukanlah untuk membalas perbuatan jahat dari si pelaku. Sebab bagaimanapun
perbuatannya itu sudah terjadi dan tidak perlu lagi disesali; korban telah
jatuh. Pernyataan ini, ditunjang dengan asumsi bahwa si pelaku menganggap
pidana bagianya bukan suatu penderitaan, karena bagimanapun juga si pelaku
merasa puas dan senang bahwa lawannya (si korban) telah memperoleh suatu
imbalan penderitaan. Ini berarti, bahwa kejahatan sebagai tingkah laku bersifat
simptomatik, tidak hanya si pelaku, melainkan juga dalam hubungan antara si
pelaku dan si korban, oleh karena seringkali si korban juga memiliki
sifat-sifat yang menimbulkan kecenderungan untuk dijadikan mangsa dan dengan
demikian ikut bertanggung jawab juga. Oleh karena itu, pembalasan dalam bentuk
apapun tidak akan membawa suatu keseimbangan kembali, kecuali memuaskan nafsu
bahwa sipelaku telah memperoleh imbalan penderitaan.[17]
B. Pidana
Mati Dalam Perspektif Perlindungan HAM di Indonesia
Dari perspektif
Internasional ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan Hak
Hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right
(ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup. Pasal 6 ayat 1 ICCPR berbunyi setiap
Manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan
tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat 2 menyatakan bagi
Negara yang belum menghapus ketentuan Pidana Mati, putusan tersebut hanya
berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang
berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan covenant ini dan Convention on Prevention
and Punishment of Crime Of Ghenoside pidana tersebut hanya dapat melaksanakan
merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh Pengadilan yang Kompeten.[18]
Kalangan internasional
telah banyak melakukan tindakan untuk penghapusan hukuman mati di dunia. Salah
satunya yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang secara tegas
menyatakan bahwa hukuman mati telah melanggar dua ketentuan hak dasar manusia.
Yaitu, tidak ada satupun yang berhak mencabut hak hidup setiap orang dan tidak
ada satu orang pun yang berhak melakukan hukuman yang dapat merendahkan
martabat dan menimbulkan penyiksaan. Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 9 UU
HAM dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan
kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan
juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam
hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya
dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati.
Maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut,
masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat
dibatasi. Dari penjelasan Pasal 9 UU HAM di atas dapat diketahui bahwa dalam
kondisi tertentu seperti pidana mati, hak untuk hidup dapat dibatasi.
Perdebatan pidana mati
kembali lagi mencuat terkait dengan uji materi pasalpasal dalam undang-undang
tentang Narkotika, pada bulan juli 2007. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ketika
itu memeriksaa dua perkara No. 2/PUU-V/2007 yang diajukan oleh empat orang,
yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani, keduanya sedang menjalani hukuman di
lembaga pemasyarakatan khusus wanita, Tangerang, serta Myuran sukmaran dan
Andrew Chan, keduanya warganegara Australia yang sedang menjalani hukuman
dilembaga pemasyarakatan krobokan, Kuta Bali, yang diwakili Kuasa hukumnya.
Para pemohon merupakan terpidana mati yang telah menjalani proses persidangan
mulai dari tingkat pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung dalam perkara tindak
pidana yang diatur dalam UU Nakotika., MK menolak peromohonan Uji materi UU
Narkotika tersebut dengan alasan dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan
hak hidup yang dijamin UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD
1945 tidak menganut asas kemutlakan. Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi
mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi
berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, MK, hak
asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen Undang-Undang, yakni Hak untuk
hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan.
[1] Satjipto Rahardjo,
Sosiologi Hukuman Mati, Ditulis untuk “Jurnal Legalitas Indonesia”, www.legalitas.org hlm 27
[2] Departemen Hukum dan
HAM RI, Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 4 No. 4, Desember 2007. Jakarta:
Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, 44.
[3] Nata Sukam Bangun,
Eksistensi Pidana Mati dalam Sistem Hukum Indonesia (Yogyakarta: Makalah Tidak
Diterbitkan, 2014), 86.
[4] http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/04/27/325117/rakyat-setuju-hukum-mati-bagi-pengedarnarkoba., diakses pada 28
Februari 2023
[5] http://www.pikiran-rakyat.com/nasional/2015/04/27/325117/rakyat-setuju-hukum-mati-bagipengedar-narkoba. Diakses pada 1 Maret
2023
[6] Departemen Hukum dan
HAM RI, Jurnal Legislasi, hlm 62.
[7] Bangun, Nata Sukam.
Eksistensi Pidana Mati dalam Sistem Hukum Indonesia. Yogyakarta: Makalah Tidak
Diterbitkan, 2014, hlm 8
[8] Agus Purnomo, Hukuman
Mati Bagi Tindak Pidana Narkoba di Indonesia: Perspektif Sosiologi HukumDe Jure
: Jurnal Hukum dan Syari’ah, 2016 hlm 18
[9] Pan Mohamad Faiz dan
Mohamad Mova Al’Afghani,” Perdebatan Konstitusionalitas Hukuman Mati”
http://jurnalhukum / 2007/05/hukuman-mati-dan-narkotika.html.Narkotika dan
Hukuman Mati. diakses pada 1 Maret 2023
[10] Lubis, Elmar.
“Perkembangan Isu Hukuman Mati di Indonesia”, Jurnal Opinio Juris, Vol. 4
Januari-April 2012, hlm 36
[11] Op Cit, Satjipto
Rahardjo, hlm 28
[12] Ibid, hlm 29
[13] Op.cit Andi Hamzah dan
Sumangelipu, hlm 25
[14] Waluyadi, 2009,
Kejahatan,Pengadilan dan Hukum Pidana, Bandung : Mandar Maju, hlm 58
[15] Nata Sukam Bangun,
(2014), Jurnal Ilmiah: Eksistensi Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Indonesia,
Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, hlm 8
[16] Djoko Prakoso dan
Nurwachid, (1983), Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai EfektivitasPidana
Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm 14
[17] J.E. Sahetapy, (1978),
Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana,
Jakarta:Rajawali Pers,hlm 29
[18] Todung Mulya Lubis,
op.cit hlm 18
2 komentar