- -->
NhuwqF8Gr3wCNrhjjrVDE5IVAMcbVyYzY2IKGw4q

Laporkan Penyalahgunaan

Cari Blog Ini

RANDOM / BY LABEL (Style 4)

label: 'random', num: 4, showComment: true, showLabel: true, showSnippet: true, showTime: true, showText: 'Show All'

Halaman

Bookmark
Baru Diposting

Panduan Menjadi Advokat di Indonesia - karya Hukum

Halo Sobat Karya Hukum Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. Semoga Sobat Justitia selalu sehat di manapun berada. Hari ini, saya akan meny…

Kontradiksi Penerapan Pidana Mati Dalam Perspektif Sosiologi Hukum-karyahukum

 



A.    Penerapan Pidana Mati Dipandang Dari Aspek Sosiologis di Indonesia

Dalam prespektif sosiologis, hukuman mempunyai arti sosial yang tertentu oleh karena kekuatan suatu sanksi tergantung pada persepsi manusia mengenai sanksi/hukuman tersebut. Durkheim, mengkaitkan jenis sanksi dengan jenis solidaritas sosial masyarakat. Pada solidaritas mekanis yang didasarkan pada kesamaan dan loyalitas yang total dari individu, maka sanksi yang diterapkan bersifat represif. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk menghukum kejahatan atau menghukum perbuatan yang melanggar ketentuan sosial yang dianut. Sehingga sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai alat untuk memuaskan kesadaran bersama. Pada masyarakat dengan solidaritas organis yang didasarkan pada deferensiasi antara individu, maka sanksi/hukumannya bersifat restitutif. Oleh karena itu, yang diperlukan adalah hukuman yang bersifat akomodatif, sifatnya adalah menjaga perbedaan-perbedaan itu agar tidak menjadi disintegratif. Selain dari persepsi orang terhadap sanksi, manusia juga mempunyai taraf toleransi yang berbeda-beda terhadap penderitaan sebagai akibat pelanggaran. Kedudukan sosio – ekonomi juga berpengaruh pada penjatuhan hukuman mati bagi seseorang. Seperti yang diungkapkan dalam kajian di Amerika, disebutkan bahwa hukuman mati akan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap warga masyarakat yang miskin dan minoritas, apabila dibandingkan dengan mereka yang berasal dari golongan kulit putih. Hal ini terkait dengan bantuan hukum bagi terdakwa. Mereka juga lebih banyak dihukum mati jika dibantu oleh pengacara yang diitunjuk pengadilan dibandingkan dengan jika didampingi oleh pengacara pribadi.[1]

Hukuman mati di Indonesia sudah lama berlangsung, yaitu sejak bangsa Indonesia dijajah Belanda, hingga sampai sekarang masih tetap diberlakukan walaupun di Negara Belanda telah menghapuskan pidana mati mulai tahun 1987. KUHP (Wetboek Van Strafrecht) disahkan pada tanggal 1 Januari 1981. Menurut ahli-ahli pidana pada saat itu, dipertahankannya pidana mati karena keadaan khusus di Indonesia menuntut supaya penjahat-penjahat yang terbesar bisa dilawan dengan pidana mati. Dengan wilayah yang begitu luas dengan penduduk yang heterogen, alat Kepolisian Negara tidak bisa menjamin keamanan.[2] Perbuatan-perbuatan atau tindak pidana yang diancam dengan pidana mati oleh KUHP, antara lain: Pasal 104, Pasal 111 ayat (2), Pasal 124 ayat (3), Pasal 140 ayat (3), Pasal 340, Pasal 365 ayat (4), Pasal 368 , Pasal 444 KUHP, Pasal 479 K ayat (2) dan Pasal 479 o ayat (2). Di samping itu hukuman mati di Indonesia juga dijelaskan dalam perundangan di luar KUHP yaitu:[3]

a)     Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika Pasal 59 ayat (2);

b)  Pasal 36 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia;

c)  Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana korupsi;

d) Pasal 6 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme;

e)   Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika: Pasal 113 ayat (2), Pasal 114 ayat (2), Pasal 118 ayat (2), Pasal 119 ayat (2), Pasal 121 ayat (2), Pasal 144 ayat (2).


Perbedaan pendapat tentang hukuman mati juga terjadi di lingkungan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM). Sikap mereka terhadap hukuman mati ini juga terbagi dua, ada yang pro dan ada juga yang kontra. Hukuman mati di Indonesia harus dipertahankan atau dihapuskan. Bagi yang pro, hukuman terberat yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terpidana masih diperlukan terutama tindak pidana kejam. Bagi yang kontra, hukuman mati dianggap inskonstitusional atau bertentangan dengan konstitusi atau UndangUndang Dasar 1945, khususnya hak hidup bagi setiap warga negara.[6]

Bagi yang setuju, berargumen bahwa inkonstitusioanal atau tidaknya pidana mati sebenarnya telah terjawab dalam putusan Mahkamah Konstitusi pada permohonan pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Judicial review tersebut diajukan oleh 4 (empat) terpidana mati kasus narkotika melalui kuasa hukumnya berkenaan dengan inkonstitusionalitas pidana mati yang termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa secara analogi, pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.[7]

Di samping itu, pendukung hukuman mati lainnya juga membangun argumentasi bahwa secara yuridis hukuman mati di Indonesia adalah sah. Di antara bangunan argumentasi tersebut yaitu sebagai berikut :[8]

Pertama, dengan menggunakan pendekatan secara harfiah (literal approach), dapat disimpulkan bahwa pelarangan adanya hukuman mati tidak dinyatakan dimanapun dalam UUD 1945. Oleh karenanya, kalimat “tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun” berdasarkan Pasal 28 I ayat (1), tidak dapat langsung diinterpretasikan sebagai pelarangan adanya hukuman mati. Perbandingan dengan Konstitusi Jerman dan Vietnam akan menunjukan bahwa pelarangan hukuman mati didukung secara tertulis dan terekspresikan secara harfiah dari pasal-pasal konstitusinya. Dengan tidak adanya ketentuan demikian dalam konstitusi Indonesia, hukuman mati sejalan dengan apa yang termuat di dalam UUD 1945.

Kedua, dengan menggunakan pendekatan teleologi (teleological approach), dapat ditemukan melalui pembukaan UUD 1945 bahwa tujuan daripada negara yaitu“melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Bahkan sebagaimana laporan terakhir yang dilansir dari berbagai media, dinyatakan bahwa Indonesia memiliki 3,2 juta pemakai narkotika dengan angka kematian sekitar 15.000 jiwa per tahun atau secara rata-rata mengakibatkan 41 kematian setiap harinya, dikarenakan overdosis ataupun penggunaan narkotika yang terkait dengan infeksi AIDS. Negara mempunya kewajiban konstitusional untuk mencegah terjadinya kematian massal ini dan mencegah kemungkinan hilangnya generasi (lost generation) masa depan. Dengan demikian, perlindungan warga negara oleh Negara merupakan hal yang terpenting dan bahkan dapat dikatakan menjadi kewajiban yang lebih tinggi dibandingkan dengan tugas-tugas lainnya.

Ketiga, dengan menggunakan metode interpretasi sistematikal (systematical interpretation), maka akan jelas terlihat bahwa Pasal 28J ditempatkan dalam satu bab dengan artikel 28I, yang merupakan hasil amandemen mengenai Bab tentang Hak Asasi Manusia. Hal tersebut semakin meyakinkan bahwa Pasal 28J tersebut disusun dalam hubungan dan kaitannya dengan Pasal 28I. Hal tersebut tidak mempertimbangkan bahwa akan tepat bila diinterpretasikan bahwa restriksi terhadap pengimplementasian hak asasi manusia berdasarkan Pasal 28J terkait dengan lingkup hak-hak selain daripada Pasal 28I.[9]

Dukungan serupa terhadap pelaksanaan hukuman mati bagi tindak pidana berat juga didasarkan kepada beberapa alasan, yaitu:[10]

a)     Hukuman mati merupakan tindakkan pembalasan dan pembentukan keadilan;

b)    Hukuman mati merupakan upaya efek jera dan preventif terhadap terjadinya tindak pidana;

c)   Hukuman mati juga ditujukan untuk menghilangkan ancaman terhadap keselamatan dan kepentingan umum.

Kontoversi tentang hukuman mati di Indonesia, seperti dijelaskan diatas, dapat dimengerti terlebih lagi dalam realitasnya hukuman mati tidak dihapuskan namun mengharuskan persyaratan yang cukup rumit dan implementasinya kurang jelas. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus eksekusi mati yang tidak memiliki titik terang dalam pelaksanaannya. Sebagi contoh, sampai akhir tahun 2012, terdapat 133 terpidana mati yang belum dieksekusi di mana 19 tindak pidana narkoba menempati urutan tertinggi, yaitu 71 orang atau 53,38 %. Sedangkan tindak pidana pembunuhan menempati urutan kedua yaitu sebanyak 60 orang atau 45,12 %, dan pada urutan ketiga ialah tindak pidana teorisme sebanyak 2 orang atau 1,50 %. Sebanyak 113 terpidana mati tersebut, Peninjauan Kembali (PK) dan permohonan grasinya kepada Presiden Repubpik Indonesia sudah ditolak, namun sampai kini belum dilakukan eksekusi.

Faktor terpenting dari hukuman mati adalah faktor kematian itu sendiri. Dari aspek medis, kematian diindikasikan dengan kematian fisik, namun kematian yang mungkin terjadi sesungguhnya tidak hanya kematian fisik, tetapi juga kematian sosial. Dari sudut pandang sosiologis, seseorang bisa disebut masih hidup secara fisik, tetapi sekaligus mengalami kematian sosial. Hal tersebut terjadi di saat seseorang berada dalam kondisi sosial sedemikian rupa, sehingga kebebasannya untuk melakukan aktifitas social dirampas habis. Kematian sosial bisa menjadi suatu alternatif penting dalam bentuk sanksi pidana untuk menggantikan pidana mati. Dapat dibayangkan bagaimana seseorang yang dijatuhi hukuman dua kali seumur hidup tanpa kemungkinan keringanan, secara fisik ia hidup tetapi mungkin penderitaan yang dialaminya adalah lebih berat dan panjang, terutama dari segi penderitaan sosial. Terpidana ini terisolasi dari rutinitas kehidupan sosialnya dan hal ini merupakan pukulan yang sangat berat, terlebih harus dipisahkan dari keluarga dekatnya selama ini.[11]

Menurut Satjipto Rahardjo, dalam hukum sesungguhnya telah dikenal istilah “kematian perdata”. Konon kematian seperti ini pernah menimpa sejumlah orang pada masa pemerintahan orde baru lalu. Karena dianggap membahayakan penguasa, maka tanpa melalui proses peradilan, mereka dimatikan secara perdata. Orang yang terkena kematian perdata itu masih hidup segar bugar, tetapi jaringan kehidupan sosialnya banyak dimatikan, misalnya ia tidak dapat lagi melakukan usaha bisnisnya seperti biasa dan demikian juga dengan pembatasan terhadap berbagai aktifitas sosialnya. Pidana kematian sosial ini pada dasarnya dapat memberikan efek jera yang luar biasa sekaligus menjadi suatu evaluasi tepat terhadap suatu vonis hukuman, apakah vonis hukuman yang dijatuhkan pengadilan itu memang benar atau justru keliru dan berbanding terbalik dengan fakta kebenaran yang ada. Bagi orang yang telah dijatuhi pidana mati dan eksekusi sudah dilaksanakan, maka tidak ada sesuatu apapun yang dapat diperbaiki.[12]

Apabila ternyata dibelakang hari terjadi kekeliruan terpidana tetap akan mati, sekalipun ternyata bukan dia yang melakukan perbuatan yang didakwakan. Ia tidak dapat lagi dihidupkan, meskipun nama baiknya dapat dipulihkan. Pada solidaritas mekanis yang didasarkan pada kesamaan dan loyalitas yang total dari individu, maka sanksi yang diterapkan bersifat represif. Penjatuhan sanksi bertujuan untuk menghukum kejahatan atau menghukum perbuatan yang melanggar ketentuan sosial yang dianut. Sehingga sanksi/hukuman dapat dianggap sebagai alat untuk memuaskan kesadaran bersama.

Kecenderungan para ahli yang setuju pidana mati tetap dipertahankan eksistensinya, umumnya didasarkan pada alasan konvensional yaitu pidana mati sangat dibutuhkan guna menghilangkan orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan umum atau negara dan dirasa tidak dapat diperbaiki lagi, sedangkan mereka yang kontra terhadap pidana mati lazimnya menjadikan alasan pidana mati bertentangan dengan hak asasi manusia dan merupakan bentuk pidana yang tidak dapat lagi diperbaiki apabila setelah eksekusi dilakukan diemukan kesalahan atas vonis yang dijatuhkan hakim.[13]

Menurut The Indonesian Human Rights Watch terdapat tiga alasan utama mengapa penjatuhan hukuman mati seringkali digunakan oleh pengadilan, antara lain:[14]

1)  Hasil penerapan ancaman pidana mati digunakan oleh rezim kolonial Belanda, kemudian dalam prakteknya terus digunakan sampai rezim otoritarian Orde Baru untuk memberikan rasa takut bahkan menghabiskan lawan politik. Hal ini dapat dilihat pada penerapan kejahatan politik Pasal 104 KUHP;

2)     Upaya menerbitkan beberapa ketentuan hukum baru yang mencantumkan ancaman pidana mati sebagai langkah konpensasi politik akibat ketidakmampuan membenahi sistem hukum yang korup. Padahal ancaman pidana mati tidak pernah bisa membuktikan efektifitasnya mengurangi angka kejahatan termasuk narkoba

3)  Meningkatnya angka kejahatan dilihat semata sebagai tanggung jawab individu pelaku.

Pro dan Kontra penerapan pidana mati di Indonesia tidak hanya terjadi di tingkat kalangan ahli hukum saja, perdebatan seputar pidana mati ini pun timbul hingga ke level masyarakat dan berlanjut sampai ke tahap Mahkamah Konstitusi, beberapa terpidana mati kasus Narkoba misalnya melalui kuasa hukumnya mengajukan Permohonan Pengujian materil Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika terhadap UndangUndang Dasar 1945 yang berkenaan dengan inkonstitusionalitas pidana mati sebagaimana termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika. Namun Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, secara tegas dinyatakan bahwa ancaman pidana mati pada Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 Tentang Narkotika tidaklah bertentangan dengan Konstitusi. Secara analogi dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pidana mati bukanlah suatu tindakan inkonstituional.[15]

Beberapa kalangan masyarakat yang pro terhadap pidana mati ini beranggapan bahwa untuk kejahatan seperti Narkoba yang dikategorikan sebagai kejahatan Extraordinary Crime (kejahatan Luar biasa) sudah sepantasnya apabila pelakunya dikenai sanksi pidana yang berat hingga pemberian pidana mati mengingat kejahatan jenis ini mampu merusak seluruh lapisan generasi bangsa yang memandang bahwa ancaman dan pelaksanaan pidana mati sebagai suatu social defence.[16] Pidana mati adalah suatu pertahanan sosial untuk menghindarkan masyarakat umum dari bencana dan bahaya ataupun ancaman kejahatan besar yang mungkin terjadi yang akan menimpa masyarakat, yang telah atau akan mengakibatkan kesengsaraan dan mengganggui ketertiban serta keamanan rakyat umum, dalam pergaulan manusia bermasyarakat dan bergama. Adanya bahaya-bahaya dan kejahatan-kejahatan besar yang menimpa dan mengancam kehidupan masyarakat, memberikan hak pada masyarakat sebagai kesatuan untuk menghindarkan dan pembelaan terhadap kejahatan dengan memakai senjata, salah satunya adalah pidana mati. Bila pidana mati mendapat dukungan dari berbagai kalangan yang ingin tetap mempertahankannya, maka ia juga mendapat penentang yang semakin hari semakin banyak jumlahnya.

Lain lagi halnya apabila penerapan pidana mati ini ditinjau dari tujuan pemidananaan, tujuan pidana bukanlah untuk membalas perbuatan jahat dari si pelaku. Sebab bagaimanapun perbuatannya itu sudah terjadi dan tidak perlu lagi disesali; korban telah jatuh. Pernyataan ini, ditunjang dengan asumsi bahwa si pelaku menganggap pidana bagianya bukan suatu penderitaan, karena bagimanapun juga si pelaku merasa puas dan senang bahwa lawannya (si korban) telah memperoleh suatu imbalan penderitaan. Ini berarti, bahwa kejahatan sebagai tingkah laku bersifat simptomatik, tidak hanya si pelaku, melainkan juga dalam hubungan antara si pelaku dan si korban, oleh karena seringkali si korban juga memiliki sifat-sifat yang menimbulkan kecenderungan untuk dijadikan mangsa dan dengan demikian ikut bertanggung jawab juga. Oleh karena itu, pembalasan dalam bentuk apapun tidak akan membawa suatu keseimbangan kembali, kecuali memuaskan nafsu bahwa sipelaku telah memperoleh imbalan penderitaan.[17]

B.     Pidana Mati Dalam Perspektif Perlindungan HAM di Indonesia

Dari perspektif Internasional ketentuan mengenai Hak Asasi Manusia yang berkaitan dengan Hak Hidup dapat ditemukan dalam International Covenant on Civil and Political Right (ICCPR) yang mengatur hak untuk hidup. Pasal 6 ayat 1 ICCPR berbunyi setiap Manusia berhak atas hak untuk hidup dan mendapat hak perlindungan hukum dan tiada yang dapat mencabut hak itu. Selanjutnya Pasal 6 ayat 2 menyatakan bagi Negara yang belum menghapus ketentuan Pidana Mati, putusan tersebut hanya berlaku pada kejahatan yang termasuk kategori yang serius sesuai hukum yang berlaku saat itu dan tak bertentangan dengan covenant ini dan Convention on Prevention and Punishment of Crime Of Ghenoside pidana tersebut hanya dapat melaksanakan merujuk pada putusan final yang diputuskan oleh Pengadilan yang Kompeten.[18]

Kalangan internasional telah banyak melakukan tindakan untuk penghapusan hukuman mati di dunia. Salah satunya yaitu Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang secara tegas menyatakan bahwa hukuman mati telah melanggar dua ketentuan hak dasar manusia. Yaitu, tidak ada satupun yang berhak mencabut hak hidup setiap orang dan tidak ada satu orang pun yang berhak melakukan hukuman yang dapat merendahkan martabat dan menimbulkan penyiksaan. Lebih lanjut, dalam Penjelasan Pasal 9 UU HAM dikatakan bahwa setiap orang berhak atas kehidupan, mempertahankan kehidupan, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Hak atas kehidupan ini bahkan juga melekat pada bayi yang belum lahir atau orang yang terpidana mati. Dalam hal atau keadaan yang sangat luar biasa yaitu demi kepentingan hidup ibunya dalam kasus aborsi atau berdasarkan putusan pengadilan dalam kasus pidana mati. Maka tindakan aborsi atau pidana mati dalam hal dan atau kondisi tersebut, masih dapat diizinkan. Hanya pada dua hal tersebut itulah hak untuk hidup dapat dibatasi. Dari penjelasan Pasal 9 UU HAM di atas dapat diketahui bahwa dalam kondisi tertentu seperti pidana mati, hak untuk hidup dapat dibatasi.

Perdebatan pidana mati kembali lagi mencuat terkait dengan uji materi pasalpasal dalam undang-undang tentang Narkotika, pada bulan juli 2007. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) ketika itu memeriksaa dua perkara No. 2/PUU-V/2007 yang diajukan oleh empat orang, yaitu Edith Sianturi dan Rani Andriani, keduanya sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan khusus wanita, Tangerang, serta Myuran sukmaran dan Andrew Chan, keduanya warganegara Australia yang sedang menjalani hukuman dilembaga pemasyarakatan krobokan, Kuta Bali, yang diwakili Kuasa hukumnya. Para pemohon merupakan terpidana mati yang telah menjalani proses persidangan mulai dari tingkat pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana yang diatur dalam UU Nakotika., MK menolak peromohonan Uji materi UU Narkotika tersebut dengan alasan dalam UU Narkotika tidak bertentangan dengan hak hidup yang dijamin UUD 1945 lantaran jaminan hak asasi manusia dalam UUD 1945 tidak menganut asas kemutlakan. Menurut MK, hak asasi dalam konstitusi mesti dipakai dengan menghargai dan menghormati hak asasi orang lain demi berlangsungnya ketertiban umum dan keadilan sosial. Dengan demikian, MK, hak asasi manusia harus dibatasi dengan instrumen Undang-Undang, yakni Hak untuk hidup itu tidak boleh dikurangi, kecuali diputuskan oleh pengadilan.



[1] Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukuman Mati, Ditulis untuk “Jurnal Legalitas Indonesia”, www.legalitas.org  hlm 27

[2] Departemen Hukum dan HAM RI, Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 4 No. 4, Desember 2007. Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM, 44.

[3] Nata Sukam Bangun, Eksistensi Pidana Mati dalam Sistem Hukum Indonesia (Yogyakarta: Makalah Tidak Diterbitkan, 2014), 86.

[6] Departemen Hukum dan HAM RI, Jurnal Legislasi, hlm 62.

[7] Bangun, Nata Sukam. Eksistensi Pidana Mati dalam Sistem Hukum Indonesia. Yogyakarta: Makalah Tidak Diterbitkan, 2014, hlm 8

[8] Agus Purnomo, Hukuman Mati Bagi Tindak Pidana Narkoba di Indonesia: Perspektif Sosiologi HukumDe Jure : Jurnal Hukum dan Syari’ah, 2016 hlm 18

[9] Pan Mohamad Faiz dan Mohamad Mova Al’Afghani,” Perdebatan Konstitusionalitas Hukuman Mati” http://jurnalhukum / 2007/05/hukuman-mati-dan-narkotika.html.Narkotika dan Hukuman Mati. diakses pada 1 Maret 2023

[10] Lubis, Elmar. “Perkembangan Isu Hukuman Mati di Indonesia”, Jurnal Opinio Juris, Vol. 4 Januari-April 2012, hlm 36

[11] Op Cit, Satjipto Rahardjo, hlm 28

[12] Ibid, hlm 29

[13] Op.cit Andi Hamzah dan Sumangelipu, hlm 25

[14] Waluyadi, 2009, Kejahatan,Pengadilan dan Hukum Pidana, Bandung : Mandar Maju, hlm 58

[15] Nata Sukam Bangun, (2014), Jurnal Ilmiah: Eksistensi Pidana Mati Dalam Sistem Hukum Indonesia, Yogyakarta : Fakultas Hukum Universitas Atmajaya, hlm 8

[16] Djoko Prakoso dan Nurwachid, (1983), Studi Tentang Pendapat-Pendapat Mengenai EfektivitasPidana Mati Di Indonesia Dewasa Ini, Jakarta: Ghalia Indonesia, hlm 14

[17] J.E. Sahetapy, (1978), Suatu Studi Khusus Mengenai Ancaman Pidana Mati Terhadap Pembunuhan Berencana, Jakarta:Rajawali Pers,hlm 29

[18] Todung Mulya Lubis, op.cit hlm 18

2 komentar

2 komentar

  • Anonim
    Anonim
    1 Juni 2023 pukul 09.05
    Terus berkarya mas
    • Anonim
      karya hukum indonesia
      6 Juni 2023 pukul 22.40
      siap maseh terimkasih
    Reply